Mohon tunggu...
Ali Mursyid
Ali Mursyid Mohon Tunggu... Guru di MTs Muslimin Bojongpicung | Awardee LPDP-BIB Kemenag

Pemilik Website Bahasa Arab Madrasah (MI Arabic, MTs Arabic, MA Arabic) | Talk Less Do More

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Adzan: Antara Budaya dan Syi'ar Islam

10 September 2024   08:00 Diperbarui: 10 September 2024   08:06 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Adzan adalah panggilan sakral yang menandai waktu shalat bagi umat Islam. Seiring perkembangan teknologi, penyiaran adzan melalui media elektronik seperti televisi sudah menjadi kebiasaan, tetapi juga menimbulkan berbagai diskusi terkait kedudukannya dalam syariat Islam. 

Artikel ini akan mengkaji hukum adzan elektronik di TV dari dua perspektif: sebagai adzan elektronik semata dan sebagai syiar Islam yang harus dipertahankan, serta menyertakan berbagai respon dari masyarakat Muslim di Indonesia.

Latar Belakang Permasalahan

Pada tanggal 3-6 September 2024, Indonesia menyambut kunjungan Paus Fransiskus, di mana panitia kunjungan yang dipimpin oleh Ignasius Jonan mengajukan permohonan kepada Kementerian Agama untuk mendukung penyiaran misa akbar yang dipimpin oleh Paus. Menindaklanjuti permohonan ini, Kementerian Agama mengirimkan surat kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk menyiarkan misa tersebut secara langsung tanpa jeda, dan meminta agar adzan maghrib pada tanggal 5 September 2024 ditampilkan dalam bentuk teks berjalan (running text) agar umat Katolik dapat mengikuti misa dengan khusyuk.

Perspektif Pertama: Adzan Elektronik sebagai Adzan Semata

Adzan yang disiarkan melalui televisi adalah adzan elektronik, sebuah rekaman yang diputar secara rutin di waktu-waktu shalat. Menurut pandangan sebagian ulama, seperti yang diwakili oleh MUI dan PBNU, adzan elektronik tidak memiliki kedudukan yang sama dengan adzan langsung di masjid, yang hukumnya fardhu kifayah. Dalam hal ini, adzan elektronik hanya berfungsi sebagai pengingat waktu shalat dan hukumnya tidak wajib. Oleh karena itu, tidak ada pelanggaran syar'i jika adzan ini tidak disiarkan secara penuh, sebagaimana terjadi dalam situasi misa akbar Paus Fransiskus.

Perspektif Kedua: Adzan Elektronik sebagai Syiar Islam

Meskipun tidak wajib, adzan yang disiarkan di televisi juga dianggap sebagai syiar Islam, upaya untuk menampakkan ajaran dan kehadiran Islam di ruang publik. Dalam perspektif ini, menghilangkan adzan dari siaran televisi dapat dilihat sebagai tindakan yang menghapuskan syiar Islam. Pandangan ini dikemukakan oleh beberapa tokoh seperti Prof. Eggi Sudjana dan pengamat politik Rizal Fadhilah, yang mengecam keras kebijakan menampilkan adzan dalam bentuk teks berjalan, karena dianggap sebagai pemberangusan syiar Islam.

Respon Masyarakat Muslim di Indonesia

Respon terhadap keputusan menyiarkan adzan maghrib dalam bentuk teks berjalan selama misa Paus Fransiskus terbagi menjadi dua kelompok besar:

Kelompok Pertama: Beberapa tokoh dan organisasi Islam, termasuk MUI dan PBNU, menyatakan bahwa tidak ada masalah dengan kebijakan ini. Mereka berpendapat bahwa adzan di televisi hanyalah adzan elektronik, bukan adzan sebenarnya yang dikumandangkan di masjid. Oleh karena itu, mengubah format penyiarannya demi menghormati misa Paus Fransiskus bukanlah pelanggaran syar'i.

Kelompok Kedua: Di sisi lain, beberapa tokoh seperti Prof. Eggi Sudjana dan Rizal Fadhilah mengecam keras kebijakan ini. Mereka menganggap tindakan tersebut sebagai bentuk pemberangusan syiar adzan, yang seharusnya tetap dipertahankan dalam bentuk suara yang utuh, bukan sekadar teks berjalan.

Diskursus mengenai hukum adzan elektronik di TV menunjukkan dua sisi pandangan yang beragam. Pertama, sebagai adzan elektronik semata, penyiarannya bersifat mubah dan tidak wajib. Kedua, sebagai syiar Islam, adzan elektronik memiliki nilai penting yang wajib ditampilkan di muka publik. Respon masyarakat Muslim Indonesia terhadap kebijakan ini juga terbagi, antara yang memandangnya sebagai tindakan yang dapat diterima dan yang melihatnya sebagai ancaman terhadap syiar Islam.

Dengan memahami kedua perspektif ini, serta berbagai respon dari masyarakat, kita dapat lebih bijak dalam menyikapi isu-isu terkait penyiaran adzan di media elektronik, baik dari sisi hukum syar'i maupun dari aspek syiar Islam yang harus terus dipertahankan.

Waalahu a'lam

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun