"Cucu Nenek gagah pakai seragam baru," goda Nenek.Â
"Alhamdulillah. Iya, dong, Nek," sahutku.Â
"Kamu seperti Bapakmu, Andi. Gagah, tegap. Senang Nenek lihat...," seketika Nenek tercekat. Nenek menyeka air matanya dengan lengan baju. Aku pun berdiri, menghampiri, dan memeluk Nenek erat.Â
Pandanganku tertuju ke bingkai foto di dinding kayu. Ada aku, Bapak, Ibu, dan Adekku. Bapak meninggal dua tahun lalu.Â
Bapak meninggal dunia dalam tugas di Papua. Kata teman Bapak dan berita di televisi, Bapak menjadi salah satu korban penembakan KKB di Nduga, Papua. Â
Aku ingat hari pemakaman Bapak. Jenazah Bapak diantarkan banyak tentara dan warga. Aku yang mengazankan jenazah Bapak sebelum dimakamkan. Aku bangga dengan Bapak. Bapak gugur sebagai kusuma bangsa.Â
Ibu menangis histeris pada malam setelah mendengar kabar meninggalnya Bapak. Adekku, Bima yang baru berusia setahun hanya bisa bingung. Dia belum mengerti yang terjadi. Aku berusaha menguatkan ibu.Â
Nenek mendengar kabar duka itu, setelah salat Isya. Nenek terduduk diam di sajadah. Nenek menangis dalam balutan mukena. Saat kuhampiri, tanganku menyentuh basah sajadah.Â
Karena terpukul atas kematian Bapak, Ibu memutuskan pulang kampung ke Sragen membawa Bima, adekku. Tinggal di kampung bersama Simbah. Ibu membantu Simbah menggarap sawah. Tinggallah Aku dan Nenek di sini. Kasihan Nenek kalau aku juga ikut ibu.Â
Nenek sudah mulai tenang dari kenangan tentang Bapak. Waktu sudah menunjukkan pukul 6.30. Aku pamit berangkat sekolah. Meski sekolah relatif dekat, aku tidak mau terlambat. Itu salah satu hasil didikan Bapak.Â
"Nek, Andi berangkat dulu, ya," sambil kucium tangan Nenek.Â