Mohon tunggu...
Ali Mustahib Elyas
Ali Mustahib Elyas Mohon Tunggu... Guru - Bacalah atas nama Tuhanmu

Pendidikan itu Membebaskan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Oposisi Politik dan Implikasinya bagi Pendidikan

13 Oktober 2024   12:22 Diperbarui: 13 Oktober 2024   12:52 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada akhirnya, lembaga pendidikan harus tetap menjadi agen perubahan. Sekolah harus berfungsi sebagai think tank yang menumbuhkan karakter dan kecerdasan generasi penerus bangsa. Ini hanya bisa terwujud jika guru dan seluruh elemen pendidikan sadar akan posisinya sebagai produsen benih-benih peradaban. Tantangan besar bagi para pendidik adalah memastikan bahwa murid sebagai subyek pendidikan dapat berkembang secara utuh---baik secara akademis maupun karakter.

Kebebasan berpikir di sekolah adalah fondasi penting untuk membangun generasi yang kritis dan beradab. Jika oposisi dalam konteks demokrasi berperan untuk mengontrol kekuasaan, maka dalam pendidikan, kebebasan berpikir berperan sebagai oposisi terhadap dogma yang dapat membatasi pemikiran siswa. Ini adalah bentuk oposisi yang sehat dan dibutuhkan untuk mendorong tumbuhnya bangsa yang kuat secara fundamental.

Menurut Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan kritis asal Brazil, kebebasan berpikir adalah kunci dari "pendidikan pembebasan", di mana guru tidak hanya menjadi pengajar, tetapi fasilitator yang membantu siswa berpikir secara mandiri. Freire berpendapat bahwa pendidikan harus menumbuhkan kesadaran kritis (conscientizao) yang membebaskan individu dari penindasan mental dan mendorong siswa untuk mempertanyakan status quo. "Pendidikan sejati," menurut Freire, "tidak memaksakan pemikiran, tetapi memungkinkan dialog di mana siswa dan guru sama-sama belajar."

Senada dengan itu, Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, mengemukakan konsep "ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani", yang menekankan kebebasan siswa untuk berkembang dengan bimbingan. Dewantara percaya bahwa pendidikan harus menuntun siswa untuk berpikir kritis dan merdeka, di mana guru bukanlah pusat dari segala ilmu, melainkan memberikan teladan, membangun inisiatif, dan memberikan kebebasan di belakang, sehingga siswa dapat mengeksplorasi gagasan dan menemukan potensi diri mereka sendiri.

Keduanya menekankan bahwa kebebasan berpikir di sekolah bukan sekadar hak, tetapi juga tanggung jawab guru untuk mendorong siswa agar mampu berpikir secara kritis, kreatif, dan independen. Dengan demikian, sekolah menjadi tempat yang aman bagi perkembangan intelektual yang kritis, bukan sekadar ruang untuk menghafal dan mengikuti dogma, tetapi arena untuk berpikir, berdebat, dan menemukan kebenaran.

Dengan demikian, spirit oposisi positif yang dijalankan dengan rasionalitas dan kebebasan berpikir perlu terus digelorakan di lingkungan pendidikan. Ini bukan hanya akan memperkuat kualitas demokrasi dalam dunia pendidikan, tetapi juga berkontribusi pada kemajuan peradaban bangsa di masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun