“Baiklah, saya akan menyaksikannya sendiri, bawa kemari topimu aku ingin melihatnya” kata sang raja. Sang raja sudah tahu bahwa ini hanya ulah akal-akalan Abu Nawas seperti sebelumnya. Sudah pasti di dalam topi Abu Nawas tidak ada surga dan bidadari seperti yang diceritakan kepada orang-orang. Namun jika dia mengatakan tidak melihatnya rakyat akan mengatakan bahwa dia bukanlah orang saleh dan bertaqwa, sehingga reputasi dia sebagai raja akan rusak. Maka, setelah sang raja melihat ke dalam topi sang raja berteriak kegirangan,
“Engkau benar Abu Nawas, aku melihat surga dan bidadari di dalam topimu”.
Rakyat terkejut dengan reaksi sang raja. Namun mereka hanya diam dan tidak mau membantah Abu Nawas karena tidak mau di cap kafir, tidak bertaqwa dan tidak saleh.
Apa yang dilakukan Abu Nawas adalah kebohongan, kebohongan yang memberikan pelajaran kepada masyarakat bagi mereka yang mau berpikir. Sebuah konspirasi yang dilegitimasi oleh sang Raja. Ketika ketakutan sudah menenggelamkan kejujuran maka kebohongan akan selalu terpelihara.
Cerita-cerita humor di atas yang mengandung nilai moral tinggi sering penulis sajikan saat pelajaran Character Building atau lebih dikenal Cb di Paramount School. Meskipun hanya 30 menit pelajaran ini menurut penulis sangat penting menjadi wadah pembangunan karakter untuk siswa dan siswi Paramount School. Dalam pelajaran CB sesekali juga diskusi tidak terelakkan, mereka saling bersahutan tentang isi cerita, mengaitkan dengan pengalaman mereka dalam kehidupan di keluarga atau diskusi video sembari bermain yang mengandung nilai moral dan motivasi.
Kita menilik sedikit kurikulum di Jepang. Di sana jenjang kelas 1-6 wajib menerima pendidikan moral yang sudah tertanam dalam kurikulum utama dengan tujuan agar siswa mampu menumbuhkan nilai-nilai moralistik dan bagaimana harus hidup. Lantas bagaimana dengan siswa kita? Kurikulum Indonesia lebih menekankan siswa untuk berkompetisi secara akademik bahkan dari tingkat TK persepsi orang tua siswa harus mampu membaca dan menulis sehingga lupa bahwa masa-masa TK, anak-anak masih suka permainan. Kesalahpahaman inilah yang harus diluruskan. Akibatkanya, dengan tuntutan tersebut orang tua melupakan kompetensi anak dalam bidang moral bahkan sering marah kepada anak yang nilainya kurang bagus menurut pandangan orang tua, padahal secara moral dia sangat baik. Atau bahkan orang tua membanggakan prestasi akademik anak-anak mereka namun secara moral kurang diperhatikan. Setidaknya Paramount School sudah menerapkan ide cemerlang dengan `menyelipkan` Pelajaran Character Building selama 30 menit. Sebuah usaha yang sangat baik bagi generasi kita. Dalam perjalanannya mata pelajaran ini kadang menjadi `momok` bagi sebagian wali kelas, karena merasa bingung apa yang harus mereka isi sehingga kadang konten yang seharusnya diisi dengan nilai moral dan motivasi digantikan dengan mata pelajaran lain seperti latihan soal dan rangkuman pelajaran, padahal menurut penulis itulah waktu emas pendidikan moralnya.
Terkait dengan isi cerita Abu Nawas tentang kebohongan akibat rasa takut, penulis mempunyai pengalaman nyata yang cukup menarik. Suatu hari yang menyenangkan ketika penulis akan menunaikan Sholat di mushola sekolah, datang salah satu siswa bernama Surya (nama samaran) dengan tergesa-gesa dan dengan nada sedikit teriak melaporkan bahwa uangnya di palak (diminta dengan paksa) temannya. Dengan jelas dia menyebut nama bahwa yang mengambil adalah si John (Bukan nama sebenarnya). Seisi kelas menjadi heboh karena tuduhan tersebut. John yang tidak merasa mengambil uang membela diri dengan berteriak dan menangis atas tuduhan yang di lontarkan Surya. Surya terlihat berdiri di depan meja guru sembari berkata,
“Sir, John tadi waktu olahraga meminta uang saya waktu membeli es, padahal saya tidak ada uang lagi”
Sayang tidak ada saksi dan bukti sehingga penulis merasa kesulitan untuk mengambil kesimpulan. Malamnya, penulis menerima pesan elektronik dari ayah Surya yang intinya bahwa Surya sering di palak oleh John dan dia takut melaporkannya ke penulis sebagai wali kelas karena takut diancam. Penulis mendengar hal itu timbul rasa marah karena seumur anak SD sudah berani memalak dan merampas uang yang bukan haknya. Jika kita membaca novel petualangan karya Conan Doyle yaitu petualangan detektif Sherlock Holmes setidaknya ketika menghadapi kasus harus netral dan mengumpulkan cerita utuh terlebih dahulu, menganalisis dan menginvestigasi. Selanjutnya akan mendapatkan kesimpulan akhir.
Dari cerita yang penulis dapatkan, sepertinya ada rangkaian cerita yang harus disambung bahwa orang tua Surya hanya menerima laporan dari Surya dan belum tahu apakah semua laporan tersebut benar atau tidak. Meskipun John anak yang keras namun sebagai anak seorang dokter anak ini cerdas dan pintar dan memalak bukan karakter anak ini. Keesokan harinya saya panggil orang tua Surya dengan tujuan mengkonfirmasi bersama kepala sekolah pada pukul 12.30 WIB, mengambil jam istirahat beliau. Sebelum orang tuanya datang penulis panggil Surya ke ruang UKS dan tanpa seorangpun di dalamnya kecuali kami berdua.
“Surya, Sir tidak tahu apakah cerita Surya atau pembelaan John yang benar namun saya lihat Surya rajin Sholat duhur ya..?” penulis tanya dengan nada lirih sambil merangkul pundaknya.