Umar Juaro juga menuturkan bahwa subsidi BBM akan berkurang jika ICP sudah diatas USD 120/barel. Dampak yang ditimbulkan adalah harga BBM naik serta inflasi yang terjadi mencapai sekitar 9%.
Bambang P.S Brodjonegoro pun menuturkan bahwa APBN 2013 adalah tahun berjalan dimana defisit besar antara pendapatan dengan belanja terjadi di Kuartal I (bulan Maret), padahal pada tahun berjalan 2011 dan 2012 defisit besar APBN selalu terjadi pada Kuartal II. Hal ini merupakan akibat dari penerimaan pajak yang tidak sesuai target dan tingginya realisasi belanja, hal ini juga tergantung pada BBM.
Defisit Rp 17,9 Triliun pada Kuartal I APBN 2013 kini merupakan sebuah kemunduran, pasalnya di Kuartal I tahun sebelumnya defisit APBN berada jauh dibawahnya, yaitu pada angka Rp 8,0 Triliun. Tingginya defisit Kuartal I APBN 2013 didorong oleh tingginya realisasi subsidi BBM serta ditambah dengan penerimaan pajak yang tidak sesuai target. Meskipun realisasi subsidi BBM hingga Kuartal I (Maret 2013) barulah mencapai angka Rp 3,5 Triliun dari pagu Rp 193,8 Triliun di APBN. (Bambang P.S Brodjonegoro, Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal).
Kedua, terjadi pelonjakan subsidi BBM dari APBN 2012 ke APBN 2013. Subsidi BBM yang dimaksud disini adalah Premium, Solar, dan Minyak tanah, karena tiga jenis tersebut merupakan tiga jenis BBM dengan konsumsi terbesar diantara jenis lainnya, terutama Premium dan Solar. Subsidi minyak tanah dahulu tergolong besar, namun semenjak digalakkannya konversi minyak tanah ke gas untuk aktivitas dapur rumah tangga, subsidinya mulai bisa dikurangi.
Subsidi BBM pada APBN-P tahun anggaran 2012 adalah sebesar Rp 137 Triliun atau setara dengan 40 juta Kiloliter, namun kuota akhir dari jumlah subsidi BBM pada tutup anggaran di tanggal 28 Desember 2012 adalah sebesar Rp 211,9 Triliun, meskipun realisasi penggunaannya adalah sebanyak 45,07 juta Kiloliter di saat tutup anggaran. Jika digabungkan seluruhnya, jumlah kuota BBM bersubsidi dalam tahun anggaran 2012 adalah sebesar 154,22% yang berarti melewati pagu subsidi BBM di APBN-P.
Pada tahun anggaran 2013, kuota BBM bersubsidi di APBN 2013 adalah sebesar Rp 193 Triliun atau setara dengan 46,01 juta Kiloliter. Angka ini lebih sedikit dari realisasi konsumsi BBM bersubsidi pada tahun anggaran 2012, menurut Jero Wachik, kuota subsidi BBM pada tahun anggaran 2013 haruslah ditambah dalam APBN-P yang akan dibahas pada bulai Mei 2013 ini.
Jika membandingkan antara realisasi konsumsi BBM bersubsidi dengan kuota BBM bersubsidi di tahun 2013 memang menunjukkan harus ditambahnya kuota BBM bersubsidi tahun 2013. Pada tahun 2011, realisasi konsumsi BBM bersubsidi adalah sebesar 41,78 juta Kiloliter dan pada tahun 2012, jumlah realisasi konsumsi BBM bersubsidi berada pada angka 45,07 juta Kiloliter, naik sekitar 7,8%. Melihat kenaikan tingkat konsumsi BBM bersubsidi pada 2011 ke 2012 akan menjadi aneh jika kuota BBM bersubsidi di tahun 2013 hanya berada pada angka 46,01 juta Kiloliter. Jika mengingat pertumbuhan ekonomi tahun 2013 adalah 6,5%, maka kuota BBM bersubsidi pasti akan ditambah.
Tak berhenti sampai disitu, selain selalu meningkanya jumlah konsumsi BBM bersubsidi tiap tahunnya, ternyata kuota subsidi pada tahun anggaran 2013 sudah cukup tinggi. Memang subsidi BBM terletak pada angka Rp 193,8 Triliun, namun jika seluruh subsidi di APBN 2013 digabungkan jumlahnya mencapai Rp 317,2 Triliun. Hal ini hampir menyamai kuota anggaran pendidikan yang mencapai Rp 336,8 Triliun atau setara dengan 20% anggaran belanja APBN 2013. Hal ini bisa dikatakan berbahaya, karena hampir 40% dana anggaran dari APBN 2013 hanya digunakan untuk membiayai subsidi dan pendidikan. Sedangkan 60% sisanya harus cukup untuk membiayai anggaran belanja sisanya.
Ketiga, prakiraan defisit APBN 2013 memang membuat Pemerintah semakin giat untuk mengurangi subsidi, bagaimana tidak, pada tahun anggaran 2012 APBN sudah dibuat defisit Rp 146 Triliun akibat pelonjakan penambahan kuota subsidi BBM. Karena itulah pemerintah merasa perlu mengrangi subsidi BBM untuk menyelamatkan APBN beserta keseimbangan neraca perdagangan 2013.
Realisasi penerimaan Negara pada tahun anggaran 2012 adalah sebesar Rp 1335,7 Triliun atau setara dengan 93% dari target penerimaan anggaran dari APBN-P. Sedangkan jumlah belanja Negara pada tahun anggaran 2013 adalah mencapai Rp 1481,7 Triliun, melonjaknya julah belanja Negara membentuk defisit anggaran sebesar Rp 146 Triliun. (Agus Martowardojo, Menteri Keuangan sebelum menjabat Gubernur BI). Hal ini membuat Mahendra Siregar -Wakil Menteri Keuangan- bingung. Pasalnya terakhir kali Indonesia defisit anggaran yang besar adalah pada tahun 1961.
Ketika belanja subsidi BBM sudah melonjak melewati pagu anggaran di APBN, hal ini harus diimbangi dengan tingginya ekspor agar tidak membenai neraca perdagangan. Namun ketika posisi ekspor tidak mampu mengimbangi impor maka menutup defisit anggaran adalah dengan Pembiayaan Anggaran yang tertera di dalam APBN, yang terbagi lagi menjadi dua, pembiayaan anggaran yang berasal dari dalam negeri dan yang berasal dari luar negeri. Pembiayaan anggaran dari dalam negeri bisa dengan penerbitan SUN (Surat Utang Negara) sedangkan pembiayaan anggaran dari luar negeri adalah dengan peningkatan FDI (Foreign Direct Investment) atau dengan hutang luar negeri.