Transparansi dan akuntabilitas adalah dua pilar penting dalam strategi untuk meminimalkan risiko AI. Organisasi dan perusahaan yang mengembangkan AI harus memastikan bahwa proses pengembangan dan penggunaan AI mereka transparan, sehingga dapat dipahami dan diawasi oleh berbagai pihak. Transparansi ini termasuk pemahaman tentang bagaimana algoritma AI bekerja, serta keputusan apa yang diambil berdasarkan data yang diproses oleh AI.
Kate Crawford, peneliti senior di Microsoft Research dan penulis buku Atlas of AI, berpendapat bahwa tanpa transparansi yang jelas, AI dapat dengan mudah disalahgunakan untuk menguntungkan segelintir orang atau perusahaan, sementara merugikan yang lainnya. Ia menekankan bahwa AI harus dikembangkan dengan kesadaran akan dampaknya terhadap masyarakat luas, termasuk potensi untuk memperburuk ketidaksetaraan sosial.
Organisasi seperti Partnership on AI, yang melibatkan berbagai perusahaan teknologi besar dan akademisi, telah menyusun pedoman tentang penggunaan AI yang adil dan transparan. Pedoman ini menekankan pentingnya memperkenalkan sistem yang dapat menjelaskan keputusan yang diambil oleh AI, agar dapat dipertanggungjawabkan oleh manusia yang terlibat dalam pengembangannya.
Data Pendukung:
- Partnership on AI: Organisasi ini berfokus pada prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengembangan AI. Mereka berusaha untuk membangun kesepakatan global mengenai pengelolaan AI secara etis dan terbuka.
- Penelitian oleh Kate Crawford: Menunjukkan bagaimana AI dapat memperburuk ketidaksetaraan sosial tanpa adanya transparansi dalam pengembangan dan penerapannya.
3. Membangun AI yang Adil dan Tidak Bias
Salah satu risiko terbesar dalam AI adalah munculnya bias dalam algoritma yang digunakan untuk mengambil keputusan. Bias ini dapat timbul dari data yang digunakan untuk melatih sistem AI. Jika data yang digunakan mengandung bias atau tidak mencerminkan keragaman dunia nyata, maka keputusan yang diambil oleh AI dapat merugikan kelompok tertentu, seperti diskriminasi rasial atau gender.
Ruha Benjamin, seorang profesor di Princeton University dan penulis buku Race After Technology, mengingatkan bahwa teknologi bukanlah entitas netral. Teknologi mencerminkan nilai-nilai dan asumsi yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, sangat penting untuk memastikan bahwa data yang digunakan untuk melatih AI bersifat inklusif dan mencakup berbagai kelompok yang beragam. Benjamin juga menekankan pentingnya keterlibatan berbagai pihak dalam pengembangan teknologi, termasuk kelompok yang sering terpinggirkan.
Beberapa pendekatan untuk meminimalkan bias dalam AI antara lain:
- Penggunaan data yang lebih representatif: Mengumpulkan data yang mencakup keragaman kelompok sosial, ras, dan gender untuk melatih model AI.
- Audit algoritma secara berkala: Melakukan audit secara teratur terhadap algoritma untuk mendeteksi dan mengoreksi bias yang mungkin timbul.
Data Pendukung:
- Penelitian oleh ProPublica (2016): Menunjukkan bahwa algoritma penilaian risiko dalam sistem peradilan AS cenderung mendiskriminasi kelompok minoritas. Hal ini memperlihatkan pentingnya memastikan bahwa AI tidak memperburuk ketidakadilan sosial yang ada.
- Peningkatan Audit Algoritma: Beberapa organisasi, termasuk AI Now Institute, telah mengusulkan untuk melakukan audit algoritma secara berkala untuk mengidentifikasi dan mengoreksi bias dalam sistem AI.
4. Meningkatkan Kolaborasi Antar Sektor
Untuk meminimalkan risiko AI, kolaborasi antar sektor---baik itu pemerintah, industri, akademia, dan masyarakat---sangat penting. Teknologi AI berkembang dengan cepat, dan pendekatan yang holistik dan kolaboratif akan lebih efektif dalam menangani masalah yang muncul. Pemerintah, misalnya, perlu bekerja sama dengan perusahaan teknologi untuk memastikan pengembangan AI yang etis dan aman.