Mohon tunggu...
Ali Mustahib Elyas
Ali Mustahib Elyas Mohon Tunggu... Guru - Bacalah atas nama Tuhanmu

Pendidikan itu Membebaskan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Koruptor Tidak Layak Disopan-Santuni

12 Agustus 2024   22:18 Diperbarui: 13 Agustus 2024   11:39 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : pngtree.com

Korupsi dan pungutan liar (pungli) yang semakin merajalela di Indonesia telah mencapai tahap yang sangat mengkhawatirkan. Para pelaku kejahatan ini semakin terang-terangan dalam aksinya, bahkan melibatkan aparat penegak hukum. 

Sayangnya, masih banyak anggota masyarakat yang memilih untuk bungkam, enggan untuk menyuarakan penolakan mereka dengan alasan menjaga etika, menghindari kegaduhan, atau merasa bahwa hal tersebut bukan urusan mereka. Dalam konteks kemungkaran yang semakin parah ini, sikap diam sudah bukan lagi pilihan bijak, melainkan cerminan dari ketakutan, kepentingan pribadi, atau bahkan keterlibatan dalam keburukan yang sama.

Sikap Diam: Antara Etika dan Rasionalitas


Sebagian masyarakat sering kali beralasan bahwa sikap diam mereka didasari oleh pertimbangan moralitas dan etika. Mereka merasa bahwa mengkritik dengan keras dan emosional adalah tindakan yang tidak etis, terutama jika kritik tersebut ditujukan kepada pimpinan atau otoritas. Mereka beranggapan bahwa menjaga harmoni dan ketertiban lebih penting daripada bersuara lantang melawan ketidakadilan.

Namun, pandangan ini mendapatkan kritik dari berbagai ahli hukum dan agama. Dr. Zainuddin Ali, seorang pakar hukum Islam, menegaskan bahwa "diam dalam menghadapi kemungkaran, terutama korupsi yang sudah tergolong extra ordinary crime, adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai keadilan. Dalam Islam, amar ma'ruf nahi munkar adalah kewajiban bagi setiap individu, tanpa terkecuali. Membiarkan kemungkaran terjadi sama saja dengan memberikan ruang bagi kejahatan untuk tumbuh subur."

Di sisi lain, Prof. Mahfud MD, seorang pakar hukum tata negara, menyatakan bahwa "korupsi yang sistemik dan terstruktur seperti yang terjadi di Indonesia saat ini tidak bisa dilawan dengan sikap diam atau setengah hati. Dibutuhkan keberanian untuk bersuara, dan dalam konteks ini, kritik yang keras dan emosional adalah sesuatu yang wajar dan diperlukan. Ini bukan sekadar masalah emosi, tetapi rasionalitas yang memanfaatkan emosi untuk menyuarakan kebenaran."

Emosional yang Rasional: Ketika Kemarahan Menjadi Alat Perlawanan

Kritik keras terhadap perilaku koruptif sering kali dianggap sebagai bentuk ketidakmampuan mengendalikan emosi. Namun, dalam konteks korupsi yang masif dan terang-terangan, kemarahan adalah respons yang rasional. Kemarahan terhadap ketidakadilan dan penindasan adalah ekspresi moral yang sah, dan bahkan diperlukan untuk menumbuhkan keberanian dalam menyuarakan kebenaran.

KH. Said Aqil Siradj, seorang ulama terkemuka, menekankan bahwa "emosi dalam melawan kemungkaran, khususnya korupsi, adalah wujud dari keberanian moral. 

Islam tidak mengajarkan untuk diam ketika melihat kezaliman. Bahkan, dalam banyak hadis, Rasulullah SAW mengajarkan pentingnya menentang kemungkaran dengan tangan, lisan, atau hati, sesuai dengan kapasitas kita. Mengkritik dengan keras bukanlah bentuk ketidaksopanan, tetapi upaya untuk memperbaiki kondisi yang semakin buruk."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun