Pada hari Minggu kuturut ayah ke kota
Naik delman istimewa kududuk di muka
Kududuk samping Pak Kusir yang sedang bekerja
Mengendali kuda supaya baik jalannya...
(Naik Delman, ciptaan Ibu Sud)
***
Siapa yang tak mengenal lagu di atas? Dari mulai anak-anak sampai orang tua sudah akrab sekali dengan lagu itu. Lagu ciptaan Ibu Sud itu memang sudah melegenda. Tapi, bukan itu yang ingin saya bahas di sini. Melainkan bagaimanakah nasib delman atau kalau di beberapa daerah ada yang menyebutnya dengan nama bendi di zaman yang sudah serba mesin ini?
[caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="Dahulu, delman/bendi dijadikan salah satu alat transportasi umum (http://pojoksatu.id/wp-content/uploads/2015/03/delman-300x202.jpg)"]Beberapa hari yang lalu, saya menonton sebuah liputan di TVRI tentang kota kuliner (maaf, saya lupa nama kotanya) yang ada di Propinsi Sulawesi Utara. Dalam liputan tersebut, si reporter menggunakan bendi untuk keliling kota, yang mana bendi di sana masih digunakan masyarakat sebagai alat transportasi umum.
Lain di Sulawesi Utara, lain pula di kota saya tinggal kini, Karawang, Jawa Barat. Di Karawang, delman/bendi sudah jarang sekali ditemui. Kalau pun ada, itu hanya dijadikan odong-odong untuk anak-anak keliling kampung. Hm, menyedihkan memang. Padahal saat saya kecil, saya lumayan sering naik bendi bersama ibu ketika pulang dari pasar.
Ya, memang. Saya menghabiskan masa kecil dan sekolah saya di kota bengkuang, Padang, Sumatera Barat. Saat itu sekitar tahun 90-an, bendi masih dijadikan alat transportasi umum di kota Padang. Setiap kali Ibu mengajak saya ke pasar, sudah dapat dipastikan pulangnya selalu naik bendi yang akan mengantarkan kami tepat di depan rumah. Ya, kira-kira samalah dengan naik taksi di zaman sekarang. Cuma bedanya, bendi tak memiliki argo layaknya taksi. Pun tarif bendi itu tidaklah semahal taksi, cukup kesepakatan antara penumpang dan kusir bendinya saja dan tentu saja berdasarkan jarak tempuh.
Kenangan yang masih terekam saat naik bendi itu adalah ... yup, sama seperti syair lagu di atas. Saya lebih sering duduk di depan, di samping Pak Kusir. Bahkan bila hati sedang senang, saya bisa menghentak-hentakkan kaki sambil bersenandung menyanyikan lagu Naik Delman.
Selain itu, saya bisa leluasa melihat Pak Kusir menarik-ulur tambang yang diikatkan di bendi. Bahkan, saya pernah ingin sekali memegang tali kendali kuda itu, tapi langsung ditolak oleh Pak Kusirnya.
Alasan lain kenapa saya lebih suka duduk di samping kusir bendi daripada di belakang bersama Ibu adalah karena duduk di depan itu lebih stabil dan tidak berat sebelah. Coba saja kalian duduk di belakang yang harus menyamping. Kalau seimbang sih, no problemo. Tapi bila hanya kalian seorang yang duduk di belakang, wah ... sensasi duduknya terasa sekali. Apalagi harus mengikuti alunan jalannya kuda yang agak melompat-lompat, siap-siap selalu berpegangan erat di tiang keratanya. Hehehe ....
Tapi sebenarnya, bukan hanya itu saja alasan saya lebih memilih duduk di samping Pak kusir. Ada alasan khusus juga. Ya, saya ogah banget bersentuhan dengan belanjaan Ibu yang beraneka bau itu. Bayangkan saja, bau amis yang berasal dari ikan atau ayam, hm ... mending jauh-jauh deh. Eh, tapi jangan bilang-bilang ke Ibu saya ya. Karena beliau pasti akan cerewet dan mengatakan, "Saat mentah bilang bau amis, eh pas udah jadi ayam kentucky pada rebutan deh."
Hahaha .... Itulah sekelumit kisah masa kecilku bersama bendi. Entahlah, apakah anak saya kelak masih bisa merasakan sensasi naik bendi/delman atau tidak. Mengingat sekarang saja, bendi/delman sudah jarang ditemui di jalan-jalan kampung.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H