Karena dinilai 'berbeda' dan tak mampu mengungkapkan identitas agama, etnis, dan bangsanya. Mereka dipaksa mengikuti identitas yang resmi. Perlakuan-perlakuan tidak adil pun tak jarang harus mereka terima...
Selain tentang Ahmadiyah, Syiah, dan sejumlah komunitas lain yang semakin akrab kita ketahui melalui media massa. Tentunya kita juga pernah mengetahui tentang bagaimana seseorang dari sebuah komunitas sulit mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP), hanya karena ia bukan termasuk penganut agama resmi seperti diakui Negara. Pengalaman ini sudah biasa dialami oleh komunitas Sunda Wiwitan. Mereka terbiasa dimainkan aparat birokrasi.
Seperti keterangan yang diungkapkan Pengeran Djatikusuma, tetua adat Sunda Wiwitan yang akrab disapa Rama Djati, ini melalui pengalaman pribadinya, keluarganya, serta sejumlah penganut Sunda Wiwitan terutama di Cigugur Kuningan, tak jarang harus berhadapan dengan perlakuan tidak adil para pejabat negara setempat. Khususnya berkaitan soal agama. Para penghayat (sebutan untuk penganut Sunda Wiwitan) ditanya agama mereka masuk agama mana: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha? Jika sudah demikian, maka penghayat Sunda Wiwitan akan menjawab: “agamanya, ya, Sunda Wiwitan”.
Demikianlah, terutama sejak masa Orde Baru (Orba), para penghayat masih juga mengalami diskriminasi. Hak-hak sipil dan politik mereka tidak diperhatikan oleh pemerintah. Alasan yang diberikan oleh pemerintah dan petugas biasanya adalah karena masalah agama. Seperti dalam kasus untuk mendapatkan KTP, birokrasi hanya mengetahui dan mengakui Lima Agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dalam perkembangannya kemudian Khong Hu Cu masuk di dalamnya sehingga menjadi Enam agama resmi yang diakui pemerintah) berdasarkan Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1, "Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius)" (Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama). Dari sini lah kemudian perlakuan-perlakuan tidak adil sering diterima penghayat Sunda Wiwitan.
[caption id="attachment_218708" align="aligncenter" width="300" caption="Rama Jatikusuma, salah satu tokoh penghayat di Cigugur Kuningan."][/caption] Agama yang diakui oleh pemerintah hanya Lima pada waktu itu (enam saat sekarang) menghambat para pengikut Sunda Wiwitan untuk mendapatkan kartu tanda penduduk, akta lahir, dan surat kependudukan lainnya. Bahkan, anak-anak para pengikut Sunda Wiwitan mengalami kesulitan saat hendak masuk sekolah pemerintah. Oleh karena itu, banyak sekali warga Sunda Wiwitan yang akhirnya memeluk agama Islam maupun Katolik. Meskipun sekarang masyarakat Sunda Wiwitan memeluk agama yang berbeda akan tetapi mereka menjiwai ajaran dan filosofi hidup yang sama yang menjamin kerukunan umat beragama tetap lestari juga menciptakan pluralisme yang berlandaskan pada kultur asli tanpa rekayasa sosial apapun. Prinsip pluralisme yang tertanam jauh di lubuk hati masyarakat Sunda Wiwitan dan selalu didengungkan oleh mereka adalah meskipun tidak sekeyakinan akan tetapi sepengakuan.
Persoalan pembuatan KTP dan administrasi lainnya, hanyalah bagian kecil dari sejumlah masalah ketidakadilan yang harus diterima penganut Sunda Wiwitan. Remeh kelihatannya. Tapi itulah fakta. Penganut Sunda Wiwitan telanjur dicap negara sebagai anonimitas, tak punya status. Di zaman Orde Baru, mereka akan diidentifikasi sebagai subversif. Setiap penduduk harus memiliki identitas yang lengkap. Petugas sensus yang ditunjuk Badan Pusat Statistik tidak diperkenankan mengosongkan kolom agama pada lembar identitas penduduk. Kolom agama harus diisi.
Namun sebenarnya apa dan bagaimana sesungguhnya Sunda Wiwitan ? Dalam laporan kali ini, bersama Rama Djati, penghayat asal Cigugur Kuningan Jawa Barat (Jabar) megulas apa dan bagaimana Sunda Wiwitan. Para penganut Sunda Wiwitan di Cigugur telah akrab dengan perlakuan tidak adil pemerintah. Namun di tengah-tengah pemeberitaan miring tentang kerukunan umat beragama dengan maraknya kekerasan atas nama agama, radikalisme, terorisme, dan lain sebagainya, siapa sangka dari mereka yang selama ini diperlakukan tidak adil, kita mendapatkan pelajaran berharga bagaimana seharusnya berkehidupan di tengah perbedaan agama.
Menengok Kehidupan Sunda Wiwitan di Cigugur
Sebelumnya mungkin tidak pernah terbayang dalam benak kita betapa dalam satu kampung, setiap rumahnya terdapat perbedaan agama, ayah seorang penghayat, tapi anak-anaknya ada yang beragama muslim dan katolik. Tapi hal demikian nyata terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat desa Cigugur Kabupaten Kuningan. Di desa yang terletak di kaki Gunung Ciremai tersebut, masyarakat hidup rukun walaupun berbeda agama.
Kerukunan ini bisa dilihat misalkan jika ada salah satu masyarakat beragama Islam meninggal dunia, maka tak sungkan orang yang beragama Katolik maupun Penghayat untuk mengurus acara pengurusan jenazah hingga tahlilan. Begitu pun jika yang meninggal adalah orang yang beragama kristen, maka orang dari umat agama lain tak segan untuk terlibat dalam acara pengurusan jenazah. Selain itu, di Desa Cigugur sendiri terdapat berbagai macam tempat ibadah dari berbagai agama, dari mulai gereja hingga masjid.
Awalnya masyarakat Cigugur adalah pemeluk ajaran adat Sunda Wiwitan yang dikembangkan oleh Ki Madrais. Akan tetapi, oleh karena ada larangan dan tekanan dari Pemerintah di masa Orde Baru (Orba), maka pemeluk ajaran ini ada yang berpindah ke agama katolik dan Islam untuk mendapatkan hak sipil dan politiknya nya sebagai warga negara yang sah. Sampai saat ini, hak sipol masih menjadi masalah bagi sebagian warga Cigugur yang masih berpegang teguh menjadi penghayat adat Sunda Wiwitan.