Kelompok Kedua: Di sisi lain, beberapa tokoh seperti Prof. Eggi Sudjana dan Rizal Fadhilah mengecam keras kebijakan ini. Mereka menganggap tindakan tersebut sebagai bentuk pemberangusan syiar adzan, yang seharusnya tetap dipertahankan dalam bentuk suara yang utuh, bukan sekadar teks berjalan.
Diskursus mengenai hukum adzan elektronik di TV menunjukkan dua sisi pandangan yang beragam. Pertama, sebagai adzan elektronik semata, penyiarannya bersifat mubah dan tidak wajib. Kedua, sebagai syiar Islam, adzan elektronik memiliki nilai penting yang wajib ditampilkan di muka publik. Respon masyarakat Muslim Indonesia terhadap kebijakan ini juga terbagi, antara yang memandangnya sebagai tindakan yang dapat diterima dan yang melihatnya sebagai ancaman terhadap syiar Islam.
Dengan memahami kedua perspektif ini, serta berbagai respon dari masyarakat, kita dapat lebih bijak dalam menyikapi isu-isu terkait penyiaran adzan di media elektronik, baik dari sisi hukum syar'i maupun dari aspek syiar Islam yang harus terus dipertahankan.
Waalahu a'lam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H