Berbicara tentang tradisi sahur, Indonesia memiliki tradisi unik dan bermacam-macam.
Sebelum masuk ke pembahasan lebih lanjut, ada baiknya kita menelaah dua kata kunci yang hendak di bahas, yaitu tradisi dan sahur, agar bisa lebih paham.
Tradisi adalah adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat.
Sahur adalah makan pada dini hari (disunahkan menjelang fajar sebelum subuh) bagi orang-orang yang akan menjalankan ibadah puasa.
Jadi kesimpulan sederhana dari dua suku kata tersebut, bahwa tradisi sahur adalah adat kebiasaan turun temurun dari generasi kegenerasi yang masih dijalankan pada saat melaksanakan sahur bagi orang-orang yang akan menjalankan ibadah puasa.
Tradisi sahur di Indonesia begitu unik dan beragam. Tiap-tiap daerah memiliki cara atau ciri khas tertentu, meskipun pada dasarnya memiliki satu kesamaan pokok, yaitu: (1). Kebiasaan sebelum sahur yakni adanya semacam kegiatan mengeluarkan suara/ bunyi-bunyian sebagai “Panggilan bangun sahur” (2). Tersedianya menu makanan sahur, dan (3) kegiatan setelah sahur.
Saya akan membahas tradisi sahur versi saya, artinya tradisi ini saya alami dan saya saksikan sendiri pada saat anak-anak. Bukan tanpa sebab, karena bagi saya segala hal tentang memori ramadan yang paling membekas adalah ketika masih anak-anak.
Tentang tradisi sahur saya selalu teringat masa kecil dahulu di kampung halaman.
Sebagian kisah tentang sahur ada ditulisan ini: https://thr.kompasiana.com/alimusrisyam/607d88d28ede480165265ae2/nostalgia-suasana-ramadan-masa-kecil-momen-menjadi-monumen-menjelma-kenangan
Periode anak-anak atau masa kecil yang saya maksud adalah ketika usia saya antara 5-11 tahun atau saat duduk di bangku sekolah dasar (SD).
Saya ingat, kali pertama saya melaksanakan ibadah puasa, yaitu ketika saya berusia lima tahun, saat itu sudah sekolah di kelas satu SD. Puasa pertama ramadan tahun itu saya mampu berpuasa sebanyak empat hari penuh, selebihnya hanya setengah hari. Itupun rasa-rasanya melalui perjuangan yang maha berat saat itu.
Panggilan Bangun Sahur
Momen yang saya paling saya ingat saat itu adalah setiap hari mulai sekira pukul 02.30, kita dibangunkan oleh panggilan dari pengeras suara di musala “Toa” (Saya menghindari pemakaian kata ini, karena merupakan merek).
Ditambah suara orang-orang yang berkelililing kampung dengan membawa aneka benda yang bisa mengeluarkan suara atau bunyi-bunyian, seperti: panci, periuk, ember, baskom, pentungan dan lainnya.
Selain itu di saat bersamaan ada pula yang membangunkan dengan memakai mercon atau Meriam bambu. Maka lengkaplah beragam cara beserta aksesoris dalam rangka membangunkan sahur dikampung saya.
Saat itu seingat saya, tidak ada warga yang merasa keberatan dengan tradisi itu, malah mereka senang karena bisa bangun lebih awal. Berbeda dengan sekarang, di beberapa tempat terjadi kontroversi terhadap adanya suara-suara membangunkan sahur.
Di tahun pertama saya berpuasa belum ikut warga dan teman-teman untuk keliling kampung membangunkan sahur. Setelah tahun kedua dan seterusnya, saya sudah ikut dan betapa menikmati keadaan saat itu.
Tersedianya Menu Makanan
Dengan adanya kegiatan membangunkan sahur, ibu tidak pernah telat menyediakan hidangan sahur. Bangun pukul 02.30 dan menyiapkan makanan, biasanya Pukul 03.00 aneka makanan sudah tersedia di meja. Kami sekeluarga makan bersama.
Semua makanan yang disuguhkan ibu terasa enak dan istimewa. Kita semua bisa makan sampai terasa kenyang, hal yang saat sekarang ini jarang terjadi jika kita makan sahur. Saya berpikir saat ini mungkin karena makanan yang disajikan ibu sata itu adalah khas makanan kampung yang alami.
Setelah Makan Sahur
Selalu ibu menyediakan minuman panas atau hangat setelah makan sahur, yaitu kopi untuk ayah dan teh untuk yang lainnya. Sambil menunggu masuk waktu imsak, kami bisanya bercerita atau bercengkerama bersama ayah, ibu dan suadara-sauadara di ruang keluarga.
Terkadang juga saya manfaatkan untuk belajar pelajaran sekolah atau membaca Al quran.
Setelah masuk waktu imsak, kami bersiap-siap untuk segera ke musala menunaikan salat subuh.
Demikianlah tradisi sahur yang saya ingat dan membekas dalam memori saya hingga saat ini, yaitu tradisi sahur masa kecil dahulu di kampung halaman.
Entah sudah berapa lama tradisi ini sudah tiada, kini tersisa panggilan bangun sahur pengeras suara dari masjid di kampung kami. Musala yang melegenda itu pun kini sudah menjadi masjid yang cukup megah.
Jika mengingat-ngingat nostalgia itu, sungguh begitu menggugah kerinduan di hati, terlebih sekarang ayah sudah tiada, kini hanya ada ibu dan saudara yang masih di kampung halaman.
Semoga bermanfaat
Salam hangat
Ali Musri Syam Puang Antong
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI