[caption caption="Sumber: Fiksiana Community"][/[caption]
Ranti mematut diri sekali lagi di depan cermin yang menempel pada lemari pakaian yang ada di kamar mess ini.
"Oke, beres," ucapnya seraya meraih tas ransel yang terletak di atas meja tak jauh dari lemari. Tak lama kemudian ia pun siap melangkah menuju ruang makan yang terletak di lantai bawah.
Saat menuruni tangga, Ranti berpapasan dengan Fania dan Gina -- sesama peserta diklat, tapi beda kabupaten.
"Tumben jalan sendiri. Tika mana?" sapa Fania saat dilihatnya Ranti menuruni tangga seorang diri.
"Tika tadi udah duluan. Katanya mau ngerjain tugas kemaren bareng kelompoknya."Â
Tika itu teman sekamar Ranti, berasal dari Bekasi. Sedangkan Ranti sendiri wakil dari Karawang bersama Rudi, teman sekantornya.
"Oh!" Fania akhirnya hanya ber"oh" menanggapi jawaban Ranti.
"Akhirnya... ini hari terakhir kita berada di sini." Gina yang sejak tadi hanya menyimak, mulai buka suara. "Aku udah kangen banget ama Shofi. Diklat tiga hari aja rasanya kayak sebulan. Apalagi ditambah berbagai cerita horor di sini, huwaaa... mending pulang aja, deh."
"Heu, kangen Shofi apa bapaknya, nih?" Ranti iseng menggoda Gina yang langsung disambut rona kemerahan pada kedua pipi Gina.
"Ah, kamu juga pasti kangen ama bapaknya anak-anak. Iya, kaaan?" Gina sengaja menekankan nada suaranya pada kata terakhir yang diucapkannya. Alasannya apalagi kalau bukan untuk balas menggoda Ranti.Â
Seketika pikiran Ranti pun melayang ke Gea -- buah hati semata wayangnya, hasil pernikahannya dengan Haryadi.Â
Apa kabarnya Gea, ya? Semoga ia baik-baik di rumah. Semoga Gea nggak rewel selama ditinggal olehku.Â
Batin Ranti meringis. Bagaimanapun sebagai ibu, ia selalu berat bila harus berpisah dengan buah hatinya. Apalagi Gea itu masih berumur tiga tahun, yang artinya masih harus selalu mendapatkan perhatian ekstra dari kedua orangtuanya. Tapi ya, apalah dayanya. Profesinya sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) kadang menuntutnya harus profesional, termasuk harus siap bila mendapat tugas ataupun diklat di mana saja. Beruntung ia memiliki suami super sabar seperti Kang Haryadi, yang selalu siap sedia ketimpahan tugas menjaga Gea saat Ranti harus tugas di luar kota.
"Ayo, ngalamunan saha ieu teh? Ntar kesambet setan pocong baru nyaho." Colekan dan teguran Fania menyadarkan Ranti. Dilihatnya mereka telah memasuki ruang makan yang penuh sesak oleh peserta diklat yang sedang menikmati sarapan.
Dan saat tengah mengantri nasi goreng di meja prasmanan, sebuah seruan mengagetkan Ranti dan kedua temannya.
"Ranti, ntar makannya di sini ya?"
Itu suara Rudi, teman sekantor Ranti. Ia melambaikan tangannya meminta Ranti untuk bergabung dengannya.
Ada apa sih si Rudi itu? Lebay pisan.
Tapi Ranti hanya menganggukkan kepala seraya segera menuangkan beberapa centong nasi goreng ke atas piringnya. Antrian di belakangnya masih ada dan Ranti tak mau ditegur hanya karena mendengar seruan Rudi.
"Yeuh, aya naon, Mang Rudi?" ujar Ranti setelah mengambil duduk di depan Rudi.
"Sendiri aja? Tika mana?" Rudi bertanya sambil celengak-celenguk ke kiri dan ke kanan.
"Emang Tika belum ke sini?" Ranti balik bertanya.
"Kumaha, sih? Aku yang tanya, kenapa malah balik tanya?"
Ranti hanya mengedikkan bahunya. "Katanya sih tadi mau ngerjain tugas bareng kelompoknya sekalian sarapan."
"Ngerjain tugas di tempat rame begini?"
"Udahlah, kok malah ngebahas Tika? Jangan-jangan... ada cinlok di antara kalian? Hayu, ngaku!" Ranti menuding hidung Rudi -- si bujang lapuk -- dengan garpu yang ada di tangan kirinya. "Ingat atuh, Mang. Tika itu udah punya suami dan anak. Emang nggak bisa apa nyari yang masih gadis atau janda gitu?"
"Apaan, sih? Ngaco pisan." Rudi menepis tangan Ranti. "Aku teh tanya si Tika takut terjadi apa-apa ama dia."
"Maksudnya?" Ranti menghentikan gerakan tangannya yang telah siap menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya.
"Kamu udah dengar desas-desus tentang tempat pelatihan ini, kan?"
Ranti mengangguk. Ya, sejak kemarin ia telah mendengar dari beberapa instruktur tentang aneka kejadian aneh dan gaib yang sering terjadi di sini, terutama di mess peserta. Itu sebabnya semalam itu ia dan Tika dilanda kecemasan berlebih, terutama saat harus ke kamar mandi dan mengunci pintu kamar.
"Semalam dengar sesuatu nggak dari ruangan ini?" Ruang makan ini maksudnya.
Ranti menggeleng. "Emang ada apa dengan ruang makan tadi malam?"
Terlihat Rudi menarik napasnya dalam-dalam.
"Plis atuh, Mang? Aya naon semalam?" Ranti mendesak Rudi, mengguncang-guncang tangan Rudi meminta penjelasan. Tapi Rudi bergeming.
"Sok lah. Tos berhasil si Mamang nya bikin urang sport jantung kieu. Bikin urang hilang selera makan." Ranti yang kesal mendorong kursinya ke belakang dan mulai berdiri. Dadanya naik-turun menahan amarah kepada Rudi yang telah berhasil mengerjainya pagi-pagi.
"Ulah marah kitu, ah. Sok atuh duduk deui. Oke, oke. Aku akan cerita perihal tadi malam. Tapi, janji. Jangan kaget, nya!" Rudi menahan Ranti dan memintanya duduk kembali di kursi. Ranti pun menurut. Selain ia juga penasaran dengan apa yang telah terjadi semalam.
"Semalam itu..." Rudi jeda sejenak. Mencoba menarik napasnya dalam-dalam dan kemudian menghembuskannya dengan sekali tarikan. "ada kehebohan di sini, di ruang makan ini tepatnya. Semalam itu seperti ada orang lagi nonton bareng bola. Teriak-teriak, berseru gol gol, tepuk tangan riuh. Pokoknya heboh pisan, lah."
Ranti melotot. "Jam berapa kejadiannya?" Soalnya ia dan Tika asli tak bisa tidur semalam. Tapi anehnya, ia sama sekali tak mendengar apa-apa dari ruang makan ini. Padahal kan kamarnya tepat berada di atas ruangan ini?
"Hm... sekitar jam dua-an gitu, deh?"
"Kalian belum pada tidur emangnya?" tanya Ranti, heran.
Rudi hanya menggeleng. "Tak ada yang bisa tidur semalam. Apalagi setelah mendengar kehebohan itu. Kang Willy kan penasaran, trus dia turun. Kamu tahu apa yang dilihat Kang Willy?"
"Apaan?" teriak Ranti keras, sehingga membuat beberapa pasang mata melirik ke arah Rudi dan Ranti.
"Sssttt.... Jangan teriak-teriak, malu!" Rudi mengingatkan sambil melotot. Ranti mengerucutkan bibirnya.
"Pokoknya bolak-balik Kang Willy, Hendra dan Jamal turun ke bawah ini untuk mengecek ada apa di ruang makan, tapi nyatanya nggak ada apa-apa. Setiap dicek, ruangan ini sepi dan hanya ada satu lampu yang menyala di dalam sini." Rudi menunjuk ke salah satu lampu di ruangan ini.
"Kamu nggak ikutan turun mengecek juga, Mang?"
Rudi kembali menggeleng. "Nggak berani. Takut."
"Ih, dasar penakut!" Ranti mencibir. Rudi diam saja. Bahkan terkesan tak peduli dengan ledekan Ranti. Suasana pun hening beberapa saat.
Tak berapa lama, Rudi mohon diri hendak pergi duluan kepada Ranti karena telah dipanggil-panggil oleh teman satu kelompoknya. Kini, hanya tinggal Ranti di meja itu.
Fuih! Ranti menghembuskan napas, berat. Hilang sudah selera makannya. Cerita pagi ini yang ia dengar langsung dari Rudi betul-betul telah membuatnya lemas dan tak bergairah. Padahal ini hari terakhir dan nanti siang pasca Jumatan acara penutupan diklat.
Perlahan, Ranti pun menggeser kursinya ke belakang. Rencananya ia hendak langsung ke kelas saja, daripada hanya bengong memandangi nasi goreng di piringnya yang masih lumayan banyak. Dan saat ditegakkannya kepala menatap ke arah pintu keluar.
"Aaahhh...!"
Sesosok manusia muka datar tengah menatapnya tajam.
***
Terinspirasi dari cerita teman saat diklat.
Tulisan ini diikutsertakan dalam Event Fiksi Horor dan Misteri grup Fiksiana Community.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H