Mohon tunggu...
Alin You
Alin You Mohon Tunggu... Insinyur - Penyuka fiksi, khususnya cerpen dan novel.

PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) • Penulis Amatir • Penyuka Fiksi • Penikmat Kuliner • Red Lover Forever • Pecinta Kucing

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta dalam Lautan Banjir (Bab 2)

27 Maret 2016   23:13 Diperbarui: 9 Mei 2016   11:43 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Love at First Sight"][/caption]

2. Love at First Sight

 

Pertengahan Tahun 1986

Siang ini Jakarta tampak begitu panas. Sinar matahari pada musim kemarau memang terlihat lebih garang dibandingkan di musim penghujan. Apalagi ini merupakan puncaknya musim panas, sehingga tak banyak orang yang akan tahan berlama-lama berada di luar rumah, bila tidak ada keperluan mendesak dan dianggap penting.

Demikian pula halnya dengan Girianto. Setelah pulang kerja, laki-laki berusia dua puluh tahun itu lebih memilih mendekam diri di dalam kamarnya sambil mendengarkan lagu-lagu favorit dari saluran radio kesayangan. Angin yang berhembus dari sebuah kipas angin yang terletak di atas meja belajar hampir saja membuat matanya terpejam. Dan bila bukan karena sebuah ketukan di pintu kamarnya, mungkin saat ini ia telah berselancar ke alam mimpi.

"Ya, siapa?" Girianto menjawab ketukan pintu itu dengan suara enggan.

"Hai, Giri! Sudah jam berapa ini? Apa kau tak jemput adikmu, heh?"

Suara Oma Bernie. Hoam, Girianto pun menguap. "Iya, Oma. Sebentar lagi. Baru juga jam tiga."

Setiap Selasa dan Sabtu adalah jadwal Girianto menjemput adik semata wayangnya dari tempat kursus tari. Dan itu selalu membuatnya bosan.

"Giri, adikmu itu selesai menari jam empat, kan? Perjalanan ke tempat kursus tari adikmu itu memakan waktu setengah jam, itu pun kalau lancar. Ini hari Sabtu. Lalu-lintas Jakarta pasti padat. Kalau kau tak berangkat sekarang, kapan pula kau sampainya? Kasihan Winda harus menunggumu lama di sana."

Kembali teriakan Oma Bernie terdengar dari luar kamar. Girianto pun kesal. Aaarrrgh...! Lihatlah, ia sampai menggebrak kasurnya sendiri.

Kapan, sih, Winda itu bisa mandiri? Dan nggak selalu bergantung padaku?

Sambil mengomel sendiri, akhirnya pemuda itu pun turun dari tempat tidur dan mulai bersiap diri untuk menjemput adiknya.

Dan saat pintu kamar Giri terbuka...

"Nah, begitulah kau. Sudah sana, cepat kau jemput adikmu. Kasihan dia kalau harus menunggumu lama."

"Iya, Oma. Giri pergi dulu."

Setelah mencium tangan keriput Sang Oma, Girianto pun keluar rumah. Segera distaternya motor bebek merah milik ayahnya - yang kini tengah bertugas ke Kupang dengan didampingi ibu - kemudian melaju menembus keramaian kota Jakarta pada sore hari.

***

"Huh! Mas Giri mana, sih? Jam segini belum datang juga?" gerutu seorang gadis mungil berkuncir kuda yang sejak seperempat jam lalu tampak mondar-mandir di ruang resepsionis sanggar tari tradisional Cempaka.

Seorang gadis lain - nama gadis itu Kristi - yang sedang asyik duduk di ruangan itu sambil membuka-buka halaman sebuah majalah remaja hanya menatap Gadis Mungil Berkuncir Kuda itu dengan pandangan bertanya. "Emang belum dijemput, ya, Winda?"

Yang disapa hanya menggelengkan kepalanya.

"Elu sendiri? Belum dijemput juga, ya?" Gadis yang dipanggil Winda itu balik bertanya.

"Iya, nih. Tumben Bokap gue belum jemput," jawab Kristi sambil merentangkan kedua tangannya.

"Oh!" Winda hanya ber"oh" pendek sambil matanya tak lepas memandang ke arah luar ruangan.

Dari kejauhan, tampak seorang pemuda berpostur jangkung dan berambut ikal, yang dengan napas terengah-engah berlari kecil menuju tempat Winda dan Kristi berada.

"Eh, itu kayaknya Abang lu, deh!" tunjuk Kristi lewat jendela ke arah pemuda yang tengah berlari itu.

Winda yang berdiri dekat pintu ruangan resepsionis segera mengikuti arah telunjuk Kristi. Dan saat melihat abangnya, senyum Winda pun seketika merekah. Tapi saat pemuda itu telah sampai di dekat mereka, ekspresi yang ditampakkannya berubah 180 derajat.

"Telat amat, sih, jemputnya? Udah jam berapa ini?" protes Winda sambil bersungut-sungut.

"Iya, maaf. Tadi ada razia di jalan. Untung surat-suratku lengkap, jadi aman, deh." Pemuda yang tak lain adalah Girianto, abangnya Winda, mencoba memberikan alasan atas keterlambatannya menjemput Sang Adik.

"Udah tahu ini Jakarta. Udah tahu sekarang lagi banyak razia, emang dari rumahnya nggak bisa lebih awal, ya?" Winda belum bisa terima alasan dari abangnya. Ia masih saja terlihat cemberut sambil berkacak pinggang.

Kristi yang melihat Winda misuh-misuh tak karuan, segera menghampiri gadis itu. Majalah remaja yang sejak tadi dibacanya diletakkan begitu saja di atas meja.

"Sssttt... Winda, harusnya elu tuh bersyukur, tau. Abang lu itu cuma telat lima belas menit," celetuk Kristi sambil mendekati Winda dan berpura-pura berbisik. "Coba lihat gue! Sampai sekarang Bokap gue mana? Belum juga datang menjemput, kan? Tapi gue tenang aja, tuh."

Winda hanya menatap temannya itu, heran. Kristi menganggukkan kepala dan tersenyum. Perlahan lengkungan bibir Winda pun berubah. "Ya, udah, lu ikut pulang sama gue aja. Gimana?"

"Hah? Nggak bisa! Gila kamu! Mau ditilang polisi, apa? Bonceng tiga di motor?" Tiba-tiba Girianto sudah melancarkan protesnya saat mendengar omongan Winda.

Winda pun melotot. "Mas Giri, berisik amat, sih. Kan kita bisa lewat jalan tikus."

"Jalan tikus gundulmu!" Girianto terlihat sewot.

Kristi yang melihat perdebatan antara kakak-adik itu spontan tertawa ngakak. Girianto dan Winda serentak menatap Kristi dengan alis yang terpaut.

"Ups, sori!" Buru-buru Kristi menutup mulutnya. "Abis kalian lucu, sih."

Saat melihat Kristi tertawa, pandangan mata Girianto seakan tak mau lepas menatapnya. Entah kenapa, hatinya seolah terpikat melihat gadis semampai dengan lesung pipit di kedua pipinya itu tertawa lepas. Melihat mata gadis itu menyipit, ditambah lesung pipitnya, aih, betapa manisnya gadis yang berdiri tepat di hadapannya itu. Dan tanpa disadari, senyumnya pun mengembang.

Melihat perubahan pada abangnya, segera Winda mengibas-ngibaskan tangannya. Ia mencoba menyadarkan Sang Abang. Tapi, apa? Girianto hanya bergeming. Pandangan mata laki-laki berkulit sawo matang itu tetap tertuju ke arah Kristi yang menjadi salah tingkah dibuatnya.

Merasa tak diacuhkan Girianto, Winda pun kesal. Tanpa menghiraukan lagi abangnya, segera diseretnya langkah menuju parkiran, tempat motor bebek Girianto berada. Sedangkan Kristi, saat melihat sosok bapaknya di kejauhan, segera berlari ke arah Sang Bapak.

Kini, tinggallah Girianto seorang diri di ruangan resepsionis yang mulai sepi itu.

***

Usai menjemput Winda dari tempat kursus tari, Girianto kembali mendekam diri di dalam kamarnya. Hanya sesekali saja ia keluar. Itu pun saat dipanggil Oma untuk makan malam bersama. Selebihnya? Ia memilih mengurung diri di kamar dan mendengarkan saluran radio kesayangannya daripada berkumpul bersama teman-temannya di pos ronda seperti yang biasa dilakukannya setiap malam minggu tiba.

"Ada apa itu dengan Abangmu, Winda? Tak biasanya dia hanya berdiam diri di kamar saja seharian ini." Terdengar suara Oma Bernie dari luar kamar. Beliau tentu heran dengan perubahan sikap cucu laki-lakinya itu.

Tapi Girianto sama sekali tak peduli. Baginya, malam ini hanya ingin dinikmatinya seorang diri tanpa mendapat gangguan dari siapa pun juga. Termasuk saat ingin menyimak acara Cerita Cinta dari radio Swarna, saluran radio kesayangannya.

"Selamat malam, pendengar setia radio Swarna. Baiklah sesuai jadwal, malam ini saya akan membuka line telepon 'Cerita Cinta'. Jadi, buat kamu-kamu yang ingin berbagi cerita seputar pengalaman cintanya malam ini, ya, silakan saja.... Saya selalu setia menunggu di sini...."

Girianto menyimak betul celotehan penyiar radio yang memandu acara itu sambil tengkurap dengan bantal sebagai alas penyangga kepalanya. Tadinya memang ia tak begitu suka dengan acara Cerita Cinta. Acara model apa itu? Begitu dulu ia beranggapan. Tapi malam ini, entah kenapa, perasaannya yang gelisah itu berkeinginan sekali menyimak cerita-cerita cinta yang diungkapkan oleh para pendengar radio Swarna itu .

"Baiklah. Siapakah yang akan beruntung untuk berbagi kisah cintanya pada malam ini. Masih saya buka line teleponnya..."

Girianto membalikkan badan menatap langit-langit kamarnya. Tiba-tiba saja pikirannya melayang ke Kristi, gadis yang dilihatnya di sanggar tari tradisional Cempaka sore tadi. Gadis semampai dengan lesung pipit di kedua pipinya.

Betapa manis melihatnya tertawa tadi. Matanya yang menyipit dan menampakkan kedua lesung pipitnya yang.... Ah, ada apa denganku ini? Kenapa aku jadi terpikat padanya? Apa ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama? Love at first sight? Ya, Tuhan. Apa, apa aku telah jatuh cinta pada Kristi?

Mata Girianto pun terpejam. Namun bayangan wajah Kristi terus saja menari-nari indah di pelupuk matanya. Ah! Berkali-kali ia mendesah. Mencoba meluapkan kegundahan yang membelit hatinya.

"Hallo, 'Cerita Cinta'..."

"Iya, benar. Dari siapa dan di mana ini?"

"Dari Daniel di Tebet, Mbak."

"Hai, Daniel. Nggak malam mingguan, nih? Ato emang sengaja, karena ingin berbagi cerita dengan 'Cerita Cinta'..."

Terdengar jeda di sana. Girianto masih menyimak.

"Hm... Mbak, saya lagi jatuh cinta kayaknya, nih, ama gadis yang baru aja saya kenal di kantin sekolah tadi."

"Wow! Love at first sight dong...."

Saat mendengar kata "Love at first sight" terucap dari penyiar radio, kontan Girianto pun duduk tegak dan menyimak acara itu dengan lebih serius lagi.

"Oke, buat Daniel di Tebet. Sebelum kita simak kisah cinta dari kamu, terimalah persembahan sebuah lagu dari Nikka Costa, My First Love..."

 

Everyone can see

There's a change in me

They all say I'm not the same

Kid I used to be...

***

Saat yang sama di tempat berbeda...

Seorang gadis semampai dengan lesung pipit di kedua pipinya sedang tiduran telentang sambil menatap langit-langit kamarnya. Hatinya gundah gulana saat mendapat tatapan sedemikian rupa dari seorang laki-laki - abang teman kursusnya - di sanggar tari tradisional Cempaka setelah latihan sore tadi.

"Kenapa Mas Giri menatapku seperti itu, ya? Apa ada yang salah denganku, ato dengan penampilanku? Winda pun tampaknya juga nggak suka saat abangnya menatapku. Lha, emang apa salahku? Aku kan sama sekali tak menggoda abangnya?" Gumam gadis bernama Kristi itu.

Sebenarnya Kristi berkeinginan sekali menelepon Indah, sahabatnya. Tapi urung dilaksanakannya. Karena di ruang depan, terlihat kedua orangtuanya sedang asyik menonton televisi. Gadis itu takut, bila ia menggunakan telepon rumah yang terletak di ruang depan untuk bergosip soal Girianto, maka yang ada kedua orangtuanya akan menguping pembicaraannya di telepon. Sehingga hasil akhirnya pun sudah bisa ditebak.

Ya, hingga detik ini, bapak-ibunya masih saja memegang teguh prinsip mereka. Tetap tak memberi izin kepada anak-anaknya - Kristi dan kedua adik cowoknya - untuk mengenal lawan jenis dan cinta. Padahal pada remaja seusia Kristi, kedua kata itu sudah mulai merasuki jiwa. Tapi, ya, sudahlah.

Kristi memang anak yang penurut. Jadi meskipun ia suka iri melihat teman-temannya mulai pacaran di sekolah, ia memilih tetap sendiri sampai izin berpacaran itu keluar dari mulut orangtuanya.

Ah, udahlah. Peduli amat dengan yang namanya Girianto itu. Toh, aku tak begitu mengenalnya. Dengan Winda pun hanya sebatas teman satu sanggar. Jadi, tak perlu ada rasa sungkan atau apapun, bila esok ketemu lagi dengan mereka di sanggar.

Dan Kristi pun akhirnya terlelap juga malam itu tanpa merasa terbebani oleh mimpi apapun tentang Winda dan Girianto.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun