Mohon tunggu...
Ali Mustahib Elyas
Ali Mustahib Elyas Mohon Tunggu... Guru - Bacalah atas nama Tuhanmu

Pendidikan itu Membebaskan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dilema Pendidikan Indonesia dalam Bayangan Finlandia

4 September 2024   21:18 Diperbarui: 4 September 2024   21:22 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sistem pendidikan di Finlandia telah lama diakui sebagai salah satu yang terbaik di dunia. Keberhasilan ini bukan hanya karena kurikulum yang diterapkan, tetapi juga karena pendekatan yang humanis dan inklusif terhadap pendidikan. Finlandia menekankan pentingnya kesetaraan, kerja sama, dan fleksibilitas dalam pembelajaran. Hal ini mencerminkan filosofi pendidikan yang berfokus pada pengembangan karakter dan keterampilan sosial, bukan hanya pencapaian akademik. 

Di sisi lain, kondisi pendidikan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Banyak aspek penting dari pendidikan di Finlandia yang belum sepenuhnya terwujud di Indonesia, yang menunjukkan perlunya reformasi yang mendalam. Berikut beberapa problem yang menjadi kendala bagi peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia

Problem Kesenjangan

Salah satu problem utama dalam pendidikan di Indonesia adalah kesenjangan yang signifikan dalam akses dan kualitas pendidikan. Menurut Dr. Pasi Sahlberg, seorang pakar pendidikan internasional, "sistem pendidikan yang baik adalah sistem yang mengurangi kesenjangan dan memberikan akses yang setara kepada semua anak untuk mencapai potensi mereka." 

Hal ini menyoroti kenyataan bahwa di Indonesia, tidak semua anak memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan berkualitas. Kualitas pendidikan yang bervariasi di antara daerah perkotaan dan pedesaan menunjukkan perlunya perhatian lebih terhadap distribusi sumber daya pendidikan yang lebih merata. 

Masalah kesenjangan ini semakin dilematis ketika beberapa pihak yang memiliki kapital besar memilih membangun lembaga-lembaga pendidikan suasta dengan harga sangat mahal tetapi dengan jaminan kualitas terbaik. Hasilnya dapat dipastikan bahwa hanya orang-orang kaya yang mampu mencapai peningkatan kecerdasan optimal sedangkan mereka yang miskin tetap akan tertinggal. Dari sini akan memicu tumbuh suburnya berbagai kesenjangan lain di berbagai bidang sebagai konsekuensinya.  

Standarisasi Ujian

Problem lainnya yaitu adanya berbagai standarisasi ujian yang masih mendominasi sistem pendidikan di Indonesia. UN memang sudah lama dihapus. Tapi mentalitas UN masih ada. Ketergantungan yang tinggi pada ujian ini menciptakan tekanan besar pada siswa untuk mencapai nilai tinggi. 

Hal ini sering kali mengabaikan keunikan dan kecerdasan individu siswa. Anies Baswedan, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pernah menyatakan bahwa "ujian yang hanya berfokus pada aspek kognitif dapat mengerdilkan potensi siswa di bidang lain yang mungkin lebih penting bagi masa depan mereka." Dengan demikian, pendekatan yang lebih holistik dalam penilaian sangat dibutuhkan agar siswa dapat mengeksplorasi potensi mereka secara lebih baik.

Kualitas Guru

Kualitas guru di Indonesia juga menjadi perhatian utama dalam konteks pendidikan. Menurut penelitian dari World Bank, hanya sekitar 30% guru di Indonesia yang memiliki kualifikasi yang memadai. Di Finlandia, semua guru diwajibkan memiliki gelar master dan pemahaman mendalam tentang pedagogi. Sebaliknya, di Indonesia, kualitas guru bervariasi secara signifikan. 

Meskipun ada upaya untuk meningkatkan kualifikasi guru, masih banyak yang belum memenuhi standar pendidikan yang optimal. Prof. Suyanto, seorang ahli pendidikan Indonesia, berpendapat bahwa "profesi guru di Indonesia belum sepenuhnya dihargai, baik dari segi gaji maupun status sosial, yang berdampak pada motivasi dan kualitas pengajaran." Oleh karena itu, peningkatan kualitas pendidikan tidak dapat terlepas dari upaya untuk meningkatkan status dan kesejahteraan guru.

Mengutamakan Kompetisi daripada Kolaborasi

Sistem pendidikan di Indonesia cenderung menekankan pada persaingan (kompetisi) dan prestasi akademik. Siswa didorong untuk bersaing dalam berbagai kompetisi, baik di dalam maupun di luar sekolah. Daftar peringkat siswa masih menjadi acuan utama dalam menilai keberhasilan, yang sering kali mengabaikan pentingnya kerja sama (kolaborasi) dan pengembangan karakter. Hal ini berbeda dengan Finlandia yang menekankan kolaborasi di antara siswa. 

Arief Rachman, seorang pemerhati pendidikan, menekankan bahwa "persaingan yang berlebihan sering kali menimbulkan tekanan yang berlebihan pada siswa, yang dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan emosional mereka." Oleh karena itu, penting untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih mendukung kolaborasi dan pengembangan karakter. "Untuk apa sekolah kalau niatnya ingin mengalahkan orang lain", kata KH. Abdullah Salam, paman KH. Sahal Mahfudz, seorang ulama kharismatik dari Pati.

Fokus Pada Prestasi Akademik

Dalam konteks fokus yang berlebihan pada prestasi akademik, pendidikan di Indonesia sering kali memprioritaskan pencapaian akademik di bidang matematika, sains, dan bahasa. Aspek emosional dan sosial siswa kurang mendapat perhatian. Sekolah-sekolah di Indonesia cenderung kurang memberikan ruang bagi pengembangan holistik yang melibatkan kesejahteraan emosional dan mental siswa, yang justru menjadi prioritas utama dalam sistem pendidikan Finlandia. 

Howard Gardner, pencetus teori kecerdasan majemuk, menyatakan bahwa "pendidikan harus mencakup seluruh aspek perkembangan manusia, termasuk aspek kognitif, emosional, dan sosial." Dengan demikian, penting untuk mengintegrasikan aspek kesejahteraan siswa dalam kurikulum agar pendidikan dapat lebih menyeluruh.

Anak-anak di Indonesia mulai masuk sekolah pada usia yang relatif dini, biasanya pada usia 4-5 tahun di jenjang taman kanak-kanak. Meskipun pendidikan usia dini penting, sering kali tekanan akademik sudah diberikan sejak usia yang sangat muda. Ini dapat mengurangi waktu bermain dan kebebasan anak untuk mengeksplorasi dunianya secara alami. 

Berbeda dengan Finlandia yang baru memulai pendidikan formal pada usia 7 tahun, anak-anak Indonesia menghadapi jadwal belajar yang ketat sejak dini. Dr. John Dewey, seorang filsuf dan reformis pendidikan, menekankan pentingnya "pendekatan yang lebih fleksibel dalam menentukan usia mulai sekolah agar sesuai dengan perkembangan anak."

Pilihan pendidikan di Indonesia masih sangat terbatas pada jalur akademik tradisional. Meskipun ada sekolah kejuruan, mereka sering kali dianggap sebagai pilihan kedua setelah pendidikan akademik. Siswa yang tidak tertarik atau kurang berprestasi dalam akademik sering kali merasa tidak memiliki opsi lain yang layak. 

Hal ini dapat berdampak negatif pada motivasi dan masa depan mereka. Oleh karena itu, diversifikasi jalur pendidikan menjadi sangat penting untuk memberikan kesempatan kepada semua siswa sesuai dengan minat dan bakat mereka. Dr. Andreas Schleicher, Direktur OECD untuk Pendidikan dan Keterampilan, menekankan bahwa "pendidikan harus memberikan kesempatan yang setara bagi semua siswa untuk sukses, terlepas dari jalur yang mereka pilih."

Sistem Pembelajaran yang Formalistik dan Sarat Beban

Jadwal belajar di Indonesia biasanya sangat padat, dengan siswa mulai belajar lebih pagi dan memiliki jadwal yang padat hingga sore hari. Jam belajar yang panjang ini, ditambah dengan banyaknya tugas dan PR, sering kali membuat siswa merasa lelah dan kurang memiliki waktu untuk aktivitas lainnya.

Hal ini berbanding terbalik dengan Finlandia, di mana siswa memiliki jadwal belajar yang lebih fleksibel dan waktu istirahat yang lebih panjang. Prof. Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, telah mengusulkan bahwa "penyesuaian jadwal belajar yang lebih fleksibel dapat meningkatkan kesejahteraan siswa dan efektivitas pembelajaran."

Di Indonesia, siswa biasanya berganti-ganti guru setiap tahun ajaran. Hal ini dapat mengurangi kontinuitas dalam proses belajar-mengajar. Berbeda dengan Finlandia, di mana siswa diajar oleh guru yang sama selama bertahun-tahun, sistem di Indonesia sering kali tidak memungkinkan terbentuknya hubungan yang mendalam antara guru dan siswa.

Hubungan yang kuat antara guru dan siswa sangat penting untuk memahami kebutuhan belajar individu dan menciptakan lingkungan belajar yang positif. James Comer, seorang psikiater anak dan pendidik, menekankan bahwa "hubungan yang stabil antara guru dan siswa adalah kunci untuk menciptakan iklim belajar yang aman dan mendukung."

Pembelajaran di Indonesia cenderung lebih formal dan ketat, dengan tekanan yang besar pada disiplin dan kepatuhan. Suasana kelas sering kali kaku dan fokus pada pencapaian kurikulum, dengan sedikit ruang untuk kreativitas atau pendekatan pembelajaran yang menyenangkan. 

Hal ini sangat berbeda dengan Finlandia, di mana suasana pembelajaran cenderung lebih santai dan menyenangkan. Prof. Sugata Mitra, seorang pakar pendidikan, menyatakan bahwa "menciptakan lingkungan belajar yang lebih menyenangkan dapat membantu siswa merasa lebih terlibat dan termotivasi dalam proses belajar."

Siswa di Indonesia sering kali dibebani dengan pekerjaan rumah yang banyak, yang memakan waktu berjam-jam setiap harinya. PR yang banyak ini sering kali menambah tekanan pada siswa dan mengurangi waktu mereka untuk istirahat, bermain, atau mengikuti kegiatan ekstrakurikuler yang penting untuk pengembangan diri mereka secara menyeluruh. 

Berbeda dengan Finlandia, di mana siswa hanya memiliki sedikit PR, yang dirancang untuk tidak mengganggu keseimbangan hidup mereka. Alfie Kohn, seorang penulis dan kritikus pendidikan, menyarankan bahwa "pengaturan PR yang lebih seimbang dapat membantu siswa memiliki lebih banyak waktu untuk aktivitas lainnya yang mendukung perkembangan mereka."

Bagaimana Meperbaikinya?

Pendidikan di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan dalam mencapai kualitas yang setara dengan negara-negara maju seperti Finlandia. Sistem yang masih berorientasi pada hasil akademik, persaingan, dan kurangnya fleksibilitas perlu diperbaiki untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif, menyenangkan, dan mendukung perkembangan siswa secara menyeluruh. Prof. Rhenald Kasali, seorang guru besar ekonomi, mengingatkan bahwa "langkah-langkah konkret perlu diambil untuk memperbaiki sistem pendidikan, termasuk reformasi penilaian, peningkatan kualitas guru, dan diversifikasi jalur pendidikan."

Memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia agar lebih inklusif, menyenangkan, dan mendukung perkembangan siswa secara menyeluruh memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai pihak. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah reformasi ujian dan penilaian. 

Mengurangi ketergantungan pada ujian standar dapat membantu mengurangi tekanan pada siswa dan memungkinkan mereka untuk belajar dengan cara yang lebih sesuai dengan kemampuan dan minat mereka. Selain itu, penilaian berbasis kompetensi dapat lebih berfokus pada pengembangan keterampilan dan kompetensi, termasuk keterampilan berpikir kritis, kreativitas, dan kemampuan sosial.

Peningkatan kualitas guru juga menjadi langkah penting dalam memperbaiki pendidikan di Indonesia.  Investasi dalam pendidikan dan pelatihan guru sangat penting. Guru perlu dilatih untuk menggunakan metode pengajaran yang lebih inklusif dan berbasis pada kebutuhan siswa, bukan hanya pada pencapaian akademik. Selain itu, penting untuk meningkatkan kesejahteraan dan status sosial guru, sehingga profesi ini menjadi lebih menarik dan dihargai.

Diversifikasi jalur pendidikan juga menjadi kunci untuk menciptakan pendidikan yang lebih inklusif dan sesuai dengan kebutuhan setiap siswa. Menyediakan berbagai jalur pendidikan yang dapat dipilih oleh siswa sesuai dengan minat dan bakat mereka akan membantu mengurangi tekanan dan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi setiap siswa untuk berhasil. Di sisi lain, penting juga untuk menciptakan suasana belajar yang lebih fleksibel dan menyenangkan, di mana siswa dapat belajar dengan cara yang lebih santai dan sesuai dengan kebutuhan mereka.

Hubungan antara guru dan siswa juga perlu diperhatikan dengan serius. Guru yang mendampingi siswa selama beberapa tahun dapat membantu membangun hubungan yang lebih kuat dan mendalam, yang akan mendukung proses pembelajaran yang lebih baik. Selain itu, penting juga untuk menciptakan suasana kelas yang lebih inklusif dan menyenangkan, di mana siswa merasa aman dan didukung dalam proses belajar mereka.

Kesimpulannya, memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia memerlukan pendekatan yang holistik dan komprehensif. Ini mencakup reformasi ujian, peningkatan kualitas guru, diversifikasi jalur pendidikan, serta penciptaan suasana belajar yang lebih inklusif, fleksibel, dan menyenangkan. Dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat bergerak menuju sistem pendidikan yang lebih baik dan lebih sesuai dengan kebutuhan masa depan, yang dapat menghasilkan generasi yang lebih siap menghadapi tantangan global.

Cipinang, 4 September 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun