Disusun oleh:
Alimah Nasywa Hanifah (F100220011)
Rahmania Alya Fidela (F100220024)
Hasyanah Elsatari Gazali Putri (F100220030)
Beragam informasi yang disebarkan melalui media sosial semakin membludak ketika teknologi telah menguasai dunia. Kemudahan dalam mengakses informasi menjadi salah satu faktor warganet menggunakan media sosial. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa di antara lautan informasi yang beredar terdapat berbagai data yang tidak akurat dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Apabila kita tidak menelaah informasi yang diterima terlebih dahulu dan segera menyebarkannya kepada khalayak umum, kebenaran informasi tersebut akan memudar. Seiring berjalannya waktu, informasi tersebut akan dianggap benar oleh khalayak umum yang menerimanya. Fenomena ini menandakan adanya masalah komunikasi yang terjadi di era post-truth.
Post-truth adalah keadaan di mana informasi mengenai data objektif diabaikan, sementara data subjektif lebih dianggap penting. Mulanya, post-truth merupakan kata yang populer ketika momen Pilpres Amerika Serikat pada 2016 dan Brexit pada 23 Juni 2016. Kata post-truth masih bertahan hingga saat ini karena minimnya kepercayaan masyarakat terhadap fakta dan adanya disinformasi yang dilakukan secara terang-terangan (Mofferz, 2020). Fenomena hoax di era post truth semakin merajalela karena para pengguna media sosial kurang menaruh perhatian terhadap keakuratan data informasi yang diterima sehingga kredibilitasnya menurun.
Secara garis besar, hoax memiliki arti sebuah berita yang menyesatkan karena tidak memiliki sumber yang kredibel dan berita yang jelas. Hoax sengaja diciptakan oleh segelintir orang yang tidak bertanggung jawab untuk memperoleh keuntungan pribadi agar tujuannya tercapai (Hery, M. & Mahfudh A, A., 2019). Beberapa hal yang menyebabkan terjadinya hoax menurut Wahyu Widodo dkk. (2019) adalah minimnya minat baca, mudah percaya, keinginan menjadi orang yang paling update, dan tidak melakukan analisa saat mendapatkan informasi. Sebuah studi di University of California San Francisco mengungkapkan bahwa para psikolog setuju mengenai dampak buruk hoax pada kesehatan mental, seperti Post-Traumatic Stress Syndrome (PTSD), kecemasan, bahkan sampai pada kekerasan.
Dalam perspektif psikologi, hoax berkaitan dengan teori psikologi kognitif. Menurut Shofia (2020), keduanya berhubungan dengan penyaringan informasi yang beredar dan tidak sembarangan menyebarkan berita hoax. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kebenaran dalam mengidentifikasi informasi yang beredar dipengaruhi oleh cognitive abilities. Berdasarkan hasil cognitive reflection test, seseorang yang memiliki model berpikir dengan spontan dan cepat mempunyai tingkat analisis yang rendah, sedangkan pembaca yang memiliki kecakapan berpikir dengan menaruh perhatian pada pengalaman dan pengetahuan cenderung mencerna informasi yang diterima secara kritis dan analitis.
Ada beberapa implikasi aspek psikologis yang berkaitan dengan berita hoax, yaitu bias kognitif. Manusia cenderung mengkonfirmasi pandangan atau keyakinan yang mereka miliki. Bias ini dikenal dengan bias konfirmasi yang menyajikan berita sesuai dengan target mereka. Efek Dunning-Kruger ditandai dengan individu yakin terhadap pengetahuan mereka sehingga lebih rentan untuk terjebak. Selain itu, efek sensasionalisme dicontohkan dengan teori konspirasi yang menyebabkan hoax tersebar lebih cepat.
Berdasarkan uraian di atas, kita diharapkan mampu untuk bersikap bijak dalam mengolah informasi yang kita dapatkan. Penting bagi kita untuk mengetahui ciri-ciri berita hoax, seperti judul berita yang terlalu heboh, menggunakan kalimat yang provokatif, dan para oknum pembuat berita bohong yang dengan berani mengatasnamakan lembaga yang kredibel. Dengan kata lain, penerima informasi seyogianya mampu untuk menelaah judul yang terlalu sensasional, mewaspadai situs berita yang belum terverifikasi institusi pers resmi, mengecek berita di sumber lainnya, memperhatikan keberimbangan berita, dan membaca secara keseluruhan untuk mendapatkan gambaran secara utuh dan lengkap.
DAFTAR PUSTAKA