Mohon tunggu...
Alin You
Alin You Mohon Tunggu... Insinyur - Penyuka fiksi, khususnya cerpen dan novel.

PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) • Penulis Amatir • Penyuka Fiksi • Penikmat Kuliner • Red Lover Forever • Pecinta Kucing

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerbung | The Office Boy [1]: (Bukan) Sebuah Mimpi yang Terwujud

24 Januari 2017   17:17 Diperbarui: 26 April 2017   20:00 3373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Sebelumnya

***

SATU
(Bukan) Sebuah Mimpi yang Terwujud

Mataku melotot. Menyapu ke seluruh ruangan yang tampak asing bagiku. Ada di mana aku? Bukankah pagi ini seharusnya aku ada di ruangan kerjaku, menyelesaikan bahan presentasi pembangunan resort hotel di Kepulauan Seribu untuk siang nanti? Tapi ini? Dan... eh, seragam apa yang kupakai ini? Sepertinya ini seragam....

“Hei, kamu! Sini!”

Sebuah panggilan yang berasal dari seorang perempuan muda yang berdiri di samping meja resepsionis itu sontak membuatku terkejut. Perempuan berambut pirang ikal sebahu itu kutaksir berusia dua puluhan akhir. Dan dengan mengenakan setelan blazer panjang plus celana panjang warna gelap yang melekat pada tubuhnya, serta sepatu high heels hitam setinggi lima senti, sudah dapat dipastikan bahwa ia adalah seorang wanita karir.

“Eh, Mbak memanggil saya?” tanyaku seraya menunjuk ke arah dadaku sendiri.

“Ya, siapa lagi yang ada di sini selain kamu?” jawabnya tak acuh sambil jempol kanannya sibuk mengutak-atik gadget yang berada dalam genggaman.

“Ada apa, ya, Mbak memanggil saya?” tanyaku setelah datang mendekat. Ia pun kemudian memandangiku dengan tatapan aneh.

“Kamu OB baru di sini?”

Hah? Apa? OB? Gue nggak salah dengar, nih?

“Apa, Mbak? Mbak ngomong apa tadi?”

Si Mbak rambut pirang itu balik menatapku. “Kamu OB baru kan, di sini?” Ia sengaja menekankan kata “kan” dalam kata-katanya itu, sehingga membuatku kaget dan tercengang.

“Apa, Mbak? OB... Office Boy, maksudnya?”

“Ya iyalah. Ngapain juga kamu pake seragam begitu kalo bukan OB?”

Kuperhatikan lagi pakaian yang kukenakan. Oh, God! Ini mimpi, kan? Aku, aku cuma mimpi, kan? Kucubit keras tanganku. Aw!

“Ngapain kamu pake cubit tangan segala? Nggak terima jadi OB?” Si Mbak Pirang tampak sinis kepadaku. Rupanya diam-diam ia memperhatikan gerak-gerikku.

Ya iyalah, nggak terima. Gue ini kan konsultan di sebuah perusahaan developer properti ternama di kota ini.

Tapi yang tampak hanyalah dengusan kesal.

“Udahlah, terima aja nasibmu,” tukas Si Mbak Pirang, akhirnya. “Oya. Tolong buatkan saya secangkir white coffee hangat. Ingat, ya, haa-ngat, bukan paa-nas. Trus, antarkan langsung ke lantai dua. Di ruang HRD. Atas nama Lidya. Ingat, ya! Awas kalo salah.”

Fuih! Aku hanya bergeming. Dan Si Mbak Pirang lagi-lagi memperhatikannya.

“Kenapa masih diam mematung di situ? Nggak tau letak pantry? Tuh, tanya aja ke mbak-mbak resepsionis, mereka semua udah pada tau kok.”

“Eh, anu, Mbak...”

“Apalagi?” Mata yang dihiasi eyeshadow warna abu-abu terang dan eyeliner hitam itu tampak melotot, sehingga nyaris membuat kedua bola matanya keluar. Ih, seram. Aku saja sampai bergidik.

“Anu, Mbak. Saya ini...”

“Udah, ah. Saya lagi banyak kerjaan hari ini. Pokoknya saya tunggu pesanan saya itu di ruangan atas. Nggak pake lama, ingat!”

Dan usai mengucapkan hal ini, Si Mbak pirang pun meninggalkanku dan melangkah menuju lift yang berada tak jauh dari meja resepsionis. Sedang aku? Ya, aku hanya melongo bingung, tak paham dengan semua kejadian pagi ini.

***

Fuih! Benar-benar hari yang melelahkan. Tanpa melepaskan terlebih dahulu pajikaian yang melekat seharian ini, kuhempaskan tubuh ke kasur busa yang ada di kamar kontrakanku.

Gila. Ternyata jadi OB itu benar-benar melelahkan. Tugasnya bukan hanya sekadar membersihkan ruangan kantor yang terdiri dari empat lantai. Ah, untung saja yang ada di lantai tiga dan empat itu adalah studio, ruang editing, ruang wardrobe dan make up artis yang bukan lagi merupakan job desk dari OB sepertiku. Jadi, aku masih bisa sedikit bernapas hingga jam pulang kantor.

Selain membersihkan ruangan, tugas OB yang kurasa sangat menyebalkan itu adalah ketika harus siap sedia disuruh ini itu oleh para pegawai stasiun televisi swasta tempat aku berada tadi. Apalagi bila orang itu adalah staf HRD yang bernama Lidya. Wah, banyak kali lagaknya yang membuatku harus terus-terusan menahan emosi berkepanjangan.


“Kamu ke mana aja, sih? Baru nganterin kopi pesanan saya jam segini?”

Itulah omelan pertama yang kuterima hari ini. Omelan itu berasal dari orang pertama yang menegur sekaligus menyuruhku saat berada di lobi bawah ruangan resepsionis pagi tadi.

“Maaf, Mbak. Saya tadi bingung. Saat saya ke pantry, kebetulan pantry sedang kosong.”

“Lantas?” potong Lidya, menatapku garang.

“Ya, saya bingung aja dimana letak cangkir, kopi, gula. Apalagi tadi Mbak Lidya kan mintanya white coffee. Nah, saya kan nggak tau dimana letaknya itu. Akhirnya saya bongkar-bongkar aja deh tuh pantry, sampai akhirnya....”

“Cukup! Saya nggak butuh penjelasan kamu tentang dimana letak cangkir, kopi, gula. Yang saya butuhkan itu cuma secangkir white coffee hangat yang sudah saya tunggu dari tadi.” Dengan sadisnya Lidya menghentikan ocehanku dan segera mengambil cangkir yang kubawa dengan nampan kayu berbentuk bundar.

Aku masih bergeming di tempatku saat Lidya kembali menatapku.

“Ngapain lagi kamu di sini?”

“Oh, eh, iya, Mbak.” Aku yang tergeragap segera membalikkan badan. Tapi sesaat kemudian....

“Eh, tunggu. Bisa kamu kopikan file-file ini dulu?” Lidya menyerahkan sebuah map biru berisi beberapa lembar kertas yang harus aku fotokopi. “Cepat, ya. Nggak pake lama kayak tadi,”  pungkasnya seraya kembali menatap layar komputer yang ada di hadapannya.

Duh. Sekarang malah disuruh fotokopi lagi. Aku kan tidak tahu dimana tempat fotokopi di kantor ini?

"Tempat fotokopi itu ada di ruangan arsip. Letaknya ada di ujung lorong ini."

Aha. Ternyata ia dapat mendengar suara hatiku juga. Hehehe.

Aku tersenyum sesaat. Kemudian kulangkahkan kaki menuju ke ruangan tempat mesin fotokopi itu berada.

Fuih! Kuhembuskan napas berkali-kali sambil menatap langit-langit kamar. Rasa tak percaya masih terus melekat di benakku. Ya, bagaimana mungkin aku bisa ada di kantor itu? Bermimpi pun rasanya tidak. Jadi sebenarnya, apakah yang telah terjadi pada diriku ini? Apakah aku telah bertukar tempat dengan seseorang? Tapi siapa?

Hoam, akhirnya rasa kantuk akibat kelelahan bekerja seharian ini benar-benar membuatku tumbang dan langsung terlelap tanpa sempat mandi dan membersihkan diri terlebih dahulu.

***

Selanjutnya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun