Kuhembuskan napas berulang kali. Berharap apa yang terjadi padaku saat ini hanyalah mimpi belaka. Sehingga aku bisa segera bangun dan mengejar banyak hal yang telah aku korbankan hanya demi sebuah tender dan prestise karier semata. Termasuk meminta maaf kepada Lala.
La, apa kabarmu kini, Sayang? Masih bisakah kita kembali seperti dulu lagi? Semoga Abang belum terlambat, ya.
Akhirnya kuputuskan untuk menemui Lala besok pagi di kantornya. Meski dalam kondisi sebagai makhluk kasat mata sekalipun.
***
“Oh, syukurlah elu masih ada di sini rupanya.”
Pagi-pagi sekali aku sudah dikejutkan oleh sapaan yang telah akrab denganku beberapa hari ini. Sapaan yang kembali muncul di hadapanku tanpa permisi, seperti waktu itu. Sapaan yang berasal dari seorang laki-laki yang memiliki wajah mirip denganku. Laki-laki yang begitu marahnya saat aku tanpa seizinnya memakai tubuhnya untuk menjadi OB di Paramount TV. Laki-laki yang.... Well, laki-laki bernama Rizal itu kini berdiri tepat di hadapanku.
“Ngapain lagi lu cari-cari gue? Kan kemarin elu sendiri yang menyuruh gue jangan lagi dekat-dekat ke elu, apalagi sampai nekat pakai tubuh lu. Lha, sudah lupa, Bung? Terus sekarang, ngapain elu ke sini lagi temui gue?” kataku sinis seraya menatapnya.
“Ups, segitu marahnya, ya, elu ke gue?” Rizal mencoba sabar menghadapiku. Tapi aku malah mendelik.
“Ya iyalah, marah. Siapa juga yang nggak bakal emosi bila harga dirinya diinjak-injak begitu?”
“Eh? Harga diri kata lu?” Rizal mendengus, kesal. “Sekarang, coba deh lu pikir sendiri. Harga diri siapa sebenarnya yang diinjak-injak? Gue atau elu?” Dengan penuh emosi, ia pun menunjuk dadanya sendiri dan juga aku.
“Oke. Fine. Gue yang salah,” kataku akhirnya. “Sekarang, lu mau apa?”