Kucoba menyentuh lengan Fera, tapi yang kudapatkan hanya bias. Aku tak bisa menyentuh Fera. Ada apa ini?
“Sssttt... pelankan suaranya, Mas.” Suster menempelkan telunjuk kanannya di depan bibir sambil menatap Aldo. Kulihat Aldo langsung mingkem dan berjalan mendekati Fera.
“Kamu udah lama di sini, Fer?” tanya Aldo dan dijawab Fera dengan senyum kecut dan gelengan kepala. “Faisal gimana?”
Kembali kulihat Fera menghembuskan napasnya, kemudian berkata, “Kata Suster masih sama kayak kemaren, Mas.”
“Oh!” Aldo membulatkan bibirnya. Kemudian lanjutnya, “Tapi secara medis, kondisi Faisal baik-baik aja, kan?”
“Kata dokter, Bang Faisal mengalami geger otak, Mas,” sahut Fera kalem. Sepertinya ia mencoba menahan air matanya agar tak tumpah di hadapan Aldo. Kemudian diusapnya pergelangan tangan sosok yang ada di pembaringan–yang tak lain adalah diriku sendiri. Berharap sosok tersebut merespon sentuhannya itu.
“Mbak, Mas, maaf, ya. Kalo mau ngobrol panjang mending di luar saja. Kasihan pasiennya.” Akhirnya keluar juga teguran Suster terhadap dua makhluk yang tengah berduka atas kondisiku saat ini.
“Oh, iya. Maaf, Suster,” jawab Fera sambil menundukkan kepalanya sedikit. Kemudian lewat lirikan mata, ia pun memberi isyarat kepada Aldo untuk ikut diam.
Ya, Tuhan. Memang apa yang telah terjadi pada diri gue?
Kusandarkan tubuh ke dinding tapi yang ada tubuhku malah menembus dinding itu.
Oh, beginikah rasanya menjadi makhluk kasat mata?