Mohon tunggu...
Alin You
Alin You Mohon Tunggu... Insinyur - Penyuka fiksi, khususnya cerpen dan novel.

PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) • Penulis Amatir • Penyuka Fiksi • Penikmat Kuliner • Red Lover Forever • Pecinta Kucing

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerbung | The Office Boy [3]: Aku Sekarat?

9 Februari 2017   17:37 Diperbarui: 26 April 2017   20:00 872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: textgram with modified

Sebelumnya

***

TIGA

Aku Sekarat?

Kembali aku tercengang. Memandang ke sekeliling ruangan yang dinding-dindingnya bercat putih bersih dan bergorden hijau tua sebagai pembatas entah apa yang ada di sebelah. Di depanku terletak sebuah ranjang elektrik yang biasa kulihat di rumah sakit, lengkap dengan alat elektrokardiograf (EKG) yang terpasang di sisi kiri ranjang. Suara tik tik tik yang berasal dari alat EKG tersebut terdengar jelas di telingaku. Pun saat kulirik sekilas ke arah layar monitornya. Kurva elektrokardiogram yang masih bergerak turun-naik menandakan bahwa si pasien yang terbaring di ranjang itu masih hidup, meskipun secara pandangan mata ia terlihat tengah koma atau tak sadarkan diri.

Fuih! Kuhela napas panjang.

Jadi gue ini ada di rumah sakit? Tapi..., siapa itu yang terbaring di ranjang?

Rasa penasaran menyergapku. Tapi belum sempat tanya itu terjawab, terdengar derap langkah kaki memasuki ruangan.

“Gimana kondisi terkini dari abang saya, Suster?”

Tampak seorang gadis berusia dua puluhan tahun, berjilbab hijau toska dan mengenakan jubah biru dongker khas ruang ICU (Intensive Care Unit) beserta seorang perawat berjalan mendekati pembaringan.

Hah? Itu bukannya Fera?

Batinku menjerit, kaget. Adik perempuanku satu-satunya itu terlihat menyentuh lengan seseorang yang tengah terbaring koma. Suster hanya menggeleng.

“Sampai saat ini kondisinya masih sama kayak kemaren, Mbak,” sahut Suster sambil memeriksa ulang data rekap medis pasien.

Memang siapa yang koma? Dan... apa? Tadi Fera bilang apa? Abang? Jangan-jangan...

Fuih! Kulihat Fera menghembuskan napasnya. Raut kesedihan tampak jelas di wajah tirusnya yang lelah. Ditariknya sebuah kursi yang ada di sisi ranjang, kemudian duduk di atasnya. “Saya boleh di sini sebentar kan, Sus?” Ditatapnya Suster dengan pandangan mengiba. “Saya hanya ingin berbincang-bincang sejenak dengan abang saya. Siapa tahu setelah mendengar suara saya, dia jadi sadar kembali.”

Suster hanya bergeming. Memandang Fera dengan rasa kasihan.

Tak lama kemudian...

“Suster, gimana kondisi terbaru dari Faisal?”

Sebuah suara yang sudah sangat akrab di telingaku melangkah bergegas menuju Suster.

Aldo? Jadi...

Kutatap rekan kerjaku itu, bergantian dengan sosok yang ada di atas pembaringan.

Ya, Tuhan. Bagaimana mungkin?

Kucoba menyentuh lengan Fera, tapi yang kudapatkan hanya bias. Aku tak bisa menyentuh Fera. Ada apa ini?

“Sssttt... pelankan suaranya, Mas.” Suster menempelkan telunjuk kanannya di depan bibir sambil menatap Aldo. Kulihat Aldo langsung mingkem dan berjalan mendekati Fera.

“Kamu udah lama di sini, Fer?” tanya Aldo dan dijawab Fera dengan senyum kecut dan gelengan kepala. “Faisal gimana?”

Kembali kulihat Fera menghembuskan napasnya, kemudian berkata, “Kata Suster masih sama kayak kemaren, Mas.”

“Oh!” Aldo membulatkan bibirnya. Kemudian lanjutnya, “Tapi secara medis, kondisi Faisal baik-baik aja, kan?”

“Kata dokter, Bang Faisal mengalami geger otak, Mas,” sahut Fera kalem. Sepertinya ia mencoba menahan air matanya agar tak tumpah di hadapan Aldo. Kemudian diusapnya pergelangan tangan sosok yang ada di pembaringan–yang tak lain adalah diriku sendiri. Berharap sosok tersebut merespon sentuhannya itu.

“Mbak, Mas, maaf, ya. Kalo mau ngobrol panjang mending di luar saja. Kasihan pasiennya.” Akhirnya keluar juga teguran Suster terhadap dua makhluk yang tengah berduka atas kondisiku saat ini.

“Oh, iya. Maaf, Suster,” jawab Fera sambil menundukkan kepalanya sedikit. Kemudian lewat lirikan mata, ia pun memberi isyarat kepada Aldo untuk ikut diam.

Ya, Tuhan. Memang apa yang telah terjadi pada diri gue?

Kusandarkan tubuh ke dinding tapi yang ada tubuhku malah menembus dinding itu.

Oh, beginikah rasanya menjadi makhluk kasat mata?

Kucoba memegang sebuah kursi terdekat. Tapi ya, percuma. Semua tampak bias. Aku kini benar-benar tak bisa menyentuh apapun juga.

Fuih! Kuhembuskan napas panjang. Akhirnya aku pun memilih keluar ruangan dan melangkah dengan gontai, menyusuri lorong panjang rumah sakit yang tampak lengang menjelang maghrib ini.

Ya, lebih baik memang aku keluar saja dari ruangan ICU daripada harus menyaksikan kesedihan dari orang-orang yang ternyata diam-diam menyayangiku. Terutama Aldo. Aku tak pernah menyangka kalau kebawelannya selama ini–yang seringkali membuatku dongkol dan risih–merupakan bukti kepedulian dan sayangnya ia kepadaku. Ah!

Kuhela napas dan mencoba mengingat-ingat lagi kejadian beberapa hari belakangan ini. Hm... seingatku, kemarin dan kemarinnya lagi, aku masih berada di sebuah kantor stasiun televisi swasta bernama Paramount TV dan berperan di sana sebagai OB (Office Boy). 

Dan seingatku pula, aku ini nyata dan dapat disentuh serta berkomunikasi normal dengan orang lain. Buktinya, aku bisa berseteru dengan si Jutek Lidya dan juga mengobrol asyik dengan Abdul di pantry. Bahkan, aku juga bisa bertemu langsung dengan news anchor idola yang seringkali menjadi buah bibir di kalangan para pria jomblo dan juga di media sosial saat aku menjadi konsultan di PT. Triguna Jaya.

Tapi hari ini? Kenapa sekarang aku malah terlihat bagaikan hantu gentayangan dimana tubuhku terbaring koma di ranjang elektrik ruang ICU sebuah rumah sakit swasta?

Aku menggeleng keras. Aku benar-benar tak ingat apa penyebab aku koma dan bisa berada di rumah sakit ini.

Ya, memang apa penyebab gue koma? Dan kalo memang gue koma, lantas tubuh siapa yang gue pakai untuk menjadi OB di Paramount TV?

“Tubuh yang elu pake itu tubuh gue. Paham lu?”

Hah?

Sebuah suara asing yang berasal dari arah belakang benar-benar mengagetkanku. Dan saat kubalikkan tubuh, sesosok pria mirip denganku tengah tersenyum sinis sambil menatapku.

***

Selanjutnya

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun