Mohon tunggu...
Ali Mustahib Elyas
Ali Mustahib Elyas Mohon Tunggu... Guru - Bacalah atas nama Tuhanmu

Pendidikan itu Membebaskan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Negeri Para Penonton

30 Maret 2016   21:49 Diperbarui: 30 Maret 2016   22:56 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber gambar: ipk.sinarharapan.co"][/caption]Seseorang begitu antusias bercerita tentang kejayaan bangsa-bangsa dan orang-orang terdahulu. Tak lupa bercerita tentang kisah orang-orang masa kini yang hidupnya tidak kalah bernilainya dengan para pendahulunya.

Mereka tahu ada kisah-kisah heroik pada para tokoh di masa lalu. Ada Muhamad SAW, Alfatih, Gandhi, Soekarno, Soedirman dan masih banyak lagi. Mereka tahu ada kisah seorang ibu berusia 60 tahun yang tetap antusias menjadi mahasiswa. Lantas berdecak kagum sembari berucap, “subhanallah”. Lebih takjub lagi karena si ibu tua itu bahkan lanjut ke jenjang pascasarjana hingga meraih gelar doktor. “Uhhh…..luarr…biasa”.

Teringat pada sebuah gedung bioskop sederhana di Jakarta di tahun 80-an. Para penonton tiba-tiba bertepuk tangan sangat ramai di tengah-tengah keasyikannya menonton sebuah film. Mengapa begitu? O….ternyata mereka puas karena sang jagoan dalam film berhasil menaklukkan sang penjahat.

Ketika sekarang tontonan begitu mudah diakses setiap orang melalui televisi di rumah masing-masing. Sedangkan tayangan tivi lebih didominasi tontonan, boleh jadi bahkan apapun jenis tayangan yang masuk tivi harus tetap dibingkai sebagai hiburan dan tontonan, maka persepsi orang akan mudah terseret secara perlahan ke dalam lorong sempit yang penuh coretan berbunyi “tontonan dan hiburan” yang ujung-ujungnya akan membuat mereka kagum, gembira dan puas yang kemudian terkekspresikan melalui tepuk tangan meriah.  

Maka idealisme Kick Andy, Mata Najwa, Mario Teguh, ILC dan Karni Ilyas, yang luar biasa itu akhirnya hanya mampu membuat mereka kagum dan bertepuk tangan. Bahkan sikap para pimpinan negara seperti Joko Widodo, Basuki Tjahya Purnama, Tri Rismaharini, Ganjar Pranowo, Ridhwan Kamil dan masih banyak lagi yang serius mengurus rakyat juga lebih banyak menghasilkan kekaguman dan bukan keteladanan yang mestinya melahirkan sosok-sosok baru yang lebih progresif dan lebih “gila” dalam mengurus rakyat yang dipimpinnya. Buktinya, ada saja pejabat yang di “hari gini” masih saja ketangkap gara-gara korupsi.

Kegigihan seorang ibu tua yang tetap rajin belajar tidak lantas membuat orang yang lebih muda tergerak untuk lebih rajin belajar. Bahkan banyak di antaranya yang cuma sekedar takjub.  Banyak juga di antara mereka yang lebih muda, 60 tahun ke bawah, justru mengunci diri dengan berkata, “Ah…saya sudah mentok otaknya buat belajar”.

Seorang pejabat publik yang serius bekerja dan terbukti mampu menarik simpati banyak orang, toh tidak lantas menginspirasi pejabat lainnya untuk mampu bekerja seperti itu.

Seorang penulis dengan karya tulisnya yang indah. Lalu dia dengan tulus men-share melalui whatsapp tanpa menyebut nama dirinya, ternyata justru hanya melahirkan budaya copy paste dan sekedar like dengan gambar jempolnya. Jarang yang terinspirasi untuk menulis tanggapan, komentar atau gugatan kalau perlu, meskipun orang sebetulnya telah menulis komentar pendek, “inspiratif”.

Seorang siswi SMA Labschool Jakarta yang telah menulis buku sebanyak 37 judul juga tidak lantas membuat sesamanya bangkit dari keterlenaannya dengan hura-huranya. Seorang siswi MTs di Sumenep Madura, anak pemulung dan sering bantu kakaknya jual rujak di pinggir jalan tapi punya prestasi dunia dalam olimpiade matematika di India, juga cuma mampu membuat teman-teman sebayanya berkomentar, “wisss…..hebat….canggih benerrr…”. Hanya ini dan gak lebih dari ini.

Orang sering mengkritik bangsa ini sedang mengalami krisis keteladanan. Tetapi ketika para teladan itu hadir di depannya, ternyata dia hanya bisa mengaguminya dan belum mampu menangkap inspirasinya. Kadang-kadang orang bilang begini, “wah..mereka tokoh-tokoh inspiratif”, toh tetap saja dia memilih berdiam diri di zona nyamannya masing-masing.

Jangan-jangan sikap mudah mengagumi itu berakibat pada keinginan orang untuk meniru sosok-sosok yang dikaguminya itu agar dirinya juga bisa dikagumi orang lain. Maka segala cara dilakukan orang untuk memperoleh tiket agar bisa secepatnya masuk di jajaran orang-orang yang dikagumi. 

Cara-cara instan begitu digemari untuk memperoleh tiket itu agar cepat pintar, cepat kaya, cepat jadi juara, cepat berkuasa dan lain-lain. Seakan tak mau kalah bersaing dengan dahsyatnya iklan produk-produk instan semacam makanan, minuman dan alat-alat kecantikan instan. Semua diproses secepat kilat agar segera bisa masuk etalase mewah yang di situlah sebagian besar orang terpesona karena mengira semua yang ada di dalamnya adalah sesuatu yang berharga.

Kalau begitu, ya sudah. Mari kita menonton dan cari kepuasan dengan sekedar berdecak kagum dan bertepuk tangan. Supaya terkesan agamis ya tambahi kata, “subhanallah!” Sedangkan kita sebenarnya tetap berada di tempat. Sementara yang kita tepuk tangani terus melaju ke depan meskipun harus “berdarah-darah” demi meraih prestasi yang lebih baik dan lebih sejati. Boleh jadi mereka gak peduli dengan tepuk tangan kita meski mereka tetap mau menghargainya. Yahh….sekedar harga sebagai seorang penonton, tentunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun