Dikisahkan Abu Nawas berjalan disebuah pasar dan senyum-senyum sendiri memandang ke dalam topinya. Dia terus saja berjalan tanpa mempedulikan orang-orang di sekitar memandangnya dengan heran. Salah satu dari mereka memberanikan diri untuk bertanya kepada Abu Nawas, “Wahai Abu Nawas apa yang kamu lihat di dalam topimu sehingga kamu tersenyum bahagia?” Dengan nada meyakinkan Abu Nawas menjawab, “Aku melihat indahnya surga dan bidadari”
“Bolehkah aku melihatnya?” kata salah satu orang yang melihat tingkah laku Abu Nawas.
Sebelum orang tersebut melihatnya Abu Nawas langsung menimpalinya dengan mengatakan, “Aku tidak yakin kamu bisa melihat seperti apa yang sudah aku lihat?”
“Mengapa?” tanya orang tersebut penasaran
“Karena hanya orang-orang soleh dan bertaqwa yang dapat melihatnya” jawab Abu Nawas. Namun orang itupun masih memaksa untuk melihatnya dengan penasaran apakah benar yang di katakan oleh Abu Nawas. Setelah dia mengambil topi Abu Nawas dia lantas melihat ke dalam topi. Setelah melihat topi Abu Nawas dia lantas sejenak melihat Abu Nawas sembari orang-orang yang mengelilingi mereka.
“Subhanallah, kamu benar Abu Nawas aku melihat indahnya surga dan Bidadari di dalamnya”
Berita topi misterius tersebut menjadi heboh dan orang-orang ingin mencobanya. Namun Abu Nawas memperingatkan dengan kalimat yang sama bahwa hanya orang-orang soleh dan bertaqwa yang dapat melihat indahnya surga dan bidadari. Sekian banyak orang telah mencoba melihat isi topi Abu Nawas dan tidak sedikit mereka mengatakan bahwa mereka juga melihat surga dan bidadari di dalamnya. Namun juga banyak yang tidak melihatnya seperti yang lain. Maka dengan demikian Abu Nawas telah dituduh menyebarkan hoax (berita tidak benar) dan akhirnya dia dilaporkan kepada sang raja, Harun Al Rasyid.
Dihadapkanlah Abu Nawas didepan sang raja dan raja bertanya.
“Orang-orang mengatakan bahwa kamu menyebarkan berita bohong dengan mangatakan bahwa di dalam topimu bisa terlihat surga dan bidadari” Sang raja membuka pertanyaannya dengan nada serius.
“Abu Nawas aku tanya sekali lagi, apakah di dalam topimu bisa melihat surga dan neraka? ”
“Benar yang mulia” Jawab Abu Nawas.
“Baiklah, saya akan menyaksikannya sendiri, bawa kemari topimu aku ingin melihatnya” kata sang raja. Sang raja sudah tahu bahwa ini hanya ulah akal-akalan Abu Nawas seperti sebelumnya. Sudah pasti di dalam topi Abu Nawas tidak ada surga dan bidadari seperti yang diceritakan kepada orang-orang. Namun jika dia mengatakan tidak melihatnya rakyat akan mengatakan bahwa dia bukanlah orang saleh dan bertaqwa, sehingga reputasi dia sebagai raja akan rusak. Maka, setelah sang raja melihat ke dalam topi sang raja berteriak kegirangan,
“Engkau benar Abu Nawas, aku melihat surga dan bidadari di dalam topimu”.
Rakyat terkejut dengan reaksi sang raja. Namun mereka hanya diam dan tidak mau membantah Abu Nawas karena tidak mau di cap kafir, tidak bertaqwa dan tidak saleh.
Apa yang dilakukan Abu Nawas adalah kebohongan, kebohongan yang memberikan pelajaran kepada masyarakat bagi mereka yang mau berpikir. Sebuah konspirasi yang dilegitimasi oleh sang Raja. Ketika ketakutan sudah menenggelamkan kejujuran maka kebohongan akan selalu terpelihara.
Cerita-cerita humor di atas yang mengandung nilai moral tinggi sering penulis sajikan saat pelajaran Character Building atau lebih dikenal Cb di Paramount School. Meskipun hanya 30 menit pelajaran ini menurut penulis sangat penting menjadi wadah pembangunan karakter untuk siswa dan siswi Paramount School. Dalam pelajaran CB sesekali juga diskusi tidak terelakkan, mereka saling bersahutan tentang isi cerita, mengaitkan dengan pengalaman mereka dalam kehidupan di keluarga atau diskusi video sembari bermain yang mengandung nilai moral dan motivasi.
Kita menilik sedikit kurikulum di Jepang. Di sana jenjang kelas 1-6 wajib menerima pendidikan moral yang sudah tertanam dalam kurikulum utama dengan tujuan agar siswa mampu menumbuhkan nilai-nilai moralistik dan bagaimana harus hidup. Lantas bagaimana dengan siswa kita? Kurikulum Indonesia lebih menekankan siswa untuk berkompetisi secara akademik bahkan dari tingkat TK persepsi orang tua siswa harus mampu membaca dan menulis sehingga lupa bahwa masa-masa TK, anak-anak masih suka permainan. Kesalahpahaman inilah yang harus diluruskan. Akibatkanya, dengan tuntutan tersebut orang tua melupakan kompetensi anak dalam bidang moral bahkan sering marah kepada anak yang nilainya kurang bagus menurut pandangan orang tua, padahal secara moral dia sangat baik. Atau bahkan orang tua membanggakan prestasi akademik anak-anak mereka namun secara moral kurang diperhatikan. Setidaknya Paramount School sudah menerapkan ide cemerlang dengan `menyelipkan` Pelajaran Character Building selama 30 menit. Sebuah usaha yang sangat baik bagi generasi kita. Dalam perjalanannya mata pelajaran ini kadang menjadi `momok` bagi sebagian wali kelas, karena merasa bingung apa yang harus mereka isi sehingga kadang konten yang seharusnya diisi dengan nilai moral dan motivasi digantikan dengan mata pelajaran lain seperti latihan soal dan rangkuman pelajaran, padahal menurut penulis itulah waktu emas pendidikan moralnya.
Terkait dengan isi cerita Abu Nawas tentang kebohongan akibat rasa takut, penulis mempunyai pengalaman nyata yang cukup menarik. Suatu hari yang menyenangkan ketika penulis akan menunaikan Sholat di mushola sekolah, datang salah satu siswa bernama Surya (nama samaran) dengan tergesa-gesa dan dengan nada sedikit teriak melaporkan bahwa uangnya di palak (diminta dengan paksa) temannya. Dengan jelas dia menyebut nama bahwa yang mengambil adalah si John (Bukan nama sebenarnya). Seisi kelas menjadi heboh karena tuduhan tersebut. John yang tidak merasa mengambil uang membela diri dengan berteriak dan menangis atas tuduhan yang di lontarkan Surya. Surya terlihat berdiri di depan meja guru sembari berkata,
“Sir, John tadi waktu olahraga meminta uang saya waktu membeli es, padahal saya tidak ada uang lagi”
Sayang tidak ada saksi dan bukti sehingga penulis merasa kesulitan untuk mengambil kesimpulan. Malamnya, penulis menerima pesan elektronik dari ayah Surya yang intinya bahwa Surya sering di palak oleh John dan dia takut melaporkannya ke penulis sebagai wali kelas karena takut diancam. Penulis mendengar hal itu timbul rasa marah karena seumur anak SD sudah berani memalak dan merampas uang yang bukan haknya. Jika kita membaca novel petualangan karya Conan Doyle yaitu petualangan detektif Sherlock Holmes setidaknya ketika menghadapi kasus harus netral dan mengumpulkan cerita utuh terlebih dahulu, menganalisis dan menginvestigasi. Selanjutnya akan mendapatkan kesimpulan akhir.
Dari cerita yang penulis dapatkan, sepertinya ada rangkaian cerita yang harus disambung bahwa orang tua Surya hanya menerima laporan dari Surya dan belum tahu apakah semua laporan tersebut benar atau tidak. Meskipun John anak yang keras namun sebagai anak seorang dokter anak ini cerdas dan pintar dan memalak bukan karakter anak ini. Keesokan harinya saya panggil orang tua Surya dengan tujuan mengkonfirmasi bersama kepala sekolah pada pukul 12.30 WIB, mengambil jam istirahat beliau. Sebelum orang tuanya datang penulis panggil Surya ke ruang UKS dan tanpa seorangpun di dalamnya kecuali kami berdua.
“Surya, Sir tidak tahu apakah cerita Surya atau pembelaan John yang benar namun saya lihat Surya rajin Sholat duhur ya..?” penulis tanya dengan nada lirih sambil merangkul pundaknya.
“Iya sir..” Jawabnya sambil menunduk yang hampir seluruh bagian wajahnya saya tidak dapat melihat.
“Pasti Surya tahu jika berbohong tidak bagus dan Tuhan tidak senang. Sir juga sudah berbicara dengan John sebelum sir berbicara dengan Surya”
Tiba-tiba anak itu ketakutan dan sepertinya ada pergolakan hati yang menimbulkan kecurigaan bahwa semua ceritanya tidaklah benar. Benar saja diapun bercerita dengan menangis bahwa sebenarnya uangnya selalu diambil oleh kakaknya di rumah dan dia takut mengadu kepada ayahnya sehingga dia mengarang cerita itu agar dapat pembelaan dari Ayahnya. Tanpa sepengetahuan Surya saya merekam pembicaraan kami sebagia bukti.
Waktu pertemuan kami dengan orang tua Surya pun tiba, kami persilakan beliau masuk ke ruang kepala sekolah menceritakan apa yang terjadi. Beliau marah, menyalahkan saya sebagai wali kelas dan juga sekolah bagaimana sekolah bisa `memelihara` pemalak kecil yang merugikan anaknya. Saya tidak mau mendebat karena sudah mengantongi kartu truf yang akan menyelesaikan masalah ini. Setelah beliau bercerita, giliran saya menyuguhkan rekaman yang saya ambil sebelumnya. Singkatnya sang Bapak meminta maaf kepada kami dan merasa malu dengan ulah anaknya yang menuduh temannya sendiri. Kami memanggil Surya dan surya minta maaf kepada ayahnya.
“Kalau kamu jujur, Ayah tidak akan marah nak” jawab ayahnya sambil memeluk anaknya.
Dalam dunia anak-anak kadang mereka takut mengeluarkan pendapatnya dengan berbagai alasan. Bahkan pemikiran ini sampai kepada ketika melihat kesalahan yang datang dari orang yang mereka hormati seperti guru dan orang tua juga mereka tidak berani berbicara karena mungkin akan dimarahi, nilainya dikurangi atau dituduh tidak sopan. Akibatnya akan fatal bahwa kesalahan yang dibiarkan terus menerus maka akan menjadi sebuah kebiasaan, kebiasaan yang terus dibiarkan akan menjadi sebuah kebenaran dan budaya. Nilai moral ini bisa kita lihat dari cerita Abu Nawas pada awal pembukaan tulisan ini.
Mendidik anak-anak secara moral dari hal terkecil adalah hal paling penting dalam proses pendidikan. Degradasi moral (kemunduran moral) yang terjadi di bangsa kita juga salah satunya tanggung jawab dari para guru yang dirasa kurang menanamkan benih-benih pendidikan moral yang baik di dalam kehidupan sekolah. Mengapa harus ada pendidikan moral? Bukankah terdapat pendidikan Agama? Agama mengajarakan keyakinan dan moral berdasarkan agama mereka sendiri bahkan kadang pendidikan agama yang tidak diberikan secara tepat akan cenderung di salah pahami seperti tidak menanamkan kehidupan toleransi, kurang menghormati perbedaan dan cenderung alergi kepada perbedaan di tengah masyarakat dikarenakan fanatisme berlebihan. Hal ini juga tidak terlepas dari pola pikir para pendidik karena tidak bisa dihindari bahwa hasil pemikiran para pendidik tentang agama dan moral serta hal apapun juga turut mempengaruhi bagaiman mereka mengajarkan nilai-nilai tersebut di sekolah.
Pelajaran Caharcter Building di Paramount School di harapkan dapat mengisi kekosongan tersebut. Memandang moralitas sebagai hal yang netral dan universal untuk semua golongan dan semua keyakinan yang dipeluk oleh para peserta didik. Selain itu kehidupan masyarakat sekolah yang heterogen setidaknya mampu menanamkan benih-benih moral seperti saling menghormati perbedaan satu dengan yang lain, bergaul dengan mereka yang berbeda golongan agar saling mengenal dsb.
Moral merupakan ukuran penting seseorang dapat dikatakan berpendidikan atau tidak. Bahkan ketika seseorang mempunyai strata sosial tinggi dan berpendidikan dengan ditandai sederet titel di belakang namanya, ketika dia melakukan hal-hal buruk seperti korupsi misalnya maka orang-orang akan memberikan julukan yang kurang pantas seperti “orang yang tidak bermoral”. bahkan Albert Eisntein mengaitkan pendidikan dan moral dalam kutipannya, “Pengetahuan tanpa Moral (Agama) adalah buta, dan moral tanpa pengatahuan adalah pincang”.
Jauh sebelum Albert Enstein lahir ada ulama kenama`an Turki yang mengarang kitab Ta`limulmutaallim yaitu Syekh Burhanuddin al-Zarnuji (w. 1243 M) pernah menulis bahwa pendidikan yang paling utama adalah pendidikan moral (akhlaq). Kitab ini hampir wajib diajarkan di pesantren-pesantren Indonesia khususnya pesantren tradisional tentang bagaimana adab mencari ilmu dan menghormati guru.
Semoga Nilai Moral akan terus `dilembagakan` di setiap sekolah dan menjadi trigger utama pendidikan dasar di negara ini. Karena jika pondasi pendidikan kuat maka akan di bawa sampai anak-anak dewasa dan memperbaiki nilai moral di negara Indonesia tercinta. Untuk membawa negara indonesia menjadi lebih baik. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H