Mohon tunggu...
Alifya Widya Cahyani
Alifya Widya Cahyani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Terkadang Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Menyikapi Representasi dalam Film, Keberagaman Bukanlah Kewajiban

1 Juli 2024   18:15 Diperbarui: 1 Juli 2024   18:26 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam industri perfilman global yang kian berkembang dari masa ke masa, pertanyaan seputar representasi tentang keanekaragaman dalam film menjadi sebuah diskusi hangat yang diperbincangkan banyak orang. Saat ini film tidak hanya menjadi hiburan semata, melainkan sebuah medium yang kuat untuk merepresentasikan dinamika masyarakat dan konstruksi budaya. 

Sebagai wadah yang kuat untuk menyampaikan cerita, film memiliki potensi besar untuk meruntuhkan dinding-dinding perbedaan dan menggambarkan berbagai realitas sosial. Maka dari itu, masyarakat cenderung menginginkan budaya mereka direpresentasikan melalui film. Karena bagi penonton representasi dalam karya film dapat mewakilkan kedekatan, hingga menjadi simbol dan dorongan untuk melakukan hal besar lainnya, terutama di antara kelompok yang kurang terwakili. 

Representasi yang Dipaksakan

Sejak beberapa tahun terakhir, industri film barat mendapati dorongan yang kuat untuk memastikan bahwa setiap komunitas mendapati ruang untuk direpresentasikan. Saat ini, representasi dilakukan dengan memasukkan unsur keragaman identitas seperti ras, kebudayaan, gender, hingga seksualitas. 

Dilansir dari BNO News, akademi film diharuskan untuk memasukan sedikitnya 2 standar keberagaman untuk bisa masuk ke dalam nominasi Best Picture Oscar. Karena itu, sekarang ini kita sering menemui perubahan dalam film-film terkenal layaknya dalam adaptasi live action "The Little Mermaid", bahwa karakter Ariel yang dalam kartun merupakan seseorang dengan kulit putih diubah menjadi berkulit hitam, perubahan ini dilakukan dengan dalih untuk merepresentasi suatu ras. 

Karya lain seperti series terkenal "Bridgerton" yang merupakan adaptasi dari novel karya penulis Julia Quinn, juga merubah cerita dengan mengganti dengan jalan cerita yang mendapati unsur seksualitas(LGBT). Penulis series "Bridgerton" menanggapi kontroversi ini dengan melontarkan pernyataan bahwa hal ini dilakukan semata untuk memasukkan unsur inklusivitas dalam karyanya. Lantas, hal ini membuat kecewa banyak penggemar yang telah menantikan adaptasi ini sejak lama. 

Pada dasarnya, perubahan ini dilakukan dengan maksud dan tujuan yang baik, di mana cerita dalam film sengaja diubah untuk menggambarkan suatu komunitas. Namun, pendekatan yang dilakukan memunculkan sebuah pertanyaan besar, tentang-

apakah untuk menciptakan suatu karya film yang mampu merangkul perbedaan identitas, harus selalu dengan cara  merepresentasikan semua unsur keberagaman?

Bumerang dalam Upaya Merepresentasikan Keberagaman

Banyak upaya yang telah dilakukan industri film untuk merepresentasikan keberagaman, meskipun begitu banyak dari usaha yang dilakukan justru menjadi bumerang yang  berbalik tajam, melalui berbagai ujaran kebencian. Lalu pada akhirnya pesan baik yang ingin disampaikan tertutupi oleh perhatian penonton yang  terfokus terhadap sisi buruk film tersebut. 

Dalam dunia ini, keberagaman identitas sudah tidak terhitung jumlahnya. Maka itu, penonton boleh saja untuk memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap bagaimana cara  identitas mereka direpresentasikan dalam sebuah film. 

Untuk itu, upaya yang benar untuk menyampaikan pesan keberagaman dalam film adalah dengan merangkul diversitas identitas masyarakat. Setiap identitas memiliki ruang dan kolom tersendiri yang sesuai untuk bisa merepresentasikan identitasnya, seperti dalam film "12 Year a Slave" di mana film ini ingin merepresentasikan sejarah american black people yang terkenal dengan sejarah kelamnya. Sejarah yang diceritakan melalui film yang sesuai dengan konteksnya tanpa ada perubahan yang tidak diperlukan untuk sekedar "merepresentasikan" keberagaman lain, serasa membuat pengalaman menonton film tidak dibumbu-bumbui dan dengan hal ini membuat pesan dalam film tersampaikan dengan baik. 

Pesan yang disampaikan sesuai dan tidak mendistorsi sejarah yang sebenarnya terjadi. Usaha seperti inilah yang seharusnya dilakukan agar representasi keberagaman tatap sesuai. Karena apabila diversitas digambarkan dengan baik, maka tidak akan terjadi bumerang terhadap identitas yang dijadikan representasi dalam jalan cerita di film. 

Representasi Dijadikan Ladang Monetisasi 

Daripada merepresentasikan keberagaman dengan maksud tulus, perusahaan film sepertu Disney justru memperlakukan keberagaman seperti komoditas semata. Hal ini terlihat dalam beberapa produksi mereka di mana representasi keberagaman sering kali terasa dipaksakan atau dilakukan tanpa memperhatikan kebutuhan dan aspirasi dari komunitas yang diwakilinya.

Salah satu kritik yang sering muncul adalah penggunaan tokenisme dalam menghadirkan karakter dari latar belakang etnis atau budaya tertentu. Karakter-karakter ini sering kali dihadirkan dengan cara cetek dan tidak menggali dalam pada budaya yang direpresentasikan, melainkan hanya sebagai penambah atraksi saja, yang dilakukan dengan upaya untuk memenuhi harapan pasar yang menginginkan keberagaman. 

Penting untuk diingat bahwa representasi keberagaman dalam film dan hiburan bukan hanya soal penampilan fisik atau jumlah karakter yang muncul di layar, tetapi juga mengenai bagaimana karakter-karakter ini digambarkan, tentang bagaimana pengalaman hidup mereka diceritakan, dan apakah representasi tersebut menghormati dan menghargai keberagaman seperti kenyataanya.

Keberagaman Bukanlah Kewajiban 

Perbincangan mengenai representasi keberagaman dalam film merupakan tantangan yang harus dihadapi untuk mewujudkan persatuan tanpa memandang masyarakat yang memiliki latar belakang berbeda. Meskipun ada dorongan kuat untuk memasukkan semua aspek keberagaman dalam film, penting untuk diingat bahwa tujuan utama dari representasi adalah untuk menghormati dan menghargai keragaman identitas masyarakat secara asli

Film memiliki potensi besar untuk membangun pemahaman yang lebih dalam tentang realitas sosial dan menginspirasi kesatuan di antara kelompok-kelompok yang kurang terwakili. Namun, pendekatan yang dipilih haruslah dengan cara yang benar dan berdasar pada aspirasi dari komunitas yang diwakilinya, bukan sekadar sebagai strategi komersial semata.

Maka dari itu, perlu diingat bahwa representasi keberagaman dalam film bukanlah suatu kewajiban, karena menghargai keberagaman sudah seharusnya dilakukan setiap orang. 

Inilah tantangan di masa depan untuk industri perfilman agar memastikan bahwa setiap representasi keberagaman tidak hanya memenuhi hasrat individu, tetapi juga menghormati keberagaman seperti kenyataannya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun