Mohon tunggu...
Alin You
Alin You Mohon Tunggu... Insinyur - Penyuka fiksi, khususnya cerpen dan novel.

PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) • Penulis Amatir • Penyuka Fiksi • Penikmat Kuliner • Red Lover Forever • Pecinta Kucing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Fiksi Kuliner] Munggahan

6 Juni 2016   04:22 Diperbarui: 6 Juni 2016   08:12 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Fiksiana Community

 Alin You, Peserta No.20

 

"Kang, untuk munggahan besok kita bikin ayam panggang aja, ya?" ujar Rahma, istriku, sambil matanya tetap terpaku pada coret-coretan di atas kertas dan tangannya pun sibuk memencet-mencet tombol kalkulator.

Aku yang sedang asyik membaca koran segera menghentikan kegiatanku dan menatap ke arahnya. "Lho, memangnya kenapa, Dek? Kan biasanya juga kita bikin rendang buat munggahan 1)? Lagian, baru dua hari yang lalu Akang kasih gaji Akang ke Adek, masa udah habis aja?"

"Ya, Akang. Tahun ini bukannya giliran rumah kita yang didatangi keluarga Akang buat acara munggahan?"

"Lha, terus?"

Terdengar helaan napas Rahma. Kemudian ia balik balas menatapku. "Akang baru baca koran, kan? Baca nggak tentang harga daging sapi yang gila-gilaan?" Nada suara Rahma terdengar sewot.

Oke, aku paham sekarang. Jadi gara-gara harga daging meroket, Rahma batal menyuguhi rendang buat acara munggahan besok? Padahal semua keluarga besarku tahu, rendang buatan Rahma itu memang tiada duanya. Jadi wajar saja kalau itulah menu andalan yang mereka request. Selain itu, Rahma yang keturunan Padang asli memang terkenal jago dalam membuat aneka masakan Minang, termasuk rendang.

"Memang di pasar, harga daging berapa, Dek?" tanyaku lagi, setelah hening membelenggu kami berdua untuk beberapa saat.

"Seratus tiga puluh ribu rupiah. Itu juga belum termasuk harga kelapa parut serta bumbu-bumbu lainnya. Jadi, Akang bayangkan aja sendiri, berapa total pengeluarannya semua? Ingat, Kang. Ini baru awal bulan. Ramadhan baru lusa. Gaji Akang juga nggak gede-gede amat kan? Jadi--"

"Stop, stop! Akang paham semua," potongku segera.

Kuakui, berdebat dengan Rahma itu hanya akan mendatangkan kekesalan saja. Karena ia selalu bisa mencari celah untuk membantah perkataanku. Dan aku juga paham dengan kondisi keuanganku saat ini. Berapa sih penghasilan seorang tenaga honorer sebuah instansi pemerintah sepertiku? Beruntung kami masih belum diberi Tuhan amanah seorang anak. Bisa dibayangkan, bagaimana kelak nasib anakku bila aku masih saja berstatus sebagai tenaga honorer seperti saat ini.

"Oke, Kang. Aku bisa menyiasati menu untuk acara munggahan besok. Semoga aja hasilnya tidak mengecewakan keluarga besar Akang, ya?"

Tiba-tiba saja Rahma telah berkomentar begitu, kemudian melemparkan sebuah senyuman ke arahku. Dan aku pun hanya menatapnya dengan pandangan penuh tanda tanya.

Ah, istriku memang selalu penuh kejutan! 

***

Rendang Paru (rendangpadangonline.com)
Rendang Paru (rendangpadangonline.com)
 "Wah, request kita ternyata ada juga. Kirain teh bakalan di-pending," ujar Teh Oom saat dilihatnya semangkok rendang tersaji manis di atas meja makan.

"Eh, ini rendang apa? Kayaknya bukan daging, deh." Kali ini Teh Puji yang berkomentar.

"Hehe, emang bukan, Teh," sahut Rahma malu-malu seraya melirikku. Aku paham maksud lirikan matanya itu dan hanya tersenyum menanggapi.

"Hampura atuh, Akang-akang dan Teteh-teteh Asep sadayana. Ini teh namina rendang paru...," sengaja kuhentikan ucapanku sejenak sambil mengedarkan pandangan ke arah kakak-kakakku yang sejak tadi telah sibuk mengelilingi meja makan. "Ya, Akang dan Teteh kan tahu, kalo harga daging teh lagi melangit. Sedang gaji honorer seperti Asep itu baraha sih? Jadi, Rahma punya ide untuk memodifikasi rendang buat sajian munggahan kali ini. Belum pernah mencoba rendang paru, kan? Sok atuh dicobian. Dijamin nggak kalah lezat dari rendang daging."

Akhirnya aku selaku tuan rumah harus memberikan alasan kenapa rendang yang disajikan kali ini bukanlah rendang daging seperti yang biasa mereka tahu, melainkan rendang paru.

"Tapi Akang punya kolesterolatuh, Asep. Ya, tiasa nyobian rendang buatan Rahma atuh." Kang Dharma yang memang memiliki penyakit kolesterol mengajukan protesnya.

"Hampura, Akang. Cuma untuk kali ini aja. Lagian, di situ ada lalap timun sebagai penangkal kolesterolnya Kang Dharma." Aku sengaja menunjuk ke arah sajian lalapan beserta sambel terasi yang ada di sudut meja. Kang Dharma hanya tersenyum kecut mendengar omonganku.

Maafkan Asep, nya, Akang-akang dan Teteh-teteh. Bukannya Asep tak ingin memberikan sajian yang sesuai keinginan kalian semua. Tapi kan Asep kudu menyesuaikan dengan kondisi keuangan Asep. Apalagi sekarang Asep udah punya Rahma, yang mesti Asep bahagiakan juga. Jadi, Asep harap kalian semua bisa mengerti.

Kuhela napas panjang, kemudian membuangnya secara perlahan. Rahma yang melihatku seperti itu, segera mendekat. Dilingkarkannya tangannya pada lenganku, memberikan dorongan mental padaku. Mendapati Rahma telah berada di sampingku, segera saja kurengkuh ia dalam dekapan dan menghadiahkan sebuah kecupan di kening istri tersayangku itu.

Terimakasih, istriku. Engkau memang selalu penuh kejutan.

 ***

Keterangan:

Munggahan 1): tradisi yang biasa dilakukan oleh urang Sunda satu hari jelang datangnya bulan Ramadhan, yaitu makan bersama keluarga atau kebarat untuk menambah erat tali silaturahmi antar anggota keluarga atau kerabat tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun