Lebih Dekat Mengenal Sunda Wiwitan
Dari arti bahasa, Sunda Wiwitan berarti Sunda Permulaan, akar, pertama. Makna Sunda Wiwitan sama dengan yang tertulis dalam naskah Carita Parahiyangan dengan apa yang disebut Jati Sunda. Ajaran sunda wiwitan sangat berpegang teguh dengan adat budaya sunda, tempat di mana para pemeluknya hidup. Pangkal ajaran ini sebenarnya adalah mendasari hidup dengan memaknai kehidupan sehari-hari, dari tanah dan air yang dipijak.
Berdasarkan penuturan dari Pengeran Djatikusuma, tetua adat Sunda Wiwitan, ajaran Sunda Wiwitan pada dasarnya meyakini bahwa setiap manusia yang dilahirkan ke dunia tidak merasa mempunyai keinginan untuk menjadi manusia. Juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi orang Sunda atau pun orang Jawa. Semuanya itu atas kehendak Maha Pencipta. Dengan kata lain, menjadi manusia adalah perintah dari Maha Pencipta.
Setiap manusia mempunyai kodratnya sendiri-sendiri menyebutnya dengan Cara-ciri. Karena itu, Sunda Wiwitan sangat memegang teguh Pikukuh Tilu, yakni, pertama, cara-ciri manusia (kodrat manusia) yakni unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. Dalam konsep Sunda Wiwitan, ada lima unsur yang termasuk di dalamnya, Welas Asih (cinta kasih), Undak Usuk (tatanan/hierarki dalam kekeluargaan, Tata krama (tatanan perilaku), Budi bahasa dan budaya, Wiwaha Yudha Naradha (sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya). Kalau satu saja Cara-ciri manusia yang lain tidak sesuai dengan hal tersebut maka manusia pasti tidak akan melakukannya.
Kedua, Cara-ciri bangsa (kodrat kebangsaan). Secara universal, semua manusia memang mempunyai kesamaan di dalam hal Cara-ciri Manusia. Namun, ada hal-hal tertentu yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya. Dalam ajaran Sunda Wiwitan, perbedaan-perbedaan antar manusia tersebut didasarkan pada Cara-ciri bangsa yang terdiri dari Rupa, Adat, Bahasa, Aksara, Budaya. Pikukuh yang ketiga adalah Madep ka ratu raja (mengabdi kepada yang seharusnya).
Sampai di sini bisa dilihat kenapa masyarakat adat Sunda Wiwitan sangat toleran, mereka sangat meyakini bahwa semua manusia itu pada dasarnya adalah sama dan tak berdaya terhadap kodrat kemanusiaannya. Pada taraf yang sangat hakiki, manusia itu sama dalam Cara-cirinya, terbedakan dari hewan dan tumbuhan serta makhluk hidup lainnya. Selanjutnya, universalitas kemanusiaan yang melekat pada diri setiap manusia tersebut menampakan perbedaanya saat manusia harus menempati ruang dan waktu. Manusia menempati tempat tertentu di waktu tertentu yang dia juga tidak bisa menentukan sendiri tempat lahir hidup dan berkembangnya. Dari lingkungan kehidupan yang tidak bisa manusia negosiasikan. Inilah kemudian manusia mempunyai adat, budaya, bahasa, rupa, aksara dan mungkin agama yang berbeda-beda.
Ciptakan Kehidupan Damai di Bumi Cigugur
Toleransi dan kerukunan yang diresapi oleh masyarakat Sunda Wiwitan adalah toleransi yang berpegang teguh pada adat budayanya, kesadaran ruang dan waktu menjadikan mereka kukuh pada adat dan budaya sunda. Kalau mereka berada di daerah yang bukan sunda mungkin mereka akan berpegang pada kultur mereka bertempat tinggal tersebut. Inti dan akar toleransi yang dimiliki mereka bukan pada adat sundanya tapi pada cara berfikir mereka terhadap kehidupan, budaya dan adat. Jadi, sikap seperti ini sepertinya bisa juga untuk diadopsi oleh orang di daerah lain (selain sunda) dengan cara berfikir seperti demikian.
Menurut Rama Djati, seorang yang mengamalkan Sunda Wiwitan tidak harus beragama tertentu, dia boleh beragama apa saja tapi dia menghayati benar tempat dan waktu dia hidup. Rama mencontohkan bagaimana seharusnya orang yang beragama Islam tanpa harus berbangsa Timur Tengah ataupun beragama Kristen tanpa harus berbangsa Romawi. Akan tetapi beragama apapun dengan menghayati tempat dimana dia hidup. Dia juga mencontohkan bagaimana hidup harus mengikuti zaman (berbeda dengan keyakinan Sunda Wiwitan Kanekes Banten). Artinya kesadaran akan kehidupan yang dimiliki oleh masyarakat Sunda Wiwitan adalah kesadaran kodrat manusia, kemanusiaan yang terbatas ruang dan juga waktu. Oleh karena itu, masyarakat Sunda Wiwitan tidak anti dan menutup diri dari teknologi atau apapun yang muncul pada zaman sekarang yang bersifat positif.
Sikap hidup yang demikian menciptakan kehidupan yang damai di bumi Cigugur. Setiap orang di kampung ini menghayati kehidupan beragama dengan tidak mengadu kepercayaan, akan tetapi dengan mengembalikan perbedaan kepada yang sama, yakni sama-sama percaya kepada Yang Maha Pencipta, Tuhan. Seperti yang diutarakan oleh warga Sunda Wiwitan setempat Arga dan Sarka sebagaimana saat berbincang-bincang dengan mereka di tengah-tengah kesibukan mereka menyiapkan acara Seren Taun. Mereka meyakini bahwa apapun agamanya itu tidak penting yang penting adalah dia percaya ada Tuhan Maha Pencipta.
Arga (73), salah seorang Penghayat Sunda Wiwitan, mempunyai anak yang memeluk Agama Islam dan Kristen, tapi dia tetap mempersilahkan anak-anaknya untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya. Rama Djati sendiri membebaskan anak-anaknya untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya. Walaupun dari kecil anak-anaknya dididik dengan ajaran adat, akan tetapi setelah menginjak dewasa mereka dibebaskan untuk memeluk agama yang diyakininya. Kecuali untuk anak laki-laki yang paling tua, dia harus kukuh menjaga dan meneruskan ajaran adat Sunda Wiwitan.