Itulah potensi para guru yang selama ini tersembunyi. Ia seperti tidak rela potensi ini terkubur  dalam diri guru dan tertimbun oleh rutinitas tugasnya. Rutinitas tugas guru yang sebetulnya komplementer dengan aktifitas literatif yang terus dipromosikannya bersama Eko Prasetyo, sang "koki" literasi yang piawai. Maklum. Ia mantan wartawan yang pernah bekerja cukup lama di Jawa Pos milik Dahlan Iskan.
Kepedulian Muhamad Ihsan untuk menggali potensi literasi guru, boleh jadi bertumpu pada tiga hal. Pertama, tidak mungkin seorang guru yang setiap hari harus melayani siswanya yang dahaga ilmu, sementara dirinya malas membaca buku.  Kedua, tidak mungkin seorang guru tidak menulis tentang apa yang akan dilakukan untuk para siswanya dalam pembelajaran. Ketiga, pekerjaan menulis hanyalah memindahkan perkataan lisan ke dalam bentuk tulisan. Bukankah para guru setiap hari berkata-kata di depan para siswanya dan dengan sesama guru lainnya? Sayang sekali kalau ini tidak diabadikan dalam tulisan. Sebab komunikasi di lingkungan pendidikan atau sekolah  tentu mengandung  makna sangat berarti bagi tumbuh-kembangnya peradaban.  Maka segala upaya untuk menuliskannya menjadi suatu keniscayaan.  Â
Menurut saya, setidaknya tiga hal ini yang  membuat keyakinan Muhamad Ihsan menebal bahwa guru pasti bisa dilatih menulis. Oleh sebab itu, ia merasa kurang cukup hanya menginspirasi dan memotivasi, tetapi juga sesekali perlu "memprovokasi"  para guru.
Kepada para guru yang baru kali pertama menjadi peserta pelatihannya, Ia beri  motivasi untuk menumbuhkan semangat mereka dalam melatih diri sendiri. Kepada beberapa orang yang sudah mulai tampak potensinya, ia beri  inspirasi untuk memicu potensi mereka agar tumbuh dan berkembang, bahkan ia promosikan untuk menumbuhkan rasa percaya diri mereka sebagai orang yang layak diakui. Kepada mereka yang tampak kendor semangatnya, ia "provokasi" agar tersengat harga dirinya dan bangkit mengejar ketertinggalannya. Kalau pun ia tampak tak peduli pada pencapaian salah seorang peserta pelatihannya, sementara di sisi lain ia terlalu sering mempromosikan yang lainnya, boleh jadi ini termasuk bagian dari "provokasinya".
Kisah sukses Muhamad Ihsan dan kawan-kawan menggelar pelatihan menulis di berbagai daerah, yang kemudian dishare di media sosial (medsos), menjadi semacam "provokasi" bagi banyak pihak di daerah lain untuk mengadakan pelatihan serupa. Demikian juga pengumuman tentang peringkat wilayah atau kota dengan pemilik akun blog Gurusiana terbanyak yang sering ia share di medsos, juga bernada "provokatif". Apalagi di bagian akhir pengumuman itu tak lupa ia selipkan kalimat penutup "kompor mleduk", makin terasa kental "provokasinya" alias "ngomporinya".
Saya gak tahu kenapa teman-teman sering menyebut Muhamad Ihsan sebagai "jenderal", padahal ia bukan tentara. Mungkin ini karena ia pernah menjadi Sekretaris Jenderal IGI. Tapi saya lebih suka beralasan karena kedahsyatan komandonya bak seorang jenderal tentara dalam menggerakkan pasukannya. Ya. Muhamad Ihsan adalah seorang "Jenderal Kompor" yang sukses menggerakkan pasukan literasi di mana-mana. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H