Kuakui, berdebat dengan Rahma itu hanya akan mendatangkan kekesalan saja. Karena ia selalu bisa mencari celah untuk membantah perkataanku. Dan aku juga paham dengan kondisi keuanganku saat ini. Berapa sih penghasilan seorang tenaga honorer sebuah instansi pemerintah sepertiku? Beruntung kami masih belum diberi Tuhan amanah seorang anak. Bisa dibayangkan, bagaimana kelak nasib anakku bila aku masih saja berstatus sebagai tenaga honorer seperti saat ini.
"Oke, Kang. Aku bisa menyiasati menu untuk acara munggahan besok. Semoga aja hasilnya tidak mengecewakan keluarga besar Akang, ya?"
Tiba-tiba saja Rahma telah berkomentar begitu, kemudian melemparkan sebuah senyuman ke arahku. Dan aku pun hanya menatapnya dengan pandangan penuh tanda tanya.
Ah, istriku memang selalu penuh kejutan!Â
***
"Eh, ini rendang apa? Kayaknya bukan daging, deh." Kali ini Teh Puji yang berkomentar.
"Hehe, emang bukan, Teh," sahut Rahma malu-malu seraya melirikku. Aku paham maksud lirikan matanya itu dan hanya tersenyum menanggapi.
"Hampura atuh, Akang-akang dan Teteh-teteh Asep sadayana. Ini teh namina rendang paru...," sengaja kuhentikan ucapanku sejenak sambil mengedarkan pandangan ke arah kakak-kakakku yang sejak tadi telah sibuk mengelilingi meja makan. "Ya, Akang dan Teteh kan tahu, kalo harga daging teh lagi melangit. Sedang gaji honorer seperti Asep itu baraha sih? Jadi, Rahma punya ide untuk memodifikasi rendang buat sajian munggahan kali ini. Belum pernah mencoba rendang paru, kan? Sok atuh dicobian. Dijamin nggak kalah lezat dari rendang daging."
Akhirnya aku selaku tuan rumah harus memberikan alasan kenapa rendang yang disajikan kali ini bukanlah rendang daging seperti yang biasa mereka tahu, melainkan rendang paru.
"Tapi Akang punya kolesterolatuh, Asep. Ya, tiasa nyobian rendang buatan Rahma atuh." Kang Dharma yang memang memiliki penyakit kolesterol mengajukan protesnya.