Mohon tunggu...
Alin You
Alin You Mohon Tunggu... Insinyur - Penyuka fiksi, khususnya cerpen dan novel.

PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) • Penulis Amatir • Penyuka Fiksi • Penikmat Kuliner • Red Lover Forever • Pecinta Kucing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suara Hati Andine

31 Juli 2016   14:57 Diperbarui: 15 Februari 2017   14:56 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: firanurlailiezhafirah.blogspot.com"][/caption]

"Ibu ini gimana, sih? Sudah berapa kali saya bilang, kalo saya belum datang menjemput, jangan pernah biarkan Andine keluar dari lingkungan sekolah!"

"Tapi, Bu. Tadi yang jemput Andine itu ayahnya sendiri. Masa iya saya tega melarang?"

"Tahu dari mana Ibu kalo yang jemput Andine itu ayahnya sendiri? Kalo penculik gimana?"

"Nggak mungkin, Bu. Soalnya Andine pun mengenalinya. Bahkan memanggilnya dengan sebutan Papa." 

"Argh...! Pokoknya saya tidak mau tahu. Kalo kejadian ini sampe terulang lagi besok, saya akan laporkan Ibu ke polisi, dengan tuduhan persekongkolan penculikan anak."

Andine menghela napas panjang. Peristiwa sepuluh tahun silam itu kembali muncul di permukaan. Peristiwa yang terjadi saat ia berusia lima tahun dan masih bersekolah di taman kanak-kanak. Memang saat itu ia tak berada di tempat kejadian. Tapi keesokan harinya, Bu Sarah mengutarakan keberatannya ketika Papa datang untuk menjemput Andine pulang sekolah.

"Maafkan saya, Pak. Saya hanya tak ingin terjadi keributan di sekolah ini. Jadi sebaiknya Andine pulang tunggu dijemput ibunya saja."

Andine menatap wajah Papa, tak paham. Tapi dilihatnya Papa hanya bergeming. Terdengar hembusan napas beliau yang berat dan wajahnya yang tiba-tiba saja menegang.

"Ya sudahlah, Bu," kata Papa akhirnya. Kemudian menatap Andine sambil menahan bulir air di sudut matanya. "Andine pulang bareng Mama aja ya, Sayang. Maaf, Papa nggak bisa ajak Andine jalan-jalan lagi kayak kemaren." Digenggamnya tangan anak gadisnya itu untuk kemudian memeluknya erat. Tak terasa airmata yang sejak tadi ditahannya, luluh juga.

"Tapi kenapa, Pa?" rengek Andine memelas. Tangisnya pecah saat dirasakannya Sang Papa menahan pedih yang teramat dalam.

"Karena Andine akan lebih bahagia bersama Mama."

"Ta... tapi Andine ingin... hiks, Andine ingin Papa ikut pulang juga ke rumah sama Andine. Mau ya, Pa?"

Papa hanya menggeleng. Perlahan, dilepaskannya pelukan dari tubuh Andine.

"Gini aja. Sekarang Andine pulang dan tinggal bareng Mama dulu ya. Nanti, kalo Andine udah besar, Andine boleh milih mau tinggal sama Papa atau tetap tinggal bareng Mama," ujar Papa seraya tersenyum. Diusapnya airmata yang menetes di pipi chubby putri tercintanya itu.

"Tapi Andine masih boleh kan jalan lagi ama Papa?"

Papa diam sejenak. Kembali terdengar hembusan napasnya. "Ya, boleh saja, kalo Mama mengizinkan."

"Kalo Mama nggak ngasih izin, gimana?" Andine menatap Papa, meminta jawaban pasti. "Pa, Andine pengen tinggal sama Papa aja, boleh ya?"

Papa menggeleng. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.

"Pokoknya Andine harus tinggal sama Mama dulu sampe Andine gede."

"Tapi kapan, Pa? Andine pengennya tinggal sama Papa, bukan sama Mama. Jadi kapan Andine boleh tinggal bareng Papa?" Andine terisak. Ia menarik-narik lengan lelaki yang berdiri di hadapannya, meminta jawaban.

Papa pun akhirnya hanya menjawab, "Nanti kalo Andine udah berumur tujuh belas tahun."

Dan kini usia Andine genap lima belas tahun. Itu berarti ia masih harus menunggu dua tahun lagi untuk bisa mengajukan permohonan untuk tinggal bareng Sang Papa.

***

Dua tahun kemudian...

Terdengar grasa-grusu di luar kamar. Andine yang sedang berada di dalam kamar tidurnya hanya diam, pura-pura tidak tahu. Padahal ia tahu pasti, Mama, Om Mario--suami Mama kini dan Nando--adik tirinya, tengah mempersiapkan kejutan di malam ulang tahunnya.

Andine menghela napas, kemudian duduk bersila di tempat tidurnya sambil meletakkan guling di atas kakinya.

Tuhan, beberapa menit lagi usiaku akan genap tujuh belas tahun. Seperti janji Papa dan Mama dahulu, pada usia itu aku diperbolehkan untuk memilih. Memilih untuk tetap tinggal bersama Mama dan keluarga barunya, atau memilih tinggal bersama Papa yang masih betah sendiri walaupun telah berpisah dengan Mama belasan tahun.

Tuhan, aku telah lama menantikan hari ini. Telah lama pula aku menginginkan untuk tinggal bersama Papa, bahkan saat usiaku masih lima tahun. Tapi saat itu Mama tak mengizinkan. Alasan Mama, aku masih terlalu kecil dan Mama sangat mengawatirkan masa depanku. Fuih, khawatir soal apa, Ma? Aku sempat bertanya soal itu ke Mama. Dan alasan Mama malah membuatku ingin tertawa.

Ya, bagaimana tidak? Mama takut Papa takkan sanggup membiayai sekolah dan kehidupanku, karena Papa hanyalah seorang buruh pabrik rendahan.

Ya, Tuhan. Aku percaya pada-Mu. Aku juga percaya ke Papa, kalau beliau takkan pernah menelantarkan anak kandungnya sendiri. Apapun akan Papa usahakan untuk membahagiakanku. Dan aku percaya itu. Tapi Mama tidak. Itu sebabnya Mama memilih pisah sama Papa, karena Mama merasa Papa takkan bisa membahagiakannya.

Fuih! Kembali, Andine menghela napas. Kemudian telinganya menangkap kericuhan di luar kamar. Segera direbahkannya tubuhnya, pura-pura tertidur pulas. Dan saat pintu kamar terbuka...

"Suprise... Selamat ulang tahun, Anak Gadis Mama. Bangun dong, Sayang. Ini sweet seventeen kamu lho." Mama ternyata telah duduk di tepi ranjang dengan membawa sebuah kue black forest lengkap dengan dua lilin berangka satu dan tujuh.

"Ih, Kak Andine, bangun dong...." Kali ini suara Nando yang terdengar.

Demi menyenangkan mereka yang telah bersusah payah memberikan kejutan padanya, Andine pun akhirnya bangun dan tersenyum kepada Mama, Nando dan Om Mario yang telah berkumpul di dalam kamarnya. Kemudian memeluk Mama dan mendaratkan kecupan di pipi kanan Mama.

"Makasih ya, Ma, udah capek-capek ngasih surprise buat Andine."

"Ih, makasihnya masa buat Mama aja? Buat Nando dan Papa nggak nih?" protes Nando.

Andine meninju perut Nando yang gendut, gemas. Kemudian meleletkan lidahnya. "Iya, iya. Makasih juga buat Nando dan Om Mario." Andine tersenyum, tapi Nando kembali protes.

"Masih manggil Om ke Papa? Hellooo...."

Tapi Mama keburu melotot ke arah Nando, sehingga ia langsung mengkeret.

"Oke, oke. Sekarang biarkan Andine make a wish. Ayo, Sayang, ucapkan apa harapanmu untuk tahun ini." Mama mengusap-usap rambut gadis sulungnya itu.

Andine menatap Sang Mama. "Boleh Andine ucapkan sekarang, Ma?" Sungguh, Andine sudah tak sabar untuk mengungkapkannya.

"Ayo, ungkapkan! Mama juga penasaran pengen dengar. Tapi ingat, jangan minta kawin ya. Umur kamu itu masih tujuh belas tahun soalnya," ujar Mama seraya bercanda. Andine gemas dan mencubit lengan mamanya.

"Nggak minta kawin kok, Ma. Tenang aja!" Andine melirik Sang Mama sambil mengedipkan sebelah matanya. Kemudian ia menghirup napasnya pelan-pelan, lalu berkata, "Andine... cuma minta... seperti janji Mama dahulu, hm... Andine cuma ingin tinggal bareng Papa terhitung mulai hari ini. Diizinkan ya, Ma?"

Dan Mama pun hanya melongo mendengar permintaan anak gadisnya itu.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun