Eks Gubernur BI, Darmin Nasution, pernah meminta Pemerintah untuk menggenjot FDI/investasi langsung asing hingga USD 20 miliaruntuk menutup defisit anggaran tahun 2012. Namun pada tahun 2012 Pemerintah tidak sanggup menggenjot FDI dikarenakan investor asing tidak tertarik untuk investasi di Indonesia. Tidak tertariknya investor untuk berinvestasi di Indonesia disebabkan karena infrastruktur di Indonesia tidak memadai. Padahal infrastruktur merupakan syarat utama untuk menciptakan iklim investasi dalam suatu Negara. Karena melalui cara FDI tidak bisa maka cara menutupi defisit anggaran adalah dengan cara hutang luar Negeri.
Hal ini mengartikan bahwa APBN Indonesia juga habis untuk membayar Bungan dan hutang luar negeri ketika pembiayaan anggaran defisit anggaran adalah melalui hutang luar negeri. Karena itulah Pemerintah menganggap bahwa permasalah utamanya adalah terletak pada subsidi BBM. Subsidi BBM selain menguras APBN juga menaikkan konsumsi BBM tiap tahunnya. Hal ini dibuktikan dengan data statistik minyak bumi dari Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral), pada tahun 2005 tingkat konsumsi bahan bakar kendaraan bermotor sebesar 101.867 juta barel minyak. Namun pada tahun 2011 silam tingkat konsumsi mogas melonjak menjadi 165.308 juta barel minyak.
Naiknya konsumsi BBM yang disebabkan oleh tingginya subsidi BBM memang benar adanya. Karena ketika BBM disubsidi dalam jumlah besar maka bisa menekan harga keekonomian BBM hingga harga BBM menjadi murah. Harga BBM yang murah tersebut menciptakan perilaku konsumtif dalam masyarakat, perilaku konsumtif itulah yang menggiring masyarakat untuk selalu mengkonsumsi BBM bersubsidi didukung dengan rendahnya harga BBM.
Dampak besarnya subsidi BBM tak berhenti sampai disitu, ia membentuk kondisi dimana FDI menjadi kecil karena dana untuk infrastruktur banyak tersedot oleh anggaran subsidi. Selain itu ia juga membuat hutang luar negeri semakin besar karena tingginya impor BBM tidak bisa ditutupi kekurangan anggarannya dengan FDI , hal itu membentuk neraca perdagangan menjadi defisit, neraca perdagangan yang defisit adalah pengejawantahan dari melemahnya ekspor serta membengkaknya impor. Ketika neraca perdagangan semakin defisit dan hutang luar negeri semakin besar, cara mengatasinya adalah dengan cara mengurangi subsidi BBM.
Keempat, defisit neraca perdagangan dimana impor menggunung jauh melebihi ekspor mengharuskan Pemerintah mengurangi subsidi guna menekan tingkat impor. Wijayanto, pakar ekonomi sekaligus pengajar di Paramadina, juga menuturkan bahwa rendahnya harga BBM bersubsidi membuat permintaan domestik naik dan impor terus menggunung, sehingga menimbulkan defisit perdagangan. Selain itu, menggunungnya impor akibat naiknya permintaan domestik bisa menekan nilai rupiah terhadap dolar serta membuat defisit APBN membesar.
Cara agar impor tidak melampaui ekspor adalah dengan cara mengurangi subsidi BBM, karena yang membuat impor terus dilakukan adalah karena keperluan BBM bersubsidi di domestik semakin besar dari tahun ke tahunnya. Selain itu, lifting (produksi minyak) minyak mentah Indonesia sekarang ini hanya berkisar antara 830.000-870.000 barel oil per hari. Sedangakn kebutuhan untuk konsumsi nasionalnya mencapai 1,4 juta barel/ hari (Badan Kebijakan Fiskal RI, 2013). Alhasil dengan kenyataan bahwa lifting migas Indonesia belum bisa memenuhi kebutuhan domestiknya, maka impor akan terus dilakukan. Cara untuk membatasi konsumsi BBM adalah dengan menaikkan harga BBM.
Tulisan berlanjut ke http://metro.kompasiana.com/2013/06/12/bantahan-akan-alasan-pemerintah-mengurangi-subsidi-bbm-568009.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H