"Elu sendiri? Belum dijemput juga, ya?" Gadis yang dipanggil Winda itu balik bertanya.
"Iya, nih. Tumben Bokap gue belum jemput," jawab Kristi sambil merentangkan kedua tangannya.
"Oh!" Winda hanya ber"oh" pendek sambil matanya tak lepas memandang ke arah luar ruangan.
Dari kejauhan, tampak seorang pemuda berpostur jangkung dan berambut ikal, yang dengan napas terengah-engah berlari kecil menuju tempat Winda dan Kristi berada.
"Eh, itu kayaknya Abang lu, deh!" tunjuk Kristi lewat jendela ke arah pemuda yang tengah berlari itu.
Winda yang berdiri dekat pintu ruangan resepsionis segera mengikuti arah telunjuk Kristi. Dan saat melihat abangnya, senyum Winda pun seketika merekah. Tapi saat pemuda itu telah sampai di dekat mereka, ekspresi yang ditampakkannya berubah 180 derajat.
"Telat amat, sih, jemputnya? Udah jam berapa ini?" protes Winda sambil bersungut-sungut.
"Iya, maaf. Tadi ada razia di jalan. Untung surat-suratku lengkap, jadi aman, deh." Pemuda yang tak lain adalah Girianto, abangnya Winda, mencoba memberikan alasan atas keterlambatannya menjemput Sang Adik.
"Udah tahu ini Jakarta. Udah tahu sekarang lagi banyak razia, emang dari rumahnya nggak bisa lebih awal, ya?" Winda belum bisa terima alasan dari abangnya. Ia masih saja terlihat cemberut sambil berkacak pinggang.
Kristi yang melihat Winda misuh-misuh tak karuan, segera menghampiri gadis itu. Majalah remaja yang sejak tadi dibacanya diletakkan begitu saja di atas meja.
"Sssttt... Winda, harusnya elu tuh bersyukur, tau. Abang lu itu cuma telat lima belas menit," celetuk Kristi sambil mendekati Winda dan berpura-pura berbisik. "Coba lihat gue! Sampai sekarang Bokap gue mana? Belum juga datang menjemput, kan? Tapi gue tenang aja, tuh."