Mahasiswa FPIK Universitas Garut, Ketika mengikuti Ujian Komprehensif, Sumber Doc Alimudin Garbiz
Kita baru saja memperingati hari Pendidikan Nasional. Namun, sebuah berita mengejutkan tiba-tiba menghentak dan menusuk rasa kemanusiaan kita yang paling dalam. Meninggalnya seorang dosen karena dibunuh mahasiswanya sendiri di Medan yang terjadi Senin (2/5/2016) sungguh sangat miris dan memilukan.
Terdapat indikasi motiv pelaku karena merasa dipersulit bimbingan skripsinya, serta diancam tidak akan diberikan nilai oleh korban. Tentu saja, hal tersebut masih dalam kajian dan penyelidikan pihak kepolisian lebih lanjut. Jika saja benar motiv tersebut, memaksa kita harus mengkaji kembali bagaimana proses pendidikan yang selayaknya baik itu di perguruan tinggi dan di semua level pendidikan.
Etika Peserta Didik
Kita semua pasti merasakan menjadi peserta didik, baik itu pendidikan formal maupun non formal. Dari mulai belajar mengaji di rumah, di tempat kurus, maupuan di pesantren. Dari mulai tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi. Hakikatnya, kita merupakan pembelajar seumur hidup (long life education). Dalam bahasa agama minal mahdi ilal lahdi, Artinya setiap hari kita belajar dan akan terus menjadi pembelajar.
Banyak guru memberikan ilmu pada kita, masing-masing guru tersebut mempunyai karakter yang berbeda-beda. Ada yang lemah lembut dan penyayang. Ada juga yang tegas ataupun keras dalam mendidik, hal tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan disiplin yang baik dari peserta didik. Sebagai murid, dimana pun kita harus menghormati guru, bahkan ketika kita bertemu di jalan, kita harus menyapanya dengan sopan dan rasa hormat. Demikianlah diajarkan oleh ajaran agama, budaya dan kearifan masyarakat.
Guru atau dosen juga adalah manusia biasa yang tak luput dari salah. Banyak dari guru dan dosen yang dalam kesehariannya memang benar-benar sibuk. Apalagi banyak guru (khusunya honorer) yang harus berjibaku berjuang mencari penghasilan lain untuk kehidupannya. Begitu juga dengan dosen yang bertugas sangat banyak. UU No 20 tahun 2004 tentang Sistem Pendidikan nasional dan UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, menyebutkan tugas dosen meliputi pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Sehingga waktu yang terbatas dibagi sedemikian rupa diantara mengajar dan memberikan bimbingan kepada mahasiswa. Kalau terdapat kekurangan pada guru atau dosen, maka kekurangan tersebut menjadi pelajaran bagi kita. Jika ada guru atau dosen yang terlalu “killer”, jangan adopsi sikap tersebut ketika kita menjadi pendidik di sekolah maupun di perguruan tinggi dan lembaga pendidikan lainnya.
Paradigma Pendidik
Kita semua adalah pendidik, baik sebagai orangtua maupun sebagai guru dan dosen di sekolah atau perguruan tinggi. Dibutuhkan pendidik yang lebih humanis dalam bergaul dengan anak, siswa atau mahasiswanya. Dalam konteks pendidikan humanis, perlu kita renungkan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, hubungan antara guru/dosen dengan siswa atau mahasiswanya, harus merupakan hubungan yang harmonis antara sesama manusia. Artinya masing-masing harus saling menghormati dan menjaga harkat dan martabat. Hubungan pendidik dengan peserta didik, layaknya hubungan orangtua dengan anaknya yang saling berkasih sayang. Lebih jauh bisa menempatkan hubungan sebagai sahabat yang saling membutuhkan.