"Ya, boleh. Mari, silakan duduk!" kata perempuan itu akhirnya dan mempersilakanku duduk di sampingnya.
"Nama saya Wisnu." Kuulurkan tangan mengajaknya berkenalan. Kemudian ia pun menyambut uluran tanganku.
"Lastri. Panggil saja Ibu Lastri."
Kekakuan yang sempat tercipta tadi akhirnya luluh juga.
"Rumah Ibu di mana? Kok setiap kali saya lewat jalan ini, selalu saja saya jumpai Ibu tengah asyik memberi makan kucing-kucing liar itu dengan makanan yang Ibu bawa sendiri."
Terdengar desahan napas Ibu Lastri, lirih.
"Habis saya kasihan dengan mereka, Nak," ujarnya seraya menunjuk kepada sekawanan kucing liar yang masih asyik menyantap makanannya. "Nasib mereka tak ubahnya seperti saya, terabaikan. Tak ada sama sekali orang yang peduli dengan mereka, sama halnya dengan saya."
Aku hanya diam, mencoba menyimak omongan perempuan yang duduk di sampingku ini.
"Suami saya telah tiada, dua tahun silam. Anak saya hanya satu dan kini ia telah berumah tangga dan ikut suaminya tinggal di Belanda." Ibu Lastri diam sejenak, mencoba menghapus bulir air yang menetes dari sudut matanya.
"Oh, berarti Ibu kini tinggal sendiri?" tanyaku, hati-hati.
"Ah, tidak juga. Ada pembantu, tukang kebun, dan sopir yang selalu setia mendampingi saya." Ibu Lastri kembali membisu. Hanya tangan kanannya saja yang memanggil kucing-kucing liar di hadapannya itu dan membelai mereka satu per satu.