“Inilah amalanku. Allah pasti senang dengan masjid persembahanku ini. Pasti Allah akan menggantinya dengan istana buatku nanti di surga”kata Haji Damiri dalam hati.
Haji Damiri kembali melanjutkan langkah. Ada seorang pemuda yang menghadang. Pikiran Haji Damiri gusar tidak karuan. Jangan-jangan perampok yang sudah tahu isi karung yang dibawanya.
“Haji Damiri, masih ingatkah sama Saya”ujar pemuda itu.
Haji Damiri berusaha mencermati pemuda itu dan mengingat-ingat. Pemuda itu tidak lain mantan pegawai di perkebunan sawit.
“Pak Haji. Saya minta uang simpanan saya waktu kerja di kebun sawit”pinta Si Jali.
”Jali, Kau mau minta simpanan di kebun. Bukannya bertahun-tahun kamu sudah aku kasih hasil ? Hasil yang kamu terima itu sudah berlebih. Kamu tidak tahu diri. Aku sudah banyak membantu kamu!”kata Haji Damiri.
Si Jali tertunduk. Bukan karena malu. Bukan karena merasa dirinya salah telah meminta simpanan. Tapi karena berusaha menahan amarah.
“Sekali lagi Haji Damiri, dengan segala hormat, berikan simpanan saya. Itulah tabungan saya. Saya tidak menuntut Pak Haji mengabulkan janji-janji dulu waktu Saya masih anak buah Pak Haji. Cuma berikan apa yang jadi hak Saya”kata Si Jali mengiba.
“Percuma kamu mengiba. Aku tidak akan memberikannnya”kata Haji Damiri sembari meninggalkan SI Jali.
Jali terdiam. Dalam hatinya bergumam. Ternyata ada orang-orang seperti itu. Tega mengambil hak orang lain. Padahal, kenyataannya, uang simpanan Si Jali sudah menjadi andil bagi berkembangnya perkebunan sawit milik Haji Damiri.
Haji Damiri telah sampai di depan rumah. Tidak sabar Haji Damiri hendak menympan uang-uangnya. Namun, Haji Damiri terkaget-kaget. Uang dalam karung yang dia bawa berubah jadi rerumputan. Haji Damiri pun berprasangka macam-macam. Apa diambil Si Nenek Tua, para jamaah masjid yang mencium tangannya, atau Si Jali.