Hobbes seringkali dianggap orang yang berjasa memperkenalkan teori kontrak sosialnya yang kemudian diikuti oleh dua penerusnya, Locke, dan Rosseau. Walau pun di antara ketiganya ada juga perbedaan-perbedaan yang cukup tajam. Berdasarkan pemikiran Hobbes dalam “The State of Nature and the Basis of Obligation,” Hobbes memulai pendapatnya dengan memandang secara negatif terhadap manusia. Hobbes berpendapat bahwa individu-individu itu bersifat egois dan saling mencurigai satu sama lain. Karena kebutuhan-kebutuhan mereka harus dipenuhi dalam wilayah dan dari persediaan alamiah yang sama.
Mereka berada dalam situasi persaingan. Individu satu merupakan pesaing bagi individu lainnya, dan karena itu harus dimusuhi. Akhirnya, terpaksa masing-masing mengambil tindakan untuk saling melindungi. Dari pandangan inilah kemudian muncul catchword dari Hobbes yang sangat terkenal, yakni homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lain) dan bellum omnium contra omnes (perang semua lawan semua).
Keadaan inilah yang akhirnya memaksa individu-individu itu untuk mengambil tindakan bersama. Mereka mengadakan perjanjian di antara mereka sendiri dan saling memberi janji untuk mendirikan satu lembaga dengan wewenang mutlak untuk menata mereka melalui undang-undang dan untuk memaksa semua agar taat terhadap undang-undang itu. Mereka menyerahkan semua hak alamiahnya kepada lembaga itu, kecuali tentu hak untuk melindungi diri. Hal ini disebabkan hak itulah yang mendasarkan kerelaan mereka untuk tunduk terhadap lembaga itu. Dari perjanjian bersama ini lahirlah negara.
Perjanjian itu tidak diadakan antara individu-individu dengan negara (karena pada waktu mereka mengadakan perjanjian, negara belum ada), tapi antara individu-individu saja. Isi perjanjian itu adalah untuk manciptakan negara. Jadi, negara bukanlah patner dalam perjanjian itu, tetapi hasil buahnya. Hobbes menarik kesimpulan bahwa negara—karena tidak ikut mengadakan perjanjian itu—tidak terikat olehnya dan tidak dapat juga melanggarnya. Artinya, dalam perjanjian itu individu-individu menyerahkan semua hak mereka kepada negara, tetapi negara tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap mereka. Begitu mereka selesai menciptakan negara, negara akan berdiri tegak dengan segala hak, tetapi tanpa kewajiban apa pun.
Negara yang telah terbentuk itu memiliki hak menentukan nilai-nilai moralitas. Negara menentukan baik dan buruknya suatu norma atau sistem nilai. Negara berhak memutuskan sistem perkara yang dipersengketakan. Dalam hal ini negara merupakan hakim tertinggi. Apa yang dianggap nilai-nilai kebenaran haruslah haruslah sesuai dengan apa yang ditentukan negara. Hak atas pemilikan kekayaan dapat di sita negara kapan pun bila negara menghendakinya. Kedekatan pada negara akan berarti kemudahan memperoleh akses atas kekayaan. Pengangkatan jabatan-jabatan strategis, baik dalam birokrasi sipil atau militer sepernuhnya hak prerogative penguasa negara.
Negara juga lembaga politik yang hanya mengenal hak, tapi minus kewajiban. Penguasa diberi hak untuk melakukan apa saja demi kebaikan negara. Dengan alat-alat kekerasan yang dilembagakan, negara berhak memaksa warganya untuk patuh kepada aturan-aturan yang ditetapkannya. Bila menentang, negara dapat menjatuhkan hukuman kepadanya. Penggunaan koersi dan penggunaan ancaman kekerasan dibenarkan dalam menegakkan hukum.
Negara versi Hobbes memiliki kekuasaan mutlak. Kekuasaannya tidak boleh terbelah. Kekuasaan terbelah akan mengakibatkan timbulnya anarki, perang sipil atau perang agama dalam negara. Dengan logika yang sama, Hobbes juga tidak setuju dengan demokrasi atau sejenis dewan rakyat. Sebab, negara demokrasi menuntut adanya pluralism politik, termasuk dalam arti adanya berbagai pusat-pusat kekuasaan. Kekuasaan negara menjadi tidak solid dan padu. Adanya banyak pusat-pusat kekuasaan dalam negara inilah yang dikhawatirkan Hobbes menjadi cikal bakal terjadinya konflik kekuasaan. Sehingga menurutnya, Monarkhi absolute dengan hanya memiliki seorang penguasa akan bisa tetap konsisten dengan kebijakan-kebijakan yang ditetapkannya. Sedangkan bila negara dikuasai oleh sebuah dewan besar kemungkinan kebijakan negara akan mudah berubah.
Locke
Jika Hobbes berpandangan bahwa negara itu harus diatur oleh seorang penguasa yang kuat dan diperbolehkan menggunakan segala cara untuk menuju kehidupan masyarakat yang lebih baik, sebab menilai bahwa manusia pada dasarnya adalah jahat dan tidak baik, maka perlu ada yang mengaturnya dengan cara yang ”keras” pula. Namun Locke yang hidup setelah masa itu berpandangan lain, dia berusaha membawa masyarakat dan negara kepada pemikiran yang lebih baik dengan meninggalkan kesewenang-wewnangan dan cara pemerintahan yang absolut (seperti abad kegelapan). Dia menilai bahwa asal manusia (State of Nature) dan kehidupan itu adalah baik dan tidak seperti yang dikatakan oleh Hobbes.
Sebelum Locke menulis Two Treatises of Government kehidupan politik Inggris dan Perancis Abad XVII didominasi oleh wacana doktrin monarki absolut. Dalam konteks sejarah Inggris, kelahiran doktrin monarki absolut itu merupakan jawaban terhadap kekacauan sosial politik akibat perang saudara dan perang-perang agama yang terjadi pada saat itu. Locke adalah penentang gigih monarki absolut di negaranya, karena bertentangan dengan prinsip civil society yang diyakininya.
Tentang kekuasaan, Locke menilai penguasa bukan berasal dari Tuhan atau diwariskan turun-temurun, melainkan kekuasaan merupakan produk perjanjian sosial antara warga negara dengan penguasa negara sebab manusia dilahirkan dengan kesamaan derajat. Pada kesimpulannya Locke menganggap bahwa kekuasaan absolut adalah antitesis dari kebebasan.