Agama dilihat oleh mereka hanya sebagai kodrat kebangsaan, kodrat yang melekat setelah kita memasuki dimensi ruang dan waktu. Hal demikian tersebut lebih rendah dan bersifat permukaan dan untuk memahaminya lebih mendalam harus ditarik ke arah kodrat yangn lebih tinggi yakni kodrat manusia, dimana setiap orang yang dilahirkan sebagai manusia mempunyai cara-ciri yang sama.
Ajaran Sunda Wiwitan tentang kodrat manusia dan kodrat kebangsaan yang ditanamkan oleh Ki Madrais meniscayakan bahwa kehidupan manusia yang benar adalah dengan berpegang teguh hanya pada kodrat kebangsaan dalam hal sosial dengan tanpa melupakan kodrat manusia dalam hal spiritual. Kedua kesadaran terhadap kodrat ini saling berkait, tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lain, artinya landasan spiritual kemanusiaan seperti yang diajarkan oleh Madrais akan paripurna jika terejawantahkan dalam kehidupan sosial dengan landasan sosial tentunya. Karena spiritualisme tanpa sosial akan sulit dipahami oleh orang lain, sebagaimana Rama Djati mencontohkan sosok Syeikh Siti Jenar sebagai manusia yang mempunyai pemahaman spiritual yang tinggi akan tetapi tidak menggunakan sifat sosialnya.
Ajaran sosial Sunda Wiwitan berprinsip pada kodrat kebangsaan, artinya dalam kehidupan sosial manusia tidak lepas dari karakteristik masing-masing daerah. Beda tempat beda zaman, beda pula karakteristiknya. Setiap karakter muncul dari dalam hidup keseharian manusia, dari tanah dan air yang dipijaknya, sehingga setiap manusia mempunyai budaya sebagai usaha mengatasi kehidupan sehari-harinya, mempunya bahasa sebagai usaha berkomunikasi satu sama lain/bersosialisasi, dan lain-lain. Madrais meyakini bahwa setiap bangsa akan berbeda dalam menghayati hidup, sehingga bangsa yang satu tidak bisa memaksakan nilai, norma, aturan, atau agama kepada bangsa yang lain. Ajaran Madrais inilah yang kemudian menjadi batu sandungan dan kerikil tajam bagi usaha pemerintah Belanda untuk menjajah.
Kalau kita Ingat, penjajahan (imperialisme) pada prinsipnya adalah menguasai kelompok tertentu secara ekonomi politik. Sebelum dapat dilaksanakan dengan baik, Imperialisme meniscayakan terjadinya kolonisasi. Kolonisasi lebih bersifat paradigmatik, artinya dia mempengaruhi wilayah kesadaran dengan pemaksaan nilai, moral, agama, aturan, dan semacamnya. Ajaran Madrais dalam hal ini adalah ajaran yang menggelorakan semangat anti-kolonial dalam arti yang sebenarnya. Oleh karena itu, wajar jika kemudian Belanda sangat membenci Madrais dan ajaran yang dibawanya. Hingga untuk mengawasi gerak-gerik Madrais, Belanda harus mengirimkan mata-mata yang menginap di Cigugur, yang diingat oleh masyarakat nama mereka adalah Yakob, Steepen, Relles dan Destra.
Marginalisasi Sunda Wiwitan
Bagi pemerintah Belanda, Madrais adalah biang kerok yang selalu dicurigai siang dan malam. Segala cara pun dilakukan oleh pemerintah belanda untuk menghilangkan pengaruh ajarannya dari masyarakat Cigugur. Pada tahun 1901-1908 Belanda mengasingkan Madrais ke Marauke setelah sebelumnya dia dituduh melakukan pemerasan dan penipuan kepada masyarakat. Setalah pulang dari marauke dan kembali ke Cigugur pada tahun 1908, Belanda melarang para pengikutnya mendatangi Ki Madrais.
Tak habis akal, setelah pesantrennya dilarang oleh belanda, Madrais pun berjuang di wilayah pertanian, selain menanam padi beliau juga dikenal sebagai orang yang pertama kali menanam bawang merah di Cigugur. Pada akhirnya, pengikutnya pun bisa sering bertemu dengan madrais sebelum akhirnya ketahuan juga dan sempat beberapa kali keluar masuk bui.
Setelah ditekan selama bertahuan-tahun, Belanda memperbolehkan Madrais meneruskan ajarannya dengan syarat menyanjung-nyanjung Belanda. Meskipun pada akhirnya Belanda mengakui ajaran Madrais dalam adapt recht (hukum adat) akan tetapi hasutan terus dilakukan oleh pihak Belanda kepada Madrais. Segala cara diusahakan untuk melumpuhkan pengaruh ajaran anti-kolonial dari Madrais, termasuk saat memplintir salah satu ajaran pokok madrais. Belanda menghembuskan berita bahwa “madrais mengajarkan pengikutnya untuk minum air keringatnya sendiri”, dia adalah tukang sihir dan segala macam (kekeliruan dan stigma ini sempat dijadikan inspirasi pembuatan film Kafir yang disutradarai oleh Mardali Syarif dengan pemeran utama Sudjiwo Tejo). Padahal ucapan Madrais yang sebenarnya adalah “makan minumlah kalian dari keringat sendiri” yang berarti pengikutnya harus makan dan minum dari hasil kerja kerasnya sendiri, tidak dengan memeras orang lain ataupun meminta-minta. Inilah prinsip kehidupan mandiri, berdikari dan anti-kolonial yang diajarkan Madrais.
(Tulisan ini disusun berdasarkan pengalaman lembaga kami, Yayasan Fahmina, selama beberapa bulan berinteraksi dengan masyarakat di Cigugur, terutama komunitas Sunda Wiwitan. Sudah banyak sebenarnya yang menuliskan prihal Sunda Wiwitan serta pendampingan maupun advokasi masalah yang menimpa mereka. Tulisan ini hanya secuilnya saja untuk media alternatif lembaga kami, disusun berdasarkan laporan Abdul Rosyidi, salah satu mahasiswa Institute Studi Islam Fahmina (ISIF) Crebon,dan sedikit saya edit)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H