Mohon tunggu...
ALI KUSNO
ALI KUSNO Mohon Tunggu... Administrasi - Pengkaji Bahasa dan Sastra Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur

Pecinta Bahasa 082154195383

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Karung Haji Damiri

23 September 2014   21:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:48 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

KARUNG HAJI DAMIRI

Haji Damiri malam itu tidur lebih cepat.  Dia begitu kecapekan. Dia segera tidur dan tidak tahu istrinya pulang jam berapa. Istrinya kalau malam mengambil uang setoran di toko pakaian miliknya. Haji Damiri hari ini begitu sibuk menemui kolega-koleganya yang baru datang dari Jakarta. Haji Damiri tertidur lelap.

Haji Damiri tertidur lelap dan bermimpi. Dalam mimpinya, Haji Damiri berjalan sempoyongan membawa karung. Karung itu begitu besar. Terakhir Haji Damiri menggendong karung saat di kampung membawa rumput untuk sapi-sapi peliharaan Bapaknya. Karung Haji Damiri bukan lagi berisi uang. Haji Damiri membawa karung berisi uang penuh.

Saking banyaknya uang yang harus dibawa, sesekali Haji Damiri harus berhenti menata nafas. Tubuhnya kini telah renta. Dia juga harus menengok kanan kiri, jangan-jangan ada orang yang mengikuti dan berniah jahat. Dulu saat uangnya sedikit, Haji Damiri santai saja melenggang berjalan. Makin banyak uang yang dia bawa, degup jantungnya kian kencang.

Haji Damiri melanjutkan langkah. Ada seorang nenek berpapasan. Nenek itu menghentikan langkah dan menengadahkan tangan ke arah Haji Damiri.

“Pak Haji, tolong Saya minta sedekahnya. Saya sejak tadi belum makan”rengek si nenek tua.

Haji Damiri menghela nafas dan mengernyitkan dahi.

“Nek, Saya juga belum makan dari pagi. Lagian, Saya sudah hafal betul rengekan para pengemis kaya kamu”ejek Haji Damiri sambil berlalu pergi.

Si Nenek Tua hanya terdiam dan berusaha menghirup nafas dalam-dalam. Sambil menghela nafas nenek tua pun meninggalkan Haji Damiri.

Haji Damiri melanjutkan langkah. Badannya yang tadinya lelah langsung bergairah. Badannya tegap. Ada rombongan jamaah keluar dari dalam masjid yang megah. Saat melihat Haji Damiri, mereka segera menyalami dan mencium tangan. Haji Damiri sangat senang dan bangga mendapat perlakukan seperti itu. Tepat di depan papan nama masjid, Haji Damiri berhenti dan membaca huruf demi huruf.

“Masjid Agung Haji Damiri”pelan Haji Damiri membaca sambil tersenyum bangga.

“Inilah amalanku. Allah pasti senang dengan masjid persembahanku ini. Pasti Allah akan menggantinya dengan istana buatku nanti di surga”kata Haji Damiri dalam hati.

Haji Damiri kembali melanjutkan langkah. Ada seorang pemuda yang menghadang. Pikiran Haji Damiri gusar tidak karuan. Jangan-jangan perampok yang sudah tahu isi karung yang dibawanya.

“Haji Damiri, masih ingatkah sama Saya”ujar pemuda itu.

Haji Damiri berusaha mencermati pemuda itu dan mengingat-ingat. Pemuda itu tidak lain mantan pegawai di perkebunan sawit.

“Pak Haji. Saya minta uang simpanan saya waktu kerja di kebun sawit”pinta Si Jali.

”Jali, Kau mau minta simpanan di kebun. Bukannya bertahun-tahun kamu sudah aku kasih hasil ? Hasil yang kamu terima itu sudah berlebih. Kamu tidak tahu diri. Aku sudah banyak membantu kamu!”kata Haji Damiri.

Si Jali tertunduk. Bukan karena malu. Bukan karena merasa dirinya salah telah meminta simpanan. Tapi karena berusaha menahan amarah.

“Sekali lagi Haji Damiri, dengan segala hormat, berikan simpanan saya. Itulah tabungan saya. Saya tidak menuntut Pak Haji mengabulkan janji-janji dulu waktu Saya masih anak buah Pak Haji. Cuma berikan apa yang jadi hak Saya”kata Si Jali mengiba.

“Percuma kamu mengiba. Aku tidak akan memberikannnya”kata Haji Damiri sembari meninggalkan SI Jali.

Jali terdiam. Dalam hatinya bergumam. Ternyata ada orang-orang seperti itu. Tega mengambil hak orang lain. Padahal, kenyataannya, uang simpanan Si Jali sudah menjadi andil bagi berkembangnya perkebunan sawit milik Haji Damiri.

Haji Damiri telah sampai di depan rumah. Tidak sabar Haji Damiri hendak menympan uang-uangnya. Namun, Haji Damiri terkaget-kaget. Uang dalam karung yang dia bawa berubah jadi rerumputan. Haji Damiri pun berprasangka macam-macam. Apa diambil Si Nenek Tua, para jamaah masjid yang mencium tangannya, atau Si Jali.

Haji Damiri menangis guling-guling. Uang yang dikumpulkannya bertahun-tahun lenyap berubah jadi rerumputan. Tagisan Haji Damiri terdengar anaknya yang kecil.

“Bapak kenapa menangis?”tanya Si anak.

“Uang Bapak lenyap! Uang Bapak jadi rumput-rumput ini!”teriak Haji Damiri pada anaknya.

Anaknya tidak kaget. Kalau uang Ayahnya hilang. Si anak sudah merasa uang Bapaknya sudah terlalu banyak, ngapain ditangisin.

“Pak, Saya justru senang uang Bapak jadi rerumputan. Kalau Bapak pulang bawa uang, hanya akan nambah tumpukan uang Bapak. Masih lebih baik rumput-rumput ini bisa dikasihkan ke sapi-sapi di belakang rumah”kata Si Anak ketus.

Haji Damiri masih saja bingung apa yang dikatakan anaknya. Si Anak memegang pundak Bapakya yang masih saja menangis.

“Pak, Hati Bapak sudah terlalu tebal dengan kedzoliman. Bapak tidak akan bisa memaknai apa yang baru saja Bapak alami. Segeralah Bapak bertaubat”jelas Si anak sambil berlalu membawa karung berisi rerumputan.

Haji Damiri masih saja menangis sesenggukkan.

Haji Damiri terbangun dari mimpi panjangnya.

Anehnya, dia benar-benar menangis. Air matanya segera diusap. Sayup-sayup terdengar suara adzan subuh menyelinap dari sela-sela lubang angin rumahnya yang megah.

Wong urip koyo ngarit (Orang hidup seperti mencari rumput)

Ojo ngampak dong pogong liyan (Jangan mengambil daun singkong orang)

Ojo ngerit kacang nek tegalan (Jangan membabat tanaman kacang di tegal)

Klumpokno sithik mboko sithik (kumpulkan sedikit demi sedikit)

Suket sek tuwuh nek pereng lan galengan (Rumput yang tumbuh di lereng dan pematang)

Ditulis Oleh:

Ali Kusno

Perum. Grand Tamansari Cluster Ambalat C 6/22

Samarinda Kalimantan Timur


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun