Pagi ini, kembali kulihat ia di tepian jalan itu. Seorang perempuan paruh baya, dengan gamis biru tua dan hijab warna senada, tengah memegang sekantong kresek besar berwarna putih yang entah apa isinya. Perlahan, perempuan itu pun berjongkok dan mulai mengeluarkan beberapa kotak steroform dari dalam kantong kresek yang dibawanya. Kemudian steroform-steroform itu ia letakkan di sepanjang jalan dengan jarak sekitar seratus meter. Tak berapa lama, datanglah dua, eh, lima, eh, sekawanan kucing liar ke arah perempuan itu, lebih tepatnya ke arah steroform yang diletakkan perempuan itu dan mulai memakan isinya. Sungguh pemandangan pagi yang menakjubkan.
Ah, andai tak dikejar waktu bertemu Mr. Andrew untuk bimbingan Tugas Akhir (TA) pagi ini, mungkin aku telah merapatkan skuter matikku dan ikut bergabung bersama perempuan bergamis biru tua itu untuk menyaksikan betapa lahapnya kucing-kucing liar di seputaran jalan ini menyantap makanan dalam steroform.
Tin tin...
Bunyi klakson di belakang akhirnya menyadarkanku. Ya, karena terlalu asyiknya memperhatikan tingkah laku perempuan paruh baya dan kucing-kucing liar itu, skuter matikku pun nyaris oleng. Untung saja tak sampai menabrak trotoar. Kalau tidak, entah apa yang akan terjadi pada diriku pagi ini.
***
Sungguh hari yang melelahkan. Seharian ini kuhabiskan waktu dari pagi hingga sore berkutat dengan bimbingan TA, ke perpustakaan, bertemu adik-adik senat mahasiswa jurusan, istirahat, makan siang dan sholat, kemudian kembali ke perpustakaan dan menyicil ketikan TA untuk bimbingan selanjutnya. Dan ba'da ashar, usai menunaikan sholat di mushola jurusan, akhirnya kulangkahkan kaki kembali pulang ke tempat kost-ku.
Fuih! Kini aku telah kembali melewati jalan yang pagi tadi kulalui. Ya, memangnya aku harus lewat jalan mana lagi untuk sampai ke tempat kost-ku? Satu-satunya jalan terdekat ya harus kembali melewati jalan ini. Jalan dimana aku melihat perempuan paruh baya bersama kucing-kucing liar.
Dan alangkah terkejutnya aku saat mendapati pemandangan yang sama seperti pagi tadi. Perempuan itu kini mengenakan setelan kaus lengan panjang warna pink dengan celana bahan kain warna hitam serta hijab warna senada dengan kausnya. Perempuan itu asyik duduk di pinggiran trotoar sambil memandangi kawanan kucing liar yang tengah melahap makanan dalam steroform yang ia sediakan.
"Permisi...," Â sapaku kepada perempuan paruh baya itu.
"Eh, siapa ya? Anda cari apa di sini?" Perempuan itu memberikan reaksi yang membuatku salah tingkah sejenak.
"Eh, anu... saya boleh ikut duduk di sini bersama Ibu?" ucapku pelan-pelan. Dan kembali perempuan itu memberikan reaksi. Kali ini ia menatapku dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.
"Ya, boleh. Mari, silakan duduk!" kata perempuan itu akhirnya dan mempersilakanku duduk di sampingnya.
"Nama saya Wisnu." Kuulurkan tangan mengajaknya berkenalan. Kemudian ia pun menyambut uluran tanganku.
"Lastri. Panggil saja Ibu Lastri."
Kekakuan yang sempat tercipta tadi akhirnya luluh juga.
"Rumah Ibu di mana? Kok setiap kali saya lewat jalan ini, selalu saja saya jumpai Ibu tengah asyik memberi makan kucing-kucing liar itu dengan makanan yang Ibu bawa sendiri."
Terdengar desahan napas Ibu Lastri, lirih.
"Habis saya kasihan dengan mereka, Nak," ujarnya seraya menunjuk kepada sekawanan kucing liar yang masih asyik menyantap makanannya. "Nasib mereka tak ubahnya seperti saya, terabaikan. Tak ada sama sekali orang yang peduli dengan mereka, sama halnya dengan saya."
Aku hanya diam, mencoba menyimak omongan perempuan yang duduk di sampingku ini.
"Suami saya telah tiada, dua tahun silam. Anak saya hanya satu dan kini ia telah berumah tangga dan ikut suaminya tinggal di Belanda." Ibu Lastri diam sejenak, mencoba menghapus bulir air yang menetes dari sudut matanya.
"Oh, berarti Ibu kini tinggal sendiri?" tanyaku, hati-hati.
"Ah, tidak juga. Ada pembantu, tukang kebun, dan sopir yang selalu setia mendampingi saya." Ibu Lastri kembali membisu. Hanya tangan kanannya saja yang memanggil kucing-kucing liar di hadapannya itu dan membelai mereka satu per satu.
"Tapi ya... begitulah. Mereka pun juga sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing dan jarang sekali mengajak saya ngobrol. Hingga akhirnya... setelah saya bertemu kucing-kucing itu di sini, saya pun merasa betah dan hampir setiap hari saya kemari, terutama pada pagi dan sore hari."
Aku mengangguk-anggukan kepala, tetap menyimak omongan yang Ibu Lastri kemukakan.
"Sejak kapan memangnya Ibu mulai suka memberi makan kucing-kucing di sini?" tanyaku sambil mengelus-elus kepala salah satu kucing yang berwarna hitam pekat.
"Entahlah, saya sendiri lupa. Yang pasti saat itu tak sengaja saya melihat kucing-kucing itu mengorek-korek tumpukan sampah yang ada di sana." Ibu Lastri pun kemudian menunjuk ke arah bak sampah besar yang berada tak jauh dari tempat kami duduk. "Saat itu saya merasa kasihan saja. Takut kalau kucing-kucing itu nantinya sakit akibat terlampau sering mengkonsumsi sampah."
Wah! Betapa pedulinya Ibu Lastri terhadap kondisi kucing-kucing liar yang ada di pinggir jalan ini.
"Memangnya Ibu ke sini naik...." Belum usai pertanyaan yang kuajukan, perempuan yang kutaksir telah berumur di atas kepala lima itu menunjuk ke arah sepeda mini yang terparkir sekitar sepuluh meter dari tempat Ibu Lastri duduk.
"Oh!" Akhirnya aku hanya dapat ber'oh' saja.
Tak terasa obrolan kami ternyata panjang juga. Hingga matahari hendak beranjak dari peraduannya, obrolan kami sebenarnya belum usai dan aku masih betah berlama-lama di sini sambil memandangi sunset.
"Ah, sudah hampir maghrib rupanya. Ibu pulang dulu ya, Nak. Besok kita bisa lanjutkan ngobrolnya di sini. Atau kalau Nak Wisnu mau ke rumah Ibu silakan. Tak jauh kok. Itu hanya sekitar seratus meter dari gang itu ke dalam. Rumah Ibu catnya warna hijau muda." Kulihat Ibu Lastri mulai bersiap-siap pulang. Dirapihkannya hijabnya yang agak berantakan. Kemudian ditepuk-tepukannya celana bagian bawahnya dan menyapa kucing-kucing liar itu untuk terakhir kalinya.
"Teman-teman, saya pulang dulu ya. Kalian jangan pada nakal ya. Kalau masih pada lapar, kalian bisa datang ke rumah saya. Ada banyak makanan untuk kalian di sana. Dan insya Allah, besok pagi kita ketemu lagi ya, di sini. Assalamualaikum...."
Ah, Ibu Lastri! Ia menganggap kucing-kucing liar itu mengerti bahasanya.
Usai berpamitan padaku dan kucing-kucing itu, Ibu Lastri pun mulai mengayuh sepedanya memasuki gang yang diakuinya sebagai jalan menuju rumahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H