[caption caption="Cinta Sunyi (sumber: wakadtpunya.blogspot.com"][/caption]
Â
Oleh: Alin You (prosa) dan Anggi Moanroe (puisi)
-------------------------------------------- ###### --------------------------------------------
Setiaku selalu terjaga
Karena kuyakin pada waktu yang tak pernah ingkar akan hadirnya
Jika pun matamu tak melihat
Telingamu tak mendengar
Saat dimana bibir dan mulutku bersekutu diam diucap cinta
Â
Bila saatnya tiba nanti
Hatimulah yang kan mengertiÂ
Akan rasa cinta terpendamku
Â
Viona baru saja membaca sebuah puisi - entah dari siapa, karena tak ada nama pengirimnya - yang terletak di atas meja kerjanya di dalam kamar. Di samping puisi yang terselip dalam amplop biru, setangkai white lily pun teronggok manis seakan minta dikecup. Kening Viona berkerut. Siapakah gerangan yang telah mengirimkannya sebuah surat beramplop biru disertai setangkai bunga kesukaannya?
"Bi..., Bi Darsih...." Viona memanggil Asisten Rumah Tangga (ART)-nya. Puisi beserta bunga white lily yang tadi sempat disentuhnya, ia letakkan kembali di tempatnya. Sambil menunggu Bi Darsih, Viona pun merebahkan diri di atas pembaringan.
"Iya, Non. Ada apa, ya?" Dengan tergesa Bi Darsih menemui sang majikan, setelah mendengar namanya dipanggil.
Segera, Viona duduk di pinggir tempat tidur. Sedetik kemudian ia pun bertanya kepada ART-nya itu. "Hm... Bibi tau siapa yang narok surat dan bunga ini di kamar saya?"Â
Bi Darsih mengangguk. "Itu Bibi yang narok, Non. Tadi, waktu Bibi buka pintu depan, surat dan bunga itu udah ada di sana. Trus, pas Bibi baca untuk Non Vio, langsung aja Bibi narok di atas meja sono." Bi Darsih pun menunjuk meja kerja Viona. Viona hanya menghela napasnya.
"Ya, udah. Makasih, ya, Bi." Viona tersenyum dan kembali merebahkan diri. Bi Darsih yang melihat keletihan majikannya, segera menawarkan sesuatu.
"Mau Bibi buatkan teh manis hangat, Non?"
"Hm... ya, bolehlah, Bi."
Bi Darsih pun berlalu dari kamar Viona.
***
Rupa cinta mewarna-warni
Selayak kalbu yang pantas diselami
Hanya jika mata tak lagi melihat rupaÂ
Dan nafsu tak bertahta di atasnya
Â
Ragam rindu berjenis suara
Selayak hati yang pantas dimiliki
Hanya jika telinga tuli akan dusta
Mata buta akan kebencian dan
Angkara bila tiada di antaranya
Â
Kembali, Viona menemukan sebuah puisi beramplop biru beserta setangkai white lily kesukaannya di atas meja kerjanya di kamar.
Hm... sepertinya Si Pengirim ini tau betul dengan warna favorit dan bunga kesukaanku? Apakah ia orang yang kukenal baik? Tapi, siapakah ia? Viona bergumam.
Entah kenapa pikirannya tiba-tiba saja tertuju kepada murid-muridnya di Sekolah Luar Biasa (SLB) Budi Daya, tempat ia mengabdikan diri sebagai guru di sana. Memang ada beberapa murid laki-laki yang pernah menyatakan perasaan kepadanya. Tapi Viona yang telah bertunangan dengan Bowo - pemuda yang telah berhasil menaklukkan hatinya dari patah hati berkepanjangan gara-gara ditinggal nikah cinta pertama - tak pernah menggubrisnya. Bukan. Bukan karena mereka berkebutuhan khusus. Tapi memang ia tulus mencintai mereka hanya sebagai anak didiknya, tak lebih dari itu.
"Sudahlah, Sayang. Anggap aja itu dari pengagum rahasiamu," ujar Bowo, mencoba menenangkan hati Viona.
"Emang kamu nggak cemburu, Mas?" Viona menatap tunangannya itu. Bowo hanya tertawa saat pertanyaan itu terlontar dari mulut gadis yang amat dicintainya itu.
"Kok ketawa, sih?"
"Lantas aku harus gimana?" Bowo menatap lembut Viona. "Aku percaya sepenuhnya sama kamu. Soal kamu memiliki pengagum rahasia, bagiku itu hal yang wajar. Wong aku dulu juga pengagummu saat kuliah kok."
Viona mendesah. Hatinya masih menyimpan kegalauan. Siapakah sebenarnya pengagum rahasia itu? Kenapa ia sama sekali tidak memberikan inisial namanya di setiap puisi yang ditulisnya. Ups! Sebenarnya bukan ditulis, melainkan diketik pake komputer.
Nah, lebih sulit lagi kan, untuk dilacak? Kembali Viona mendesah.
Akhirnya, puisi-puisi dari Si Pengagum Rahasia itu Viona simpan di laci meja kerjanya. Sedangkan setangkai white lily segar itu segera saja berpindah tempat ke dalam pot kristal bening pemberian dari Bowo yang telah terisi air.
***
Seorang pemuda berkebutuhan khusus, berusia sembilan belas tahun, terlihat asyik ketak-ketik di atas keyboard laptop yang tengah menyala. Rupanya ia sedang menulis sebuah puisi untuk sang pujaan hati, guru sekolahnya di SLB Budi Daya.
Â
Karena kesucian hati, kekuatan jiwa
Bukan karena raga ini
Aku memang tak sempurna
Tapi percayalah...
Cintamu termilikiku kelak
Â
Bila itu tak mampu, bila tak bisa
Cukup diam dan melihat yang meruntuh kalbu
Biar untuk sang pencipta-Nya
***
Â
Karawang, 16 April 2016 (Alin You - prosa)
Medan, 13 April 2016 (Anggi Moanroe - puisi)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H