Mohon tunggu...
Ali Mustahib Elyas
Ali Mustahib Elyas Mohon Tunggu... Guru - Bacalah atas nama Tuhanmu

Pendidikan itu Membebaskan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dilema Pendidikan Indonesia dalam Bayangan Finlandia

4 September 2024   21:18 Diperbarui: 4 September 2024   21:22 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kualitas guru di Indonesia juga menjadi perhatian utama dalam konteks pendidikan. Menurut penelitian dari World Bank, hanya sekitar 30% guru di Indonesia yang memiliki kualifikasi yang memadai. Di Finlandia, semua guru diwajibkan memiliki gelar master dan pemahaman mendalam tentang pedagogi. Sebaliknya, di Indonesia, kualitas guru bervariasi secara signifikan. 

Meskipun ada upaya untuk meningkatkan kualifikasi guru, masih banyak yang belum memenuhi standar pendidikan yang optimal. Prof. Suyanto, seorang ahli pendidikan Indonesia, berpendapat bahwa "profesi guru di Indonesia belum sepenuhnya dihargai, baik dari segi gaji maupun status sosial, yang berdampak pada motivasi dan kualitas pengajaran." Oleh karena itu, peningkatan kualitas pendidikan tidak dapat terlepas dari upaya untuk meningkatkan status dan kesejahteraan guru.

Mengutamakan Kompetisi daripada Kolaborasi

Sistem pendidikan di Indonesia cenderung menekankan pada persaingan (kompetisi) dan prestasi akademik. Siswa didorong untuk bersaing dalam berbagai kompetisi, baik di dalam maupun di luar sekolah. Daftar peringkat siswa masih menjadi acuan utama dalam menilai keberhasilan, yang sering kali mengabaikan pentingnya kerja sama (kolaborasi) dan pengembangan karakter. Hal ini berbeda dengan Finlandia yang menekankan kolaborasi di antara siswa. 

Arief Rachman, seorang pemerhati pendidikan, menekankan bahwa "persaingan yang berlebihan sering kali menimbulkan tekanan yang berlebihan pada siswa, yang dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan emosional mereka." Oleh karena itu, penting untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih mendukung kolaborasi dan pengembangan karakter. "Untuk apa sekolah kalau niatnya ingin mengalahkan orang lain", kata KH. Abdullah Salam, paman KH. Sahal Mahfudz, seorang ulama kharismatik dari Pati.

Fokus Pada Prestasi Akademik

Dalam konteks fokus yang berlebihan pada prestasi akademik, pendidikan di Indonesia sering kali memprioritaskan pencapaian akademik di bidang matematika, sains, dan bahasa. Aspek emosional dan sosial siswa kurang mendapat perhatian. Sekolah-sekolah di Indonesia cenderung kurang memberikan ruang bagi pengembangan holistik yang melibatkan kesejahteraan emosional dan mental siswa, yang justru menjadi prioritas utama dalam sistem pendidikan Finlandia. 

Howard Gardner, pencetus teori kecerdasan majemuk, menyatakan bahwa "pendidikan harus mencakup seluruh aspek perkembangan manusia, termasuk aspek kognitif, emosional, dan sosial." Dengan demikian, penting untuk mengintegrasikan aspek kesejahteraan siswa dalam kurikulum agar pendidikan dapat lebih menyeluruh.

Anak-anak di Indonesia mulai masuk sekolah pada usia yang relatif dini, biasanya pada usia 4-5 tahun di jenjang taman kanak-kanak. Meskipun pendidikan usia dini penting, sering kali tekanan akademik sudah diberikan sejak usia yang sangat muda. Ini dapat mengurangi waktu bermain dan kebebasan anak untuk mengeksplorasi dunianya secara alami. 

Berbeda dengan Finlandia yang baru memulai pendidikan formal pada usia 7 tahun, anak-anak Indonesia menghadapi jadwal belajar yang ketat sejak dini. Dr. John Dewey, seorang filsuf dan reformis pendidikan, menekankan pentingnya "pendekatan yang lebih fleksibel dalam menentukan usia mulai sekolah agar sesuai dengan perkembangan anak."

Pilihan pendidikan di Indonesia masih sangat terbatas pada jalur akademik tradisional. Meskipun ada sekolah kejuruan, mereka sering kali dianggap sebagai pilihan kedua setelah pendidikan akademik. Siswa yang tidak tertarik atau kurang berprestasi dalam akademik sering kali merasa tidak memiliki opsi lain yang layak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun