Mengutip Beritasatu (12/7/2017), di sela kunjungan ke Balikpapan, Presiden Jokowi menyebut ada tiga tempat atau tiga provinsi yang sedang ditimang untuk dijadikan ibu kota negara menggantikan Jakarta. Sebelumnya Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono di Kompleks Istana Kepresidenan awal bulan ini mengatakan tempat yang sedang dikaji sebagai ibu kota berada di 3 provinsi di Kalimantan. Bisa Kalimantan Tengah (Palangka Raya), bisa Kalimantan Timur (Balikpapan), atau bisa juga Kalimantan Selatan.
Apabila mencermati pernyataan Presiden Jokowi dan Menteri PUPR, kemungkinan besar ibu kota mengerucut ke tiga kandidat. Kalimantan Tengah (Palangka Raya), Kalimantan Timur (Balikpapan), atau Kalimantan Selatan. Tinggal dibandingkan saja. Bahan pertimbangannya, menurut Presiden Jokowi, dilihat dari sisi kebencanaan, keekonomian, dan infrastruktur, serta biaya yang dibutuhkan.
Melihat sisi lain Kalimantan
Ketiga kandidat ibu kota itu, sama-sama di bumi Kalimantan. Memang, Kalimantan memiliki wilayah yang begitu luas. Memang, potensi sumber daya alam melimpah di bumi Kalimantan. Â Memang, selama ini geliat ekonomi dan pembangunan Kalimantan menarik banyak pendatang yang berasal dari beragam wilayah di Indonesia.
Tunggu dulu, rasanya Bappenas, sebelum memilih salah satunya, perlu diingatkan beragam fakta yang ada tentang Kalimantan. Fakta, bersamaan dengan masuknya pendatang, potensi gesekan antarkelompok warga yang berbeda suku pun meningkat. Tercatat beberapa kasus pertikaian antarsuku pernah  terjadi di wilayah Kalimantan. Deretan konflik antarsuku selama ini membuktikan adanya potensi bencana sosial.
Fakta, yang harus dipahami bersama, bahwa masyarakat adat (suku asli) di Kalimantan memang dikenal solid. Bila ada kelompok adat tertentu disakiti, hampir pasti seluruh suku yang sama akan ikut membantu. Solidaritas tersebut tidak sebatas individu dengan individu dari suku yang sama. Solidaritas tersebut juga sesama suku yang tidak sebatas pada wilayah provinsi, namun juga antarprovinsi yang berbeda.
Fakta, sejarah konflik antarsuku pernah terjadi di Kalimantan, seperti Sampit dan Sambas. Perlu dipahami, konflik di suatu daerah seolah menjadi model bagi daerah-daerah lain. Konflik antarsuku yang pernah terjadi seperti mengulang kembali sejarah pertikaian antarsuku yang terjadi di beberapa daerah. Sejarah kelam seolah menjadi dendam yang tidak berkesudahan sehingga akan mudah untuk muncul lagi apabila terdapat pemantiknya (Narwoko, 2004: 181).
Sebagai pendatang yang sudah tinggal di bumi Kalimantan dua belas tahun, penulis menangkap keunikan suku-suku asli di Kalimantan. Fakta, suku-suku pendatang diharapkan dapat menghormati dan menghargai adat suku asli. Para pendatang yang tidak menghargai adat suku-suku asli dapat bernasib sama dengan pendatang di daerah-daerah yang pernah terjadi konflik di pulau Kalimantan. Prinsipnya, apabila suku-suku pendatang dapat bersikap dan bertindak baik terhadap suku asli, suku asli pun akan bersikap dan bertindak jauh lebih baik. Kekerasan yang dilakukan oleh suku asli sebagai sebuah keterpaksaan dalam upaya untuk mempertahankan diri.
Fakta, selama ini berkembang stereotipe bahwa pendatang hanya mengeruk kekayaan bumi Kalimantan. Akibatnya, timbul kecemburuan sosial-ekonomi. Kesenjangan sosial-ekonomi menimbulkan persepsi bahwa pendatang sebagai sumber masalah. Tempo (1999 dalam Maunati, 2006: 4) pernah membuat laporan yang mengungkapkan bahwa banyak tokoh terkemuka dalam organisasi salah satu suku di Kalimantan, meramalkan bahwa situasi Kalimantan seperti 'api dalam sekam' yang bisa meledak kapan saja. Sejumlah pakar melaporkan bahwa banyak keberatan dan keluhan ekonomi yang sama yang ikut menyumbang bagi munculnya konflik.
Pada dasarnya terdapat persamaan antara konflik etnik di Kalimantan. Konflik yang pernah terjadi akibat masyarakat asli merasa terluka dan marah karena tiadanya kekuatan politik. Selain itu, secara ekonomi suku-suku asli seolah kalah dari pendatang. Sebenarnya, amuk massa yang terjadi karena kesenjangan sosial-ekonomi akan dapat mengendur apabila sumber-sumber produksi yang ada terbagikan secara adil (Narwoko, 2004: 181). Oleh karena itu, kesenjangan ekonomi antara penduduk asli dengan pendatang di Kalimantan  harus diperkecil untuk meminimalkan potensi konflik sosial tersebut.
Siapkah Kalimantan?
Mau tidak mau, sebagai ibu kota negara nantinya, pasti menjadi gula-gula  yang mengundang banyak pendatang. Sama seperti Suku Betawi yang kian  terpinggir di Jakarta. Bukan tidak mungkin suku-suku asli di Kalimantan  juga akan mengalami hal yang sama. Konsekuensi itu mau tidak mau pasti  terjadi. Oleh karena itu, apabila sudah siap dengan segala konsekuensi  itu, berarti Kalimantan (entah di mana pun berada) benar-benar sudah  siap menjadi ibu kota negara.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut kesiapan sosial budaya masyarakat asli Kalimantan patut dipertimbangkan. Faktor kesiapan sosial budaya ketiga kandidat ibu kota negara perlu dibandingkan. Selain sisi kebencanaan, keekonomian, dan infrastruktur, serta biaya yang dibutuhkan, faktor sosial budaya harus diperhatikan. Manakah kandidat yang potensi konflik sosialnya paling kecil.
Pak Jokowi, semoga benar ibu kota jadi pindah ke bumi Kalimantan. Agar Kalimantan tidak hanya iri melihat gemerlap pembangunan di Pulau Jawa dan Sumatera. Agar jangan lagi ada idiom Garuda di dadaku, Malaysia di perutku. Agar tidak lagi ditemukan kubangan-kubangan sapi di jalanan pedalaman Kalimantan. Agar Kalimantan tidak terkesan dianaktirikan.
Pak Jokowi, semoga benar ibu kota jadi pindah ke bumi Kalimantan. Agar mampu menyejahterakan suku-suku asli di Kalimantan. Semoga benar ibu kota jadi pindah ke Kalimantan. Tanpa membuat suku asli terpinggirkan. Semoga benar ibu kota jadi pindah ke bumi Kalimantan. Rumah bagi semua suku yang ada di Nusantara. Tanpa membuka peluang konflik yang pernah terjadi kembali terulang. Semoga. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H