Mohon tunggu...
alie isfah
alie isfah Mohon Tunggu... -

Yang Muda Yang Berkarya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mengejamu

19 Oktober 2014   14:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:29 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semenit bersamamu terasa berarti untukku. Moga kau mengerti itu.

''Terserah.''

Itu kalimatmu yang belakangan sering terdengar ketika aku bertanya, meminta pendapat. Memberiku ruang bebas untuk bergerak. Boleh ke depan atau belakang, kanan dan kiri, atau ke manapun.

''Lakukan apa yang menurutmu itu baik,'' sambungmu lagi.

Terima kasih memberiku ruang gerak. Tapi bagiku, jawaban terserah sama saja pasrah tanpa alasan. Dan kau tahu? Aku tak terlalu suka dengan jawaban itu. Sebab sepertinya tak ada kesungguhan yang bisa dipegang di sana.

Mungkin aku ceroboh. Berkali membuatmu kesal, sebal dan juga marah yang sering terulang. Aku bodoh. Belum bisa mengertimu. Tapi, seperti yang kau bilang, aku juga sama tak bisa lepas dari kekurangan sebagai manusia. Rasanya terlalu naif jika semua itu tak terjadi pada kehidupan manusia.

Selagi aku mampu, selalu kuusahakan ada untukmu, Sayang.

Dan untuk malam ini, biarkan kularungkan kembali namamu di keheningan. Moga itu bisa menjadi pelipurku saat kau ingin menjauh. Menjadi hiasan warna yang baru, saat jejakmu mulai hilang diterpa debu demi debu yang beterbangan.

Sebab mengejamu di keheningan menghadirkan rasa tersendiri untukku. Kala mata-mata terpejam lelap, suara-suara sumbang tenggelam dan hingar-bingar terhenti. Meski hanya sebentar, itu sudah cukup membuahkan cerita yang berbeda.

Aku merasa menemukanmu di sana. Saat mungkin mata bening dan kelopak sipitmu mulai tertutup seiring bibir yang juga perlahan terkatup.

"Tak ada kesepian abadi."

Mungkin kalimat itu benar. Tak ada yang salah.  Tapi semakin sepi, suasana menuntunku untuk terus mengejamu tanpa jeda. Menyebut namamu dalam pintalan doa demi doa.

Tak pernah kuperdulikan hasil apa yang akan terwujud di balik setiap pinta. Yang kutahu berdoa itu baik. Sama baiknya ketika jerih payah dilakukan tanpa henti. Dan karena Tuhan Maha mendengar.

Kau tahu? Bagiku tak ada keindahan yang lebih indah saat kau menanyakan kabar dengan caramu yang unik. Tingkah menggelitik yang semua itu mengantarkanku pada tawa dan rasa geli yang sulit tergambarkan.

Ah, sedang bicara apa aku ini? Sudah, cukup... esok hari matahari kan kembali terbit.

Ya, semoga benar-benar terbit. Dan sisa nafas ini masih bisa kugunakan untuk melakukan kebaikan-kebaikan yang tertunda. Aamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun