Mohon tunggu...
Alimudin Garbiz
Alimudin Garbiz Mohon Tunggu... profesional -

Failurer,  Anak Jalanan, untuk Hidup Lebih Baik, Indah dan Menantang, Tahun ini merupakan tahun menulis, Insya Allah......!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Humanis

5 Mei 2016   08:40 Diperbarui: 5 Mei 2016   16:36 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua, sudah saatnya budaya menghakimi, dirubah menjadi budaya apresiasi. Seorang pendidik, hendaknya tidak memandang rendah peserta didiknya. Siapapun orangnya, tak ada yang sudi dihina atau terhina begitu saja. Ujian seminar dan Sidang-sidang skripsi, thesis dan disertasi, hendaknya dijadikan sarana untuk mengapresiasi hasil karya mahasiswa. Bukan sekedar dijadikan arena untuk “menghabisi” dengan alasan menguji mental mahasiswa. Sejelek apapun hasil karya mereka, harus diapresiasi sebagai sebuah karya anak bangsa.

Ketiga, semangat dan budaya melayani perlu terus dikembangkan. Kepada peserta didik kita dianjurkan untuk terus memberikan masukkan-masukkan berharga bagi mereka, memberikan motivasi dan bukan mengancam. Jangan ada lagi guru yang mengajarkan kekerasan, apalagi mendidik dengan cara menempeleng atau menjewer telinga muridnya sampai kesakitan. Guru dan dosen tak usah bangga apabila disebut guru atau dosen “killer”. Dengan memberikan pelayanan dari hati, murid akan hormat kepada guru dan dosen dengan tulus.

Keempat, sebagai pendidik, kita memahami berbagai tipe kecerdasan anak secara komprehensif. Guru atau dosen sebaiknya menempatkan peserta didik sama, tidak ada pilih kasih kepada peserta didik yang manapun, baik peserta didik yang “pintar” maupun yang “bodoh”, yang cantik/ganteng maupun yang biasa-biasa saja, yang orangtuanya kaya maupun yang miskin, anak pejabat dan pengusaha atau bukan, anak orang besar atau kecil, semuanya diperlakukan sama.

Ketika ada anak yang kurang cepat dalam memahami pelajaran, maka guru atau dosen jangan-cepat-cepat memvonis mereka sebagai anak bodoh. Ada banyak tipe kecerdasan berbeda yang dimiliki anak. Secara umum ada kecerdasan intelektual, emosional dan kecerdasan spiritual. Juga berbagai klasifikasi kecerdasan jamak atau multiple intelligence. Hakikatnya, tidak ada manusia yang bodoh, kecuali memang yang karena cacat fisik atau mental yang dimiliki di luar kemampuan manusia untuk merubahnya.

Kelima, dalam mendidik dibutuhkan cinta dan kasih sayang. Guru atau dosen hendaknya sudah berdamai dengan dirinya sendiri. Sebagai pendidik hanya berusaha semaksimal mungkin menjadi pendidik yang baik dan profesional. Selebihnya ada banyak faktor yang menjadi penentu berhasil atau tidaknya anak didik kita.

Guru atau dosen tak boleh angkuh atau sombong dengan keilmuannya. Seorang mahasiswa bisa lebih luas ilmunya dari dosennya itu sendiri. Murid bisa mempunyai skill yang luar biasa dibanding gurunya. Sekarang, menanyakan masalah agama tak hanya bisa dilakukan kepada ustadz atau kyai. Di zaman “desa global” seperti sekarang ini, melalui sosial media, facebook, twitter, instagram, youtube, dan media sosial lainnya, kita bisa berinteraksi dengan siapa saja dan kapan saja. Dengan Internet, laptop, smartphone dan gaget seperti sekarang ini, guru dan dosen bukan satu-satunya sumber informasi bagi siswa atau mahasiswa..

Siapapun kita, sebagai orang tua, guru, ustadz, kyai, dosen, ilmuwan atau sebutan lainnya, adalah sebagai pewaris para nabi (waratsatul anbiya), menjadi pendidik humanis sejati, yang memanusiakan manusia, mengajarkan ilmu dengan cinta dan kasih sayang, semoga...!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun