Energi dan Bencana 'Manusia'
Peristiwa 'Kabut Pembunuh' tahun 1952 tak akan dilupakan oleh sejarah. Terhitung 12.000 jiwa warga London tewas olehnya dan disebut sebagai polusi udara terparah dalam sejarah Inggris. Kemunculan 'Kabut Pembunuh' dipicu oleh penggunaan batubara. Asap pembakarannya membentuk lapisan tebal kabut asap di langit Inggris. Empat tahun setelah tragedi itu, lahirlah undang-undang udara bersih untuk pertama kalinya.
'Kabut Pembunuh' mendorong para ilmuwan mulai meneliti dampak aktifitas manusia pada perubahan lingkungan. Hasilnya mengejutkan. Penggunaan energi fosil untuk aktiftas industri telah memicu peningkatan emisi karbon secara siginifikan. Dampaknya adalah global warming yang memicu bencana alam turunannya seperti kekeringan, perubahan iklim ekstrim, maupun tenggelamnya pulau-pulau. Ancaman ini nampak lebih buruk daripada 'Kabut Pembunuh'.
Global warming mendorong lahirnya Kyoto Protokol yang berisi tuntutan kepada negara maju agar bertanggungjawab atas 'dosanya' dan harus ditebus melalui upaya penurunan Gas Rumah Kaca (GRK). Sayangnya, industri dan teknologi terus menyebar ke negara berkembang seiring berjalannya waktu. Kini, hampir tiap orang di dunia memanfaatkan energi fosil baik untuk aktifitas produksi dan konsumsi. Negara berkembang yang 'berkiblat' pada industri negara maju pun akhirnya turut 'berdosa'. Sebab itu, disepakatilah Paris Agreement pada tahun 2015 yang membebankan penurunan emisi karbon pada seluruh negara.
Meski manusia adalah penyebab utama global warming beserta malapetaka turunannya, manusia tetaplah menjadi kunci untuk mengatasi bencana yang mereka 'ciptakan' itu. Kesimpulan ini disebut oleh Dasaiku Ikeda dan Arnold Toynbee dalam buku Perjuangkan Hidup (P.T. Indira: 1987). Jauh sebelum Paris Agreement, kedua tokoh pemikir kebudayaan itu telah mewacanakan penghentian kerusakan alam melalui revolusi sikap batin masing-masing individu manusia.
Revolusi batin mencakup dua hal: pertama adalah perlawanan terhadap napsu keserakahan. Kedua adalah mengubah persepsi relasi manusia terhadap alam. Jika semula kita menganggap alam sebagai lawan dan tawanan yang patut dieksploitasi, maka kini alam harus dipandang partner hidup manusia yang diwujudkan dalam hubungan keselarasan, timbal balik, saling memberi dan menerima.
Langit Nol-Bersih Emisi
Salah satu kebijakan lingkungan yang dihasilkan oleh Paris Agreement 2015 adalah Net-Zero Emissions (NZE). Kebijakan ini bersifat mengikat semua negara, termasuk Indonesia. Kebijakan ini berlaku sejak tahun 2020.
Secara harfiah, NZE berarti Nol-Bersih Emisi Karbon. Namun, Net-Zero Emissions bukan dipahami sebagai upaya menghentikan manusia dari memproduksi emisi karbon sama sekali, sebab hal itu mustahil dilakukan. Secara alamiah, bumi dan manusia tidak bisa tak memproduksi karbon. Melalui aktifitas pernapasan saja, manusia telah menyumbangkan 5,8% terhadap volume emisi karbon tahunan. Kita juga tak mungkin menghentikan asap gunung berapi, rawa dan lainnya.
Maksud dari Nol-Bersih Emisi adalah semua produk karbon yang dihasilkan oleh aktifitas manusia tidak boleh lagi sampai menguap ke atmosfer, melainkan harus diserap habis di bumi. Ketika semua karbon telah berhasil diserap di bumi, maka terciptalah status atau keadaan karbon negative atau netto nol.
Bagaimana cara karbon diserap? Secara alamiah, pohon, laut, dan tanah dapat menyerap emisi karbon. Melalui proses reaksi kimia kompleks bernama fotosintesis, tumbuhan akan 'memakan' karbon, melepaskan unsur oksigen ke udara, lalu menggunakan karbon untuk guna mendukung pertumbuhannya. Bahkan, karbon dapat dikembalikan ke tanah menjadi bahan dasar logam. Sebab itu, ada istilah yang menyebut bahwa paru-paru dunia ada dua, yakni: lautan dan hutan. Jika kedua paru-paru ini terjaga baik, bahkan dikembangkan untuk mengimbangi produksi karbon, maka seluruh emisi mampu diserap di bumi. Sebaliknya, jika karbon menguap, melayang ke atmosfer maka karbon memiliki efek rumah kaca, dimana panas akan dipantulkan kembali ke dalam (bumi). Hal inilah yang menyebabkan global warming.
Dimana peran manusia? Kita bisa berkontribusi melalui aksi-aksi keikliman seperti mitigasi, pajak karbon, perdagangan karbon, reboisasi, mencegah deforestasi, kerusakan lautan maupun upaya lainnya. Sejauh ini, belum ada teknologi yang mampu mensubtitusi pohon dan lautan untuk memproses karbon. Maka, kontribusi manusia banyak diharapkan melalui pengendalian perilaku konsumsi dan produksinya.
Tiap negara memiliki target bebas karbon masing-masing. Namun jika mengacu pada ciri perubahan iklim long-term time span issue, perubahan iklim bisa terjadi dalam rentang waktu lama, yakni 50 tahun hingga 100 tahun. Sebab itu, NZE ditargetkan akan terjadi pada tahun 2045, 2050, 2060, dst.
Penentuan tahun NZE bergantung pada waktu kapan suatu negara berhasil mencapai peak emission (puncak emisi). Pengertian peak emission adalah titik henti positif produksi emisi yang kemudian diikuti trend penurunan (negative) emisi hingga nol (zero) atau bahkan minus emisi.
Penentuan tahun NZE Indonesia telah dirancang oleh Badan Perancanaan Nasional (Bappenas). Berdasarkan skenario Bappenas, Indonesia bisa mencapai NZE pada tahun 2045 atau 2050 asal saja kita bisa mencapai peak emission karbon paling lambat pada tahun 2027. Jika peak terlambat satu tahun saja, maka tahun NZE akan mundur sejauh 5 -- 10 tahun. Jika peak emisi karbon bisa dicapai pada tahun 2033-2034, maka Indonesia akan memasuki NZE pada tahun 2060-2070. Tentu dibutuhkan kerjasama semua pihak agar berhasil mewujudkannya.
Meski kelak seluruh karbon telah diserap di bumi, target nol-emisi telah dicapai oleh semua negara, global warming tetap akan berlanjut mengingat produksi emisi hari ini selama tiga abad terakhir. CO yang telah terlanjur mengapung di atmosfer akan tetap bertahan disana selama 10.000 tahun. Meski demikian, para ahli IPCC telah berhitung jika NZE tercapai pada tahun 2050, maka suhu dunia akan bertambah sejumlah 1,5 Celcius pasca 2050. Angka ini masih dalam ambang batas toleransi makhluk hidup di bumi.
Bisa dibayangkan, jika tercapainya NZE saja tetap tak menghentikan laju pemanasan global, maka bagaimana bila kita tak berusaha mencapainya?
Industri Berkelanjutan dan Keuntungan Ekonomi Negara Negatif Karbon
Semakin lama Indonesia menetapkan tahun NZE, maka akan semakin berat beban ekonomi yang akan ditanggung. Pertumbuhan ekonomi nasional kedepan akan amat bergantung pada keselarasan iklim. Kajian Swiss Re Institute menyebut ekonomi Indonesia akan terpukul jika krisis iklim terjadi. Ketika trajektori dunia memanas di bawah 2 derajat Celsius di tahun 2100, Indonesia akan kehilangan hampir 5% dari seluruh GDP-nya di tahun 2050.
Ketika pemanasan global mencapai 2,6 derajat Celcius, maka Indonesia kehilangan 30% GDP-nya. Sementara jika pemanasan mencapai 3,2 derajat Celsius, maka Indonesia akan kehilangan 40% GDP-nya. Skenario Bappenas justru menyebut ekonomi Indonesia berpotensi untuk berisiko kehilangan PDB hingga 50,4% pada tahun 2024 jikalau Indonesia tidak melakukan intervensi terhadap iklim.
Darimana angka-angka kerugian itu muncul? Tentu dari dampak global warming di Indonesia. Bappenas menyebut bahwa: 5,8 juta km wilayah perairan Indonesia akan berdampak buruk pada aktifitas pelayaran dan nelayan sebab gelombang ombak ekstrim. Sepanjang 1.800 km garis pantai masuk kategori sangat rentan karena peningkatan permukaan air laut. Produksi beras akan menurun akibat perubahan curah hujan dan peningkatan suhu. Global warming menyasar langsung ke titik-titik strategis ekonomi Indonesia.
Perkembangan jangka panjang industri tak terlepas dari pemeliharaan lingkungan. Jika sebelumnya hutan dipandang sebagai simbol keterbelakangan ekonomi, maka kini tantangan iklim memaksa perusahaan beralih pada konsep bisnis yang berkelanjutan. Perusahaan yang tak memasukan unsur berkelanjutan akan tertinggal dari mereka yang berkomitmen pada hal tersebut. Analisa ini disebut sendiri oleh salah satu perusahaan besar energi di Indonesia, yakni PT Indika Energi.
Mengacu pada penelitian Swiss Re Institute dan Bappenas, maka perusahaan akan lebih untung jika perusahaan berinvestasi pada program-program lingkungan dibanding harus membayar pengeluaran ekstra untuk mengatasi ragam hambatan akibat global warming atau emisi karbon. Menurut Indika Energi, ada tiga hal yang penting diperhatikan oleh perusahaan jika hendak mempercepat tahun minus karbon yakni: rewnewable energy, carbon offset, dan teknologi.
Pengembangan teknologi dapat diarahkan oleh perusahaan untuk membuat industri dapat beroperasi lebih efisien hingga akhirnya mampu melakukan pengurangan emisi karbon. Pengembangan teknologi juga berkaitan dengan pemanfaatan renewable energy. Sebetulnya, Indonesia sangat diuntungkan oleh konsep renewable energy sebab ia memiliki kelimpahan energi alam sebagai modalnya, seperti matahari penuh sepanjang tahun, pergerakan angin musim, dan wilayah perariran yang luas.
Adapun carbon offset bisa dilakukan dengan penghijauan, reforestasi, reboisasi, pengembangan pertanian, pengurangan metana, menjaga dan memperbaiki ekosistem lautan. Semua aksi itu dilakukan untuk menguatkan 'dua paru-paru dunia' agar karbon terserap habis. Intervensi iklim jauh lebih hemat daripada harus merugi sebab terhambatnya aktifitas ekonomi sebab kerusakan iklim parah.
Kontribusi Kita untuk Mewujudkan Tahun NZE pada 2060
Ekosistem pasar tak hanya diperankan oleh perusahaan, melainkan juga masyarakat yang banyak berperan sebagai konsumen. Masyarakat menjadi salah satu sektor penyebab emisi karbon melalui kegiatan konsumsinya seperti timbulnya sampah plastik dan asap kendaraan bermotor.Â
Guna mengatasi habit konsumsi yang tak ramah lingkungan selama ini, Bappenas mencanangkan konsep ekonomi sirkular guna mengganti mindset ekonomi linier yang telah berlaku selama ini. Konsep ekonomi sirkular banyak bertumpu pada proses daur ulang sehingga tak menghasilkan sampah. Konsep ini menggantikan ekonomi linier yang sering bertumpu pada ambil-guna-buang. Konsep ekonomi sirkular ala Bappenas bisa diadaptasikan dalam pola konsumsi kita sehari-hari.
Bijak dalam konsumsi diwujudkan dalam sikap menahan diri. Ketika perilaku konsumsi kita sangat kompulsif, maka hal itu akan mempercepat eksploitasi alam serta meningkatkan produksi limbah, emisi karbon, dan sampah. Habit konsumsi kedepan harus mempertimbangkan unsur keberlanjutan, supaya kita tidak jatuh pada kelangkaan dan kemiskinan.
Mengatasi emisi yang bersumber dari asap kendaraan berbahan bakar energi fosil bisa dilakukan dengan beralih menggunakan kendaraan bermotor listrik. Selain itu, kita juga harus berhemat, menggunakan energi sebijak mungkin dan tidak menghambur-hamburkannya.
Selain itu, kita juga harus menjadi garda depan penghijauan bumi dengan menanam pohon di sekitar lingkungan kita. Aksi itu sangat mudah dilakukan. Meski sederhana, menanam pohon adalah lompatan besar sejarah manusia mengubah sikap batinnya, memandang alam sebagai kawannya. Melalui menanam pohon, kita dapat mendidik anak-anak menjadi manusia baru. Kelak, mereka tumbuh sebagai generasi yang lebih mencintai alam, membuat bumi bersih-nol emisi seterusnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H