Ali Mustahib Elyas
Dalam sebuah sistem demokrasi, peran oposisi sangat krusial. Oposisi bukanlah pengganggu stabilitas kekuasaan, tetapi justru menjadi mekanisme yang membantu memastikan adanya pertanggungjawaban atas mandat yang diemban oleh pemegang kekuasaan. Moh. Hatta pernah berkata, "Kekuasaan kalau tidak dikontrol, akan memakan anak-anaknya sendiri." Hal ini menegaskan pentingnya keberadaan oposisi dalam setiap level kekuasaan untuk mencegah munculnya penyalahgunaan kekuasaan dan menghindari terjadinya degradasi moral di kalangan penguasa.
Menurut pakar politik, Prof. Miriam Budiardjo, oposisi berfungsi sebagai pengawas pemerintah dengan tujuan untuk memperkuat kualitas demokrasi. Tanpa adanya oposisi yang kuat, demokrasi akan kehilangan elemen pengendalian yang sehat, yang diperlukan untuk menyeimbangkan kekuasaan. Oposisi bukan hanya berperan sebagai penyeimbang, tetapi juga sebagai pendorong agar kekuasaan tetap berada di jalur yang benar dan melaksanakan mandat dengan penuh tanggung jawab.
Namun, kekuatan oposisi harus dibangun atas dasar ilmu dan rasionalitas. Oposisi yang tidak didasarkan pada argumen rasional hanya akan menimbulkan kegaduhan yang tidak bermakna. Prof. Jeffrie Geovanie dalam karyanya menekankan bahwa oposisi yang sehat harus mampu mengkritisi kekuasaan dengan logika yang kuat, data yang valid, dan argumen yang berbobot. Ini akan membantu menciptakan ruang diskusi yang produktif dan memperkuat kualitas pengambilan keputusan di ranah kekuasaan.
Pentingnya Oposisi dalam Lingkungan Pendidikan
Prinsip oposisi sebagai pengontrol kekuasaan juga penting diterapkan dalam dunia pendidikan, terutama di sekolah. Lingkungan sekolah seharusnya menjadi tempat tumbuhnya kebebasan berpikir dan bertukar pendapat. Sayangnya, menurut Aris Adi Leksono, salah satu komisioner KPAI, data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa lembaga pendidikan menempati posisi kedua setelah keluarga sebagai tempat yang sering terjadi kekerasan. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam relasi kekuasaan di antara guru, siswa, dan pihak-pihak lain di sekolah.
Fenomena ini dapat diartikan sebagai tanda bahwa sekolah belum sepenuhnya berhasil menjadi agen perubahan yang diharapkan. Alih-alih menjadi tempat tumbuhnya karakter yang beradab, sekolah justru menjadi ajang benturan kekuasaan antara pihak yang superior dan inferior. Kekuasaan yang tidak terkontrol dalam dunia pendidikan menciptakan suasana yang tidak sehat bagi perkembangan anak. Adanya kekerasan kebijakan (kebijakan yang tidak seimbang, kebijakan yang top down) dapat memicu tumbuhnya kekerasan yan anti demokrasi di sekolah.
Guru, sebagai figur yang memiliki otoritas di dalam kelas, memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa murid-muridnya dapat berpikir secara independen. Filosof Yunani, Socrates, mengatakan bahwa guru seharusnya tidak mengajar secara dogmatis, tetapi menciptakan situasi di mana murid mampu berpikir secara mandiri. "Guru tidak semestinya mengajar, tetapi cukup membuat murid mampu berpikir." Pendekatan ini memungkinkan siswa untuk mengeksplorasi pemikirannya sendiri, berani menyuarakan pendapatnya, dan berdiskusi dengan teman-temannya dalam suasana demokratis.
Rocky Gerung juga menekankan pentingnya perdebatan dalam memperkuat kualitas berpikir. "Pikiran dapat disebut pikiran apabila diperdebatkan." Artinya, di lingkungan sekolah, forum-forum diskusi dan perdebatan harus didorong agar kebebasan berpikir siswa terfasilitasi. Hal ini tidak hanya memperkuat demokrasi di lingkungan sekolah, tetapi juga memupuk kemampuan kritis siswa, yang kelak akan menjadi bagian penting dari fondasi peradaban bangsa.
Sekolah sebagai Agen Perubahan
Pada akhirnya, lembaga pendidikan harus tetap menjadi agen perubahan. Sekolah harus berfungsi sebagai think tank yang menumbuhkan karakter dan kecerdasan generasi penerus bangsa. Ini hanya bisa terwujud jika guru dan seluruh elemen pendidikan sadar akan posisinya sebagai produsen benih-benih peradaban. Tantangan besar bagi para pendidik adalah memastikan bahwa murid sebagai subyek pendidikan dapat berkembang secara utuh---baik secara akademis maupun karakter.
Kebebasan berpikir di sekolah adalah fondasi penting untuk membangun generasi yang kritis dan beradab. Jika oposisi dalam konteks demokrasi berperan untuk mengontrol kekuasaan, maka dalam pendidikan, kebebasan berpikir berperan sebagai oposisi terhadap dogma yang dapat membatasi pemikiran siswa. Ini adalah bentuk oposisi yang sehat dan dibutuhkan untuk mendorong tumbuhnya bangsa yang kuat secara fundamental.
Menurut Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan kritis asal Brazil, kebebasan berpikir adalah kunci dari "pendidikan pembebasan", di mana guru tidak hanya menjadi pengajar, tetapi fasilitator yang membantu siswa berpikir secara mandiri. Freire berpendapat bahwa pendidikan harus menumbuhkan kesadaran kritis (conscientizao) yang membebaskan individu dari penindasan mental dan mendorong siswa untuk mempertanyakan status quo. "Pendidikan sejati," menurut Freire, "tidak memaksakan pemikiran, tetapi memungkinkan dialog di mana siswa dan guru sama-sama belajar."
Senada dengan itu, Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, mengemukakan konsep "ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani", yang menekankan kebebasan siswa untuk berkembang dengan bimbingan. Dewantara percaya bahwa pendidikan harus menuntun siswa untuk berpikir kritis dan merdeka, di mana guru bukanlah pusat dari segala ilmu, melainkan memberikan teladan, membangun inisiatif, dan memberikan kebebasan di belakang, sehingga siswa dapat mengeksplorasi gagasan dan menemukan potensi diri mereka sendiri.
Keduanya menekankan bahwa kebebasan berpikir di sekolah bukan sekadar hak, tetapi juga tanggung jawab guru untuk mendorong siswa agar mampu berpikir secara kritis, kreatif, dan independen. Dengan demikian, sekolah menjadi tempat yang aman bagi perkembangan intelektual yang kritis, bukan sekadar ruang untuk menghafal dan mengikuti dogma, tetapi arena untuk berpikir, berdebat, dan menemukan kebenaran.
Dengan demikian, spirit oposisi positif yang dijalankan dengan rasionalitas dan kebebasan berpikir perlu terus digelorakan di lingkungan pendidikan. Ini bukan hanya akan memperkuat kualitas demokrasi dalam dunia pendidikan, tetapi juga berkontribusi pada kemajuan peradaban bangsa di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H