“Tidak ada seorang pun di rumah ini yang mempedulikanku. Dulu ketika aku masih bekerja semua mendekat. Sekarang setelah aku tidak punya apa-apa, tidak seorang pun merasa kenal denganku!”teriak seseorang dari sebuah kamar.
Coba baca tuturan itu berkali-kali. Ehm, lima puluh kali lah.he. he. Jangan. Terlalu banyak. Tiga kali cukup. Menurut kalian, kira-kira berapa usia si penutur? Tepat sekali! Di atas enam puluh lima tahun. Sudah kategori manula.
Nah, sekarang, kalian identifikasi orang-orang di sekeliling rumah, sekecamatan, sekabupaten, seprovinsi, dan tokoh-tokoh di negeri ini. Adakah yang setipe dengan penutur dalam contoh tersebut. Kalau sudah teridentifikasi orang-orangnya, sekarang mari kita kaji secara ilmiah. Berdasarkan tinjauan kebahasaan.
Baiklah kita mulai. Ada teman yang curhat. Perihal perubahan kelakukan kakeknya. Sebut saja namanya Kaik (Bahasa Banjar Kalimantan Selatan: Kakek). Kini Si Kaik kelakukannya berubah. Seperti anak kecil. Inginnya dimanja. Inginnya diperhatikan. Suka curhat. Kalau tidak diperhatikan, ngambek. Pernah Kaik ngambek tidak mau makan beberapa hari. Akibatnya dehidrasi dan kurang gizi. Efeknya bisa ditebak. Badan lemas. Si Kaik pun harus dilarikan ke rumah sakit. Setelah diperiksa dokter, tidak ada sakit apa-apa. Keluarga pun heran. Kenapa gerangan? Kok bisa begitu?
Menurut penjelasan dokter, “Kaik itu cuma ingin diperhatikan. Ndak mau dicuekin.”
O... Begitu.
Cerita seperti itu tidak hanya dari satu dua teman. Perihal sindrom manula, ada yang mengistilahkan generasi‘baby boomer’. Rata-rata pertanda tentang kaum manula memiliki pola yang sama. Tidak hanya kesamaan dalam tingkah laku, tetapi juga dalam penggunaan bahasa.
Ini sangat menarik. Fakta yang tidak terbantahkan adalah adanya hubungan kompleks antara fisik, mental, dan sosial dalam cara orang menggunakan bahasa dan cara orang lain memandang dan mereaksi bahasa itu. Kondisi fisik dan mental seseorang ikut memengaruhi perbedaan penggunaan bahasanya. Penggunaan bahasa kaum manula memiliki kesamaan pola.
Dalam artikel Bahasa dan Usia yang ditulis Jean Stilwell Peccei (2007), diungkapkan bahwa salah satu faktor yang berperan penting terhadap cara berbicara dalam situasi tertentu adalah usia dari lawan bicara. Usia penutur sangat memengaruhi gaya bicara atau tuturan. Apakah usia kanak-kakak, remaja, dewasa, ataukah manula gaya bicara atau tuturannya pun dapat terlihat perbedaannya.
Khususnya masa manula, ada istilah second childhood. Masa kanak-kanak kedua dan kembali seperti anak kecil lagi. Hal itu menunjukkan ada penyamaan secara eksplisit dalam budaya antara kelompok balita dengan manula. Balita dan manula sering dipandang sebagai orang yang sedang dalam tahap kehidupan yang problematis dan tidak berdaya.
Apabila dicermati dari penggunaan bahasa, ada kemiripan bahasa anak-anak dan manula. Kemiripan jelas terlihat dalam gaya bicara. Penggunaan kalimat yang lebih sederhana, sering mengajukan pertanyaan, sering mengulang-ulang kalimat, panggilan sayang, dan sebagainya. Ada ungkapan panggilan sayang yang digunakan untuk anak kecil juga digunakan untuk manula, misalnyalittle (kecil), dear (sayang), sweet (sayang), fussy (cerewet), stubborn (keras kepala), atau folish(lugu/bodoh/menggelikan).
Selain gaya bicara, ada kemiripan lain dalam praktik interaksi berbahasa. Kemiripan itu tampak dari seringnya anak-anak dan manula menginterupsi dalam sebuah interaksi (percakapan). Hanya saja, kontribusi dari anak dan manula itu acapkali dianggap tidak relevan dengan percakapan bin tidak nyambung. Hal itu pun mengundang respon penutur lain, “ha? iyelah...” sebagai bentuk pemakluman.
Apakah semua manula tipikalnya sama? Tentu tidak. Ada beberapa kategori kata untuk menyebut orang yang sudah tua, yakni wise (bijak), dignified (berwibawa), cantankerous (bawel), frail (rapuh). Sama halnya kekhasan untuk anak kecil, seperti bouncing (suka melompat-lompat), cute (lucu), dan bratty (nakal). Dengan demikian, kita pun bisa mengidentifikasi kaum manula di sekitar rumah, di kecamatan, di kabupaten, di provinsi, dan di negeri ini. Termasuk kategori yang manakah mereka? Bijak, berwibawa, bawel, rapuh, ataukah yang lebai?
Memang fase kehidupan manula orang-orang di sekitar kita harus disikapi dengan bijak dan penuh pengertian. Tentu kita akan senang apabila menemukan para manula yang bijak dan berwibawa. Mampu ngemong yang muda berbekal kenyang makan asam garam. Mampu memberikan petuah-petuah bijak. Mampu menghadirkan kedamaian dan kesejukan bagi yang bertikai. Mengayomi semua ‘anak cucu’.
Nah, yang ngegemesin wal njengkelin kalau menemukan manula yang bertingkah bawel, rapuh, atau yang lebai. Sedikit-sedikit mengeluh. Sedikit-sedikit membuat gaduh. Ngeselin kan?
Kalau ada manula apalagi tokoh nasional setipe itu tadi, ada baiknya dibacakan pesan Margaret Gullette dalam bukunya Declining to Decline” Cultural Comb and the Politics of Midlife (1977). Margaret mengimbau agar “kita yang sudah berusia empat puluh atau lebih, yang sudah tua dan lebih bijak daripada waktu masih muda, harus menulis otobiografi-otobiografi yang bernada positif bagi kalangan usia kita sendiri.”
Dengan kata lain, bagilah pengalaman-pengalamanmu, bukan keluh kesahmu. Kau akan lebih bermanfaat pada fase manulamu. Jika mampu berlaku demikian, kelak ‘anak cucu’ akan lebih menyayangi dan menjagamu.
Pertanyaannya, menurut kalian,
Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono yang sekarang berusia 67 tahun, sekadar info beliau lahir 9 September 1949,
dengan seringnya beliau berkicau di twitter dan facebook, yang isinya kita tahu semua,
Apakah SBY telah memasuki fase 'Baby Boomer'?
Termasuk kategori (manula) yang mana beliau?
Yang bijak, berwibawa, bawel, atau lebai?
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H