“Saya melihat Indonesia hari ini ada di Cirebon”. Kalimat tersebut diungkapkan seorang ibu, isteri dari Presiden RI Keempat Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ya, dia adalah Nyai Sinta Nuriyah Wahid. Beberapa waktu lalu ia menggelar acara acara buka dan sahur bareng bersama sejumlah komunitas di wilayah tiga Cirebon termasuk Komunitas Lintas Iman, di Klenteng Talang, Hotel Intan, dan Cigugur Kuningan. Bahkan pada Rabu (25/7), gema kebahagiaan “shalawat” pun dilantunkan di halaman Kelenteng Talang, Kota Cirebon, Jawa Barat. Ya, acara sahur bersama di Kelenteng Talang itu pun menjadi ajang berkasih-kasihan antarwarga, apa pun suku-bangsa dan agamanya.
Suasana indah dan damai, juga sangat terasa untuk kali ke sekian di Yayasan Fahmina pada satu sore menjelang buka puasa. Bagaimana tidak indah, sejumlah pemuda dan sesepuh mereka dari beragam latar belakang suku budaya dan keyakinan, duduk setara dalam sebuah acara buka puasa bersama. Tidak hanya para pemuda dari beragam keyakinan yang tergabung dalam “Pemuda Lintas Iman (Pelita)”, namun juga para orang tua maupun sesepuh yang tergabung dalam forum keberagaman beragama “Forum Sabtuan”, pun turut melebur dalam acara tersebut. Rangkaian acara buka bersama ini juga tidak sekadar diisi pentas seni, karena selain itu juga setiap perwakilan dari agama-agama merefleksikan makna puasa bagi diri mereka dan kehidupan umat beragama di Cirebon, di Indonesia dan dunia.
Kegiatan serupa, bukan hanya sekali dua kali digelar komunitas lintas iman di Cirebon seperti Pelita dan forum Sabtuan. Lebih dari itu, Pelita juga menggelar Pasar Murah di Kelurahan Kesunean, atas kerjasama dari Gratia FM dan BEM ISIF Cirebon. Dalam pasar murah tersebut, 1.500 paket sembako dijual dengan harga murah, termasuk di dalamnya berbagai pakaian murah, mainan, dan alat-alat bayi. Menjelang waktu buka puasa, tepatnya tiga hari menjelang hari raya Idhul Fitri 2012, di lampu merah Jalan Pemuda, Pelita juga mengadakan “Posko Mudik Pelita,” dengan membagikan 1.500 kotak nasi kucing kepada para pemudik, atas kerjasama Gereja Bala Keselamatan dan Kodim Kota Cirebon.
Kendati demikian, bukan berarti acara tersebut tidak tanpa kendala, terutama menjelang berlangsungnya acara. Karena ada saja saja kelompok-kelompok yang masih keliru memahami kebersamaan tersebut. Dalam beberapa kali kegiatan misalnya, tak jarang mereka didatangi organisasi massa (Ormas) Islam tertentu, bahkan diminta membubarkan acaranya. Ketika para komunitas pecinta damai tersebut memilih meneruskan kegiatannya, mereka tidak diam, secara terang-terangan merekam acara tersebut. Lalu esoknya, video acara tersebut muncul di media Youtube, dengan judul “Pemurtadan Berkedok Pasar Murah”. Padahal jelas terlihat dalam video tersebut, beragam keyakinan ada di dalamnya, termasuk umat Islam yang jelas terlihat symbol keagamaannya dari para muslimah berjilbab. Tidak hanya itu, melalui medianya, kelompok yang tidak menyukai kegiatan komunitas lintas iman tersebut juga mengabarkan informasi-informasi yang isinya hanya memicu kebencian terhadap sesama.
Mencegah Lebih Baik Daripada Mengobati
Dulu ketika mendengar tentang Cirebon, bukan hanya mendapat gambaran tentang budayanya. Namun juga sudut-sudut di mana terjadinya pertukaran budaya, yang memungkinkan adanya peningkatan ilmu pengetahuan serta akulturasi budaya. Begitu juga dengan tempat-tempat ibadah, seperti gereja dan klenteng. Klenteng Welas Asih yang berusia sekitar 700 tahun ada di sana. Soal spiritualitas, keraton Cirebon adalah cermin Islam yang lembut dan toleran.
Akulturasi budaya juga terlihat di berbagai aspek lain. Lihat bangunan keraton-keratonnya. Ia memiliki unsur India, Jawa, Belanda, Cina, sekaligus Arab. Penggunaan atap yang bertingkat-tingkat adalah pengaruh Hindu, tapi tembok putih, kemudian aula yang diisi kursi-kursi yang berderet dan berhadapan adalah Eropa. Porselen keramik di tembok-tembok adalah pengaruh Cina, namun beragam kaligrafi, juga adanya mesjid di sekitar keraton adalah representasi Islam. Cirebon paham akan sejarah budayanya sendiri. Dan, melalui akulturasi budaya yang terjadi bertahun-tahun, mereka mampu menghayati pluralisme.
Namun beberapa tahun terakhir, ada imej popular baru tentang Cirebon terkait intoleransi beragamanya. Puncaknya pada aksi bom bunuh diri di masjid Polres Kota Cirebon, pada 15 April 2011. Belum lagi aksi penolakan konser Ahmad Dani oleh organisasi massa (Ormas) Islam tertentu, serta aksi kekerasan untuk membubarkan atau mengusir sejumlah kelompok minoritas di Kabupaten Cirebon.
Rangkaian kejadian berbau kekerasan atas nama agama, menjadi kegelisahan tersendiri bagi komunitas lintas iman di Cirebon, terutama para pemudanya. Diawali dari niat baik menciptakan budaya damai di kalangan sejumlah pemuda di Cirebon, sampai akhirnya terbentuklah Pemuda Lintas Iman (Pelita).
“Mencegah lebih baik daripada mengobati,” demikian niat awal Pelita sebelum kelahirannya. Kata “mencegah” yang dimaksud di sini adalah mencegah para pemuda menjadi korban pencarian jadi dirinya sendiri. Karena disadari Pelita, seperti diungkap Devida, Ketua Pelita, pemuda adalah kelompok manusia yang sangat rentan. Maka Pelita ini adalah lternative untuk mencegah para pemuda Cirebon terjerumus ke dalam radikalisme agama.
“Pelita selama ini cukup solid, agenda acaranya jelas dan rutin dalam mengadakan pertemuan dwi mingguan. Pelita bergerak dengan hati, semua pertemuan dwi bulanan sengaja di-setting dalam bentuk lesehan dan melingkar, supaya lebih saling akrab dan mengenal satu sama lain,” papar Devida.