Mohon tunggu...
Ali Maksum
Ali Maksum Mohon Tunggu... Guru - Education is the most powerful weapon.

Guru, Aktifis dan Pemerhati pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Penghargaan yang "Membunuh", Sebuah Otokritik

12 Januari 2022   10:02 Diperbarui: 12 Januari 2022   10:06 1766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kementrian pendidikan sedang gencar-gencarnya mendidika para guru di Indonesia dengan berbagai program yang sangat membantu perkembangan mereka. program-program tersebut di rancang sedemikian apik baik dari segi literasi maupun pengetahuan yang mereka tidak dapat secara intensif di kalangan kampus. 

Salah satu program yang sangat baik tersebut adalah pendidikan Calon Guru Penggerak. Program ini jika diamati sangat bagus sekali karena perpaduan antara teori dan aksi. rancangan program ini dapat di maklumi karena kebanyakan masyarakat kita banyak yang bisa berteori namun kesulitan dalam hal eksekusi.

  Salah satu topik pembahasan yang menarik dalam pendidikan guru penggerak dan mendobrak pemikiran yang selama ini dijalankan sebagian besar oleh para pendidik yaitu masalah PENGHARGAAN KEPADA PESERTA DIDIK. 

Penghargaan selama ini di dunia pendidikan di anggap `dewa` karena sebagai salah satu alat kontrol yang paling efektif untuk mengantarkan peserta didik agar lebih semangat dalam meraih prestasi namun ternyata tidak demikian. Kalimat yang diplilh dalam modul tersebut adalah "Dihukum oleh Penghargaan"

Alfie Kohn (Punished by Rewards, 1993, Wawancara ASCD Annual Conference, Maret 1995) mengemukakan baik penghargaan maupun hukuman, adalah cara-cara mengontrol perilaku seseorang yang menghancurkan potensi untuk pembelajaran yang sesungguhnya. Menurut Kohn, secara ideal tindakan belajar itu sendiri adalah penghargaan sesungguhnya.

Kohn selanjutnya juga mengemukakan beberapa alasan mengapa penghargaan justru sama seperti menghukum seseorang.

 PENGARUH DARI PENGHARGAAN.

Penghargaan adalah alat paling menarik untuk anak-anak. Penghargaan merupakan alat yang selama ini digunakan oleh para pendidik untuk mengontrol. 

Namun dalam beberapa hal pengharagaan mempunyai kelemahan yang diantaranya hanya mengontrol seseorang dalam jangka pendek, membuta orang ketagihan untuk mendapatkannya kembali namun kehilangan motivasi dan yang lebih penting penghargaan jika di tujuakan sebagai alata agar orang lain berbuat baik maka orang tersebut cenderung melupakan perbuatan baik tersebut namun lebih foku kepada penghargaannya.  

PENGHARGAAN TIDAK EFEKTIF.

 Selain hal diatas yang yang jangka waktunya lebih pendek adn beratahan tidak lama penghargaan juga di percaya kurang efektif. Hal ini di sebabakan penghargaan adalah sesuatu yang dirindukan dan diinginkan yang di buat dengan syarat-syarat tertentu agar orang lain berkompetisi untuk meraihya. 

Selain itu penghargaan adalah alat yang terbatas untuk sebagian orang hanya jika orang-orang yang memenuhi syarat yang akan dapat menerima pernghargaan tersebut namun jika orang lain tidak mendapatkannya maka bisa jadi orang tersebut merasa kecewa dan tidak akan melakukan lagi.  

Selain secara objektif yang menimbulkan efek ketagihan bagi sang penerim apenghargaan, hal ini juga mengakibatkan subyek pemberi penghargaan juga merasa ketagihan. 

Mengapa demiakian? Jika seorang pendidik ingin menggerakkan seorang murid agar malakukan sesuatu maka dia akan menyediakan sebuah hadiah. "Ibu akan memberikan kamu kotak pensil jika kamu rajin" setiap guru tersebut menuntut seorang siswa untuk rajin maka dia selalau menyediakan kotak pensil atau hadiah lain agar siswanya rajin, pertanyaanya samapi kanapan ana itu berubah? Apakah guru sellau akan menyediakan hadiah samapi anak tersebut berubah? Efektifkah?    

PENGHARGAAN MENIMBULKAN KARAKTER BURUK.

Pernahkan kita sebagai seoang guru meras bahawa penghargaan yang kita tanamkan selama ini juga akan menimbulkan karakter yang kurang baik kepada para peserta didik. Ketika kit amemberikan penghargaan kepada peserta didik maka akan menimbulkan sifat iri hati. 

Hal ini timbul karena banyakny apujian yang di terima oleh peserta didik yang menerima penghargaan dan hal itu menimbulkan sifat yang tidak menyukai yang menerim apenghargaan tersebut.  

Selain itu jika guru sering kali memberikan penghargaan dengan cara apapun hanya untuk mengontrol mereka agar berubah maka bisa jadi peserta didik mau berubah selain ingin mendapatkan penghargaan terebut tetapi juga ingin menyenangkan gurunya. 

Sebagai contoh adalah salah satu guru memancing siswanya untuk ikut lomba menggambar karena minimnya peserta yang ikut maka dia mengumumkan, "Bagi siswa bergabung dalam lomba ini akan mendapatkan nilai tambahan ". Bayangkan saja betapa mudahnya mendapatkan nilai tambahan hanya dengan cara ikut perlombaan. Bagaimana reaksi kita bagi siswa yang oandai menggambra tetapi tiduk ikut lomba?.

Ada beberapa guru yang mempunyai alasan bahwa budaya pengharagaan adalah untuk meningkatkan persaingan yang sehat. Namun juga perlu diingat bahwa persaingan di dalam kelas akan menimbulkan kecemasan dan kecemasan dinilai sebagai pencipta utama hal yang kurang menyenangkan. Yang lebih fatal lagi penghargaan seringkali diterima oleh orang yang sama setiap tahunnya. 

Sebagai contoh: Jika seorang guru menggulirkan penghargaan peraih rangking atau apapaun seringkali orang-orang yang sama akan menerimanya di lain waktu. 

Jika jumlah siswa dalam satu kelas terdapat 30 siswa dan yang mendapatkan penghargaan hanya kurang dari 5 siswa, apa kabar yang 25 siswa? boleh jadi kompetisi yang kita ciptakan lewat penghargaan tersebut malah justru mematikan para peserta didik untuk mencoba dikarenakan score nilai mereka tidak mungkin mengejar.    

PENGHARGAAN MENGHUKUM.

 Di dalam lingkup sekolah, budaya rangking `rangking` masih kental. Dalam perkembangannya budaya ini lama kelamaan menghilang dengan berbagai kebijakan pemerintah seperti kurikulum K13 yang tidak menonjolkan rangking. Meskipun dalam perkembangannya beberapa orang tua wali murid masih menanyakan dengan pertanyaan, "ranking berapa anak saya?". 

Selain ranking budaya penghargaan ini juga menggeliat dalam lingkup sehari-hari seperti memberikan logo simbolik yang di sematkan kepada setiap siswa, seperti star, bedge atau bahkan sertifikat prestasi. 

Bahkan semnagat meraih sertifikat ini sangat kental di kalangan guru-guru kita karena memang tuntutan profesi atau karena ingin kenaikan pangkat hal ini membawa pengaruh kurang baik seperti yang terjadi di masa pandemi dg bergulirnya sistem webinar. kadang materi webinar tidak diikuti dengan baik atau di ikuti sambil melakukan sesuatu yang lain namun di akhir webinar secara otomatis mendapatkan sertifikat. Lalu bagaimana ilmu yang di dapat?

Kembali kepada maslaah murid di sekolah, Penghargaan yang dianggap istimewa membawa motivasi kesebagian orang dianggap hanya terkonsentrasi kepada  mereka yang berprestasi atau yang biasa meraih prestasi `berlangganan`. 

Untuk itu dalam pembahasan ini memberikan pengetahuan bagaimana penghargaan dalam sisi lain dianggap menjadi hukuman. Misalnya dalam suatu kasus ranking memberikan penghargaan kepada mereka yang unggul dalam nilai dan sikap. 

Ranking 1 merupakan `kesempurnaan` seorang siswa dari berbagai sisi dan untuk itulah dia pantas mendapatkan penghargaan ranking 1 di raport dan berupa sertifikat. 

Jika sebagai seorang guru hanya fokus terhadap siswa yang berprestasi maka pertanyaannya bagimana siswa yang lain? Untuk itulah siswa yang tidak mendapatkan rangking atau yang mendapatkan rangking kedua dan selanjutnya merasa `dihukum`.

Penghargaan dan hukuman adalah hal yang sama, karena keduanya mencoba mengendalikan perilaku seseorang. Apa maksud dari penyataan tersebut. 

Saya masih ingat ketika SD atau mungkin sampai sekarang jika menerima raport ada terselip komentar guru, "Belajarlah yang rajin, tingkatkan lagi prestasimu" atau siswa yang menerima peringkat 1 juga mendapatkan komentar "pertahankan prestasimu" komentar panjang lain sesuai nilai yang di peroleh siswa. 

Dalam satu sisi peraih rangking satu disuruh mempertahankan dan sisi lain yang mendapatkan nilai dibawahnya disuruh untuk meningkatkan. Keduanya adalah sebagai upaya pengendalian perilaku seseorang.

Pada dasarnya orang tidak mau dikendalikan dan ingin merasa bebas. Jika seorang anak tidak mendapatkan rangking dalam prestasinya maka orang lain atau orang tuanya akan memberikan upaya berupa nasehat atau dalam lain hal justru malah banyak yang mendapatkan sikap marah dan dibandingkan dengan anak lain. 

Sikap seperti ini justru tidak disukai oleh anak-anak karena merasa tidak mendapatkan kasih sayang dari orang tua mereka sendiri dan merasa orang lain yang diunggulkan lebih di sayangi. 

Dari rasa merasa bersalah tersebut maka akan timbul rasa kecewa,  membenci dan ketidaksukaan kepada teman yang berprestasi. Jika hal tersebut timbul maka Penghargaan lebih kepada terlihat sebagai hukuman karena digunakan orang untuk mengendalikan orang lain agar menuruti `aturan` yang dibuat.

SERING MEMUJI ANAK DENGAN KATA `PINTAR` ATAU  `GOOD JOB`

Kita dianjurkan menyanjung anak ketika anak sudah melakukan hal yang baik untuk mereka atau menyelesaikan pekerjaanya dengan baik. Namun kadang seorang guru atau orang tua sering mengatakan `kamu pintar` atau `good job` ketika mereka sedang melakukan sesuatu jika sesekali melakukan hal itu tidak apa-apa namun jika telah menjadi kebiasaan akan berdampak negatif kepada anak. Menurut Zahra Zahira, Islamic Mentessori Educator dampak negatif tersebut bisa dilihat antara lain:

1. Anak akan merasa `cukup`

Ketika anak sedang melakukan sesuatu misalnya sedang menggambar kemudian kita datang atau seorang guru mengecek pekerjaan siswanya lalu mengatakan `wow, kamu pintar banget` maka anak akan meras cukup dengan pekerjaannya, pekerjaan belum selesai saja sudah dikatakan pintar banget.

2. Anak mencari pernghargaan yang lain.

Karena terlalu sering mengatakan `kamu pintar` saat melakukan apapun, maka anak akan ketergantungan dengan pujian pintar yang kita berikan. Misalnya ketika mereka merangkai balok, karena sering di puji pintar maka anak akan mencari-cari kita pada saat pekerjaannya belum selesai padahal mereka harus berkreasi menurut kreasinya sendiri.

3. Anak akan fokus pada hasil bukan prosesnya.

Karena sering kita memuji mereka dengan kata `good job` atau `kamu pintar` maka mereka akan fokus pada hasil dan mengharapkan pujian padahal proses yang di lakukan dengan sungguh-sungguh jauh lebih penting apapun hasil yang mereka hasilkan.


Dari pengetahuan di atas sebagai guru ataupun orang tua ssatnya kita mendekonstruksi pengetahuan kita atau kebiasaan yang selama ini kita anggap positif namun ternyata  berdampak negatif terhadap anak. sebagai guru dan orang tua selaiknya lebih tertumpu kepada bagaimana siswa berposes bukan hanya dinilai dari hasil mereka.

Penjabaran dari  dari materi pelatihan 'Dihukum oleh Penghargaan', Yayasan Pendidikan Luhur-Foundation for Excellence in Education, 2006 diambil dari pendidikan guru penggerak angkatan 4.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun