Mohon tunggu...
Ali Mursyid
Ali Mursyid Mohon Tunggu... Guru - Guru di MTs Muslimin Bojongpicung | Awardee LPDP-BIB Kemenag

Pemilik Website Bahasa Arab Madrasah (MI Arabic, MTs Arabic, MA Arabic) | Talk Less Do More

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketidakpuasan Kerja Perspektif EVLN-Model

18 September 2024   05:00 Diperbarui: 18 September 2024   05:02 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketidakpuasan kerja menjadi salah satu fenomena yang sering terjadi di berbagai organisasi. Dalam konteks psikologi organisasi, ketidakpuasan ini bisa berdampak pada kinerja individu, tim, dan organisasi secara keseluruhan. Ketika karyawan merasa tidak puas dengan pekerjaannya, mereka akan menunjukkan berbagai reaksi yang tidak hanya memengaruhi produktivitas, tetapi juga menciptakan dinamika psikologis yang kompleks. Salah satu model teoretis yang sering digunakan untuk memahami tanggapan ini adalah EVLN-Model (Exit, Voice, Loyalty, Neglect).

Fenomena Ketidakpuasan dalam Psikologi Organisasi

Dalam psikologi organisasi, ketidakpuasan kerja sering kali disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal yang memengaruhi kesejahteraan psikologis karyawan. Faktor internal meliputi stres, ketidakjelasan peran, dan kurangnya peluang pengembangan diri, sementara faktor eksternal dapat berupa kebijakan organisasi, hubungan dengan atasan, atau lingkungan kerja yang kurang kondusif. Fenomena ini dapat memicu berbagai perilaku karyawan yang bervariasi, mulai dari pengunduran diri hingga tindakan proaktif untuk memperbaiki situasi.

Dalam EVLN-Model, respon karyawan terhadap ketidakpuasan dapat dibedakan menjadi empat kategori: exit, voice, loyalty, dan neglect. Model ini penting dalam kajian psikologi organisasi karena memberikan kerangka pemahaman tentang bagaimana individu bereaksi terhadap kondisi kerja yang tidak memuaskan.

1. Exit (Keluar)

Dalam psikologi organisasi, respon exit dianggap sebagai bentuk destruktif dan aktif. Karyawan yang memilih opsi ini cenderung merasa putus asa terhadap perubahan dalam organisasi. Mereka melihat keluar sebagai solusi terbaik karena ketidakpuasan kerja yang dialami. Fenomena ini sering terkait dengan teori turnover intention yang mengindikasikan bahwa ketidakpuasan kerja memicu keinginan untuk mencari pekerjaan lain. Organisasi yang menghadapi tingkat keluar yang tinggi perlu mengevaluasi faktor-faktor penyebab ketidakpuasan, termasuk keseimbangan kerja-kehidupan, kompensasi, dan kepemimpinan.

2. Voice (Menyuarakan)

Respon voice dalam psikologi organisasi dianggap sebagai perilaku konstruktif dan aktif. Karyawan yang menggunakan pendekatan ini mencoba mengatasi ketidakpuasan mereka dengan memberikan masukan, saran, atau kritik yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi kerja. Menurut teori komunikasi organisasi, perilaku ini penting untuk menciptakan dialog yang sehat antara karyawan dan manajemen. Dengan adanya komunikasi yang terbuka, organisasi dapat mengidentifikasi permasalahan lebih awal dan mengambil tindakan preventif.

3. Loyalty (Kesetiaan)

Dalam konteks psikologi organisasi, loyalty adalah respon pasif dan konstruktif. Karyawan tetap setia pada perusahaan meskipun merasa tidak puas. Mereka berharap bahwa keadaan akan membaik seiring waktu. Teori komitmen organisasi menyebutkan bahwa loyalitas ini didorong oleh faktor-faktor seperti ikatan emosional, kontrak psikologis, atau nilai-nilai perusahaan yang selaras dengan nilai pribadi. Namun, loyalitas yang tidak diiringi oleh perbaikan nyata dari organisasi bisa berubah menjadi ketidakpuasan yang lebih dalam.

4. Neglect (Mengabaikan)

Respon neglect dalam psikologi organisasi dianggap sebagai perilaku destruktif dan pasif. Karyawan yang menunjukkan perilaku ini biasanya tidak lagi peduli dengan kualitas pekerjaan dan mulai melakukan tindakan seperti sering absen, terlambat, atau menurunkan standar kerja. Menurut teori job disengagement, perilaku ini mencerminkan keterputusan emosional dari pekerjaan. Jika dibiarkan, ini bisa menyebabkan penurunan produktivitas dan meningkatnya tingkat kesalahan, yang pada akhirnya merugikan organisasi secara keseluruhan.

Implikasi EVLN-Model dalam Psikologi Organisasi

Dalam kajian psikologi organisasi, EVLN-Model menawarkan wawasan penting tentang bagaimana karyawan bereaksi terhadap ketidakpuasan kerja. Pemahaman tentang model ini memungkinkan manajemen untuk merancang intervensi yang efektif dalam menangani ketidakpuasan karyawan. Pendekatan proaktif, seperti menciptakan budaya komunikasi terbuka (voice) dan mempromosikan keseimbangan kerja-kehidupan yang sehat, dapat membantu mengurangi kecenderungan keluar (exit) dan perilaku mengabaikan (neglect).

Ketidakpuasan kerja merupakan fenomena yang kompleks dalam psikologi organisasi. Dengan memahami dinamika tanggapan karyawan melalui EVLN-Model, organisasi dapat mengambil langkah-langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan, memperkuat loyalitas, dan meminimalisir dampak negatif terhadap produktivitas dan kinerja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun