Mohon tunggu...
Ali Maksum
Ali Maksum Mohon Tunggu... Guru - Education is the most powerful weapon.

Guru, Aktifis dan Pemerhati pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kejujuran Itu Masih Ada

14 Januari 2022   07:00 Diperbarui: 14 Januari 2022   07:08 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Korupsi yang merajalela, intoleransi yang menjamur dan merebaknya masyarakat kta yang semakin sensitif merupakan warna-warni yang muncul di masyarakat kita akhir-akhir ini. Hal itu memunculkan praduga bahwa masyarakat indonesia yang sebelumnya terkenal dengan jiwa yang ramah dan toleransi tinggi kini dikenal dengan jiwa yang marah dan intoleran. 

Tidak kalah dengan kasus korupsi yang saat ini masih belum sirna di bumi negeri tercinta. dalam satu sisi masyarakat bawah di tuntut untuk jujur, disiplin dan taat namun disisi lain perilaku oknum para pemimpin atau pejabat publik justru memberikan contoh sebaliknya. Masih adakah perilkau baik di negeri ini? masih adakah kejujuran kejujuran yang di jadikan contoh untuk mental bangas kita?.

Di tengah pertanyaan publik tentang nilai kebaikan tiba-tiba terdengar berita yang menyejukkan hati dan `berbau harum` tentang nilai kejujuran. Berita itu datang dari sebuah  Bandara Kualanamu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara,  Seorang petugas kebersihan Dewi Lestari menemukan emas 97 gram di toliet. Menariknya setelah menemukan barang tersebut dia tidak menyimpannya sendiri namun di serahkan kepada petugas kebersihan.   

Kasus yang sama juga pernah terjadi di bandara Soekarno Hatta pada Novemver 2021, Halimah seorang team Leader Cleaning Service, Halimah, menemukan sebuah dompet yang berisi cek, 35, 9 miliar. Akibar dari kejujuran yang berani tersebut akhirnya posisi jabatan Halimah dinaikkan menjadi supervisor. 

Perilaku mereka seolah sebagai tusukan tajam bagi para koruptor yang tidak jujur menjalankan jabatannya. Jika kita renungkan sejenak perilku jujur tenyata tidak berbanding lurus dengan tingkat pendidikan sesorang. Jujur merupakan perilaku moral yang datang dari instrinsik para pelaku kejujuran. 

Para petugas bandara yang berani jujur tersebut mungkin tidak berpendidikan tinggi karena hal itu dapat kita ketahui dari posisi yang mereka emban namun mereka masih menjunjung tinggi nilai kejujuran yang mulai sulit di temukan di negrei ini. 

Namun para koruptor yang menajdi kepala daerah, menteri atau pejabat lain hampir dipastikan mereka berpendidikan tinggi tetapi kenapa perilakunya tidak sesuai dengan ilmu yang mereka punya? apa yang terjadi dengan masyarakat kita?

Dari fenomena di atas kita patut menyadari bahwa ada yang salah dengan sistem pendidikan kita, mengapa demiakian?. Kita bisa belajar dari masyarakat jepang dan bagaimana sistem pendidikan yang telah membentuk budaya jujur di masyarakat matahari terbit tersebut. 

Di  Jepang tingkat pendidikan dasar fokus terhadap pendidikan karakter namun di Indonesia orang tua menuntut di tingkat TK haraS bisa berhitung. Anak TK yang bisa berhitung merupakan kebanggan orang tua tanpa mereka berfikir bagaimana perilaku buruk anak-anak mereka.

 Padahal di negara maju yang tingkat pendidikannya jauh dari kita hal itu belumalh saatnya, karena anak-anak dunianya adalah bermain. Akibatnya jika sistem ini berlanjut maka besar kemungkinan ketika generasi tersebut besar dan menjadi orang penting di negeri  ini mungkin akan menjadi generasi pintar namun rendah dalam hal moral. 

Kejujuran, Mata uang yang berlaku dimana-mana.

Sikap dan contoh yang baik dari kedua petugas bandara di atas adalah perilaku yang dapat kita jadikan guru bahwa sikap kejujuran di negeri ini ternyata masih ada. 

Kita patut meyakini bahwa mengembalikan barang yang bukan milik kita adalah sebuah ajaran yang mereka terima ketika sekolah atau dari keluarga meskipun bukan sekolah tinggi. 

Akibatnya perilaku jujur tersebut membawa mereka kepada keberuntungan yaitu berupa kenaikan pangkat yang mungkin tidak mereka bayangkan sebelumnya. Jabatan naik yang akan membawa rejeki bertambah sehingga terangkat status sosial mereka dan mengangkat nama baik karena telah berbuat baik. 

Bayangkan jika mereka tidak jujur dan menggambarkan perilaku sebaliknya, uang dan emas mereka ambil. Mungkin sesaat mereka akan menikmati hasil ketidak jujuran mereka, bisa beli mobil, beli rumah, keluar dari pekerjaan untuk berfoya-foya namun hal itu akan menimbulkan perasaan tidak tenang, kehidupan tidak berkah dan penuh masalah belum lagi ketika tercium pihak berwajib maka dipastikan berakhir di balik jeruji besi dan membawa nama buruk. 

Dari cerita baik ini kita sebagai manusia biasa dapat belajar kembali bahwa apapaun provesi kita, dimanapun kita berada, setinggi apapun jabatan kita atau sebanyak apapun gaji kita maka sikap jujur merupakan hiasan yang paling mulia. 

Kejujuran akan mengatakan kepada khalayak siapa kita sebenarnya tanpa mereka ingin tahu siapa kita, namun ketika mendengar kiat berperilkau jujur maka serentak mereka akan mengatakan kita adalah orang mulia. Kejujuran itu mata urang yang berlaku dimana-mana.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun