"Dia abadi, bunda, abadi selama bersinggungan dengan bumi. Bumi adalah petani, bunda, petani, petani itu juga!"
Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah (Lentera Dipantera : 2009)
Perkataan itu milik seorang terpelajar bernama Minke. Ia sedang asyik mengagumi kesaktian Bisma, salah tokoh wayang, yang ia ceritakan pada ibunya dengan menggebu-gebu.Â
Salah satu tokoh utama dalam kisah Mahabarata itu mampu hidup lagi ketika jasadnya menyentuh bumi. Petanilah bumi itu sendiri. Sebab itu Bisma abadi dan hanya bisa mati atas kehendaknya sendiri.
Semangat muda Minke berhadapan dengan pandangan ibunya yang realistis. Ibunda menganggap petani tiada memiliki secuil remah pun kehormatan atas pekerjaannya. Semakin dekat pekerjaan kepada tanah, semakin tidak ada kemuliaan pada dirinya.Â
Sebab itu, petani tiada tertulis dalam kisah-kisah perwayangan. Epos yang agung itu hanya menceritakan raja, satria, dan para pandita. Petani lenyap dalam kehidupan dan tentu dalam sejarah-sejarah besar.
Ibu Minke layaknya orang tua pada umumnya yang menganggap profesi tani bukanlah pekerjaan berharga. Anggapan seperti itu bukan hanya milik kalangan kelas menengah atas. Bahkan petani pun tidak ingin anaknya menjadi tani meneruskan lahan mereka. Petani menganggap diri mereka tidak berharga dan selalu hidup dalam kemalangan.
Mereka tidak ingin menularkan kemalangan dan kehinaan petani itu kepada anaknya. Sebab itu, orang tua petani itu berpaling pada dunia kota sebagai model kesejahteraan.Â
Konsep kesuksesan dalam benak mereka dipenuhi dengan imajinasi tentang mobil, dasi dan kerja kantoran. Pergeseran kultural dalam keluarga petani inilah yang menggerus regenerasi tani pada mulanya.
Regenerasi petani kembali digerus oleh pendidikan yang tidak akomodatif terhadap pertanian. Buku-buku pelajaran kering dengan kisah tani yang berjuang menanam apa yang mereka makan sehari-hari.Â
Sawah dan kebun yang biasa dilewati anak sewaktu sekolah tidak dihidupkan dengan cerita yang menggugah jiwa di ruang-ruang kelas. Jika ditanyakan cita-cita, hampir semua murid akan menjawab kelak mereka ingin menjadi pilot, dokter, polisi dll. Petani pun menghilang dari daftar masa depan mereka.
Buku sekolah banyak melukiskan gambaran keluarga dengan ayah bekerja di kantor, dan ibu tinggal di perumahan. Setiap minggu keluarga itu pergi bertamasya dengan mobil ke kebun binatang atau tempat wisata.Â
Sedihnya, Anak  tidak menemukan orang tua mereka yang petani di buku-buku pelajaran. Muatan pelajaran yang asing dengan dunia tani dan desa itu menyebabkan anak tidak memiliki kecintaan pada orang tua mereka dan pekerjaannya.
Hal yang sama juga terjadi dalam tayangan favorit anak di televisi. Tidak ada Bisma dalam serial kartun mereka. Petani juga tidak muncul sebagai superhero favorit mereka di televisi.Â
Sayur mayur petani bukan formula ajaib yang membuat superhero mereka mampu mengalahkan monster jahat. Begitu pula dengan iklan jajanan anak yang sangat kuat dengan citra gaya hidup kota.
Petani termarjinalkan oleh pendidikan dan budaya. Proses itu berjalan terus menerus dari zaman wayang hingga televisi. Kita pun dapat menerka, apakah masih ada sosok Minke yang begitu mengagumi petani saat anak masuk universitas? Data riset justru menunjukan penurunan drastis generasi petani.
Dwi Andreas Santosa, pengamat pertanian Institute Pertanian Bogor (IPB), dalam situs mediaindonesia.com (24/09/17) menyebut keluarga petani telah berkurang hingga 5 juta sejak 2003 hingga 2013.Â
Saya juga menyaksikan realita di lapangan ketika mengikuti beberapa kegiatan pelatihan pertanian. Hampir tidak ditemukan petani muda di acara tersebut. Saya juga menyaksikan realita di lapangan ketika mengikuti beberapa kegiatan pelatihan pertanian. Hampir tidak ditemukan petani muda di acara tersebut.
Lalu kemanakah perginya pemuda-pemuda desa itu? Sudah tentu ke kota, tempat dimana kehidupan dilukiskan di buku pelajaran dan televisi. Mereka yang hanya menamatkan pendidikannya hingga jenjang sekolah menengah atas (SMA) menjadi buruh di kota atau tenaga kerja indonesia (TKI) di luar negeri.Â
Banyak desa-desa yang saya temui telah kehilangan generasi mudanya. Jika saya tanya kemanakah perginya pemuda-pemuda itu, masyarakat desa menjawab para pemuda merantau di kota.
Bagi anak desa yang mengenyam pendidikan kuliah, hampir dipastikan mereka selepas menjadi sarjana tidak akan mau bertani. Mereka akan memilih menjadi pegawai birokrasi di berbagai instansi negeri atau swasta. Mereka pun kembali ke kota untuk bekerja hingga hidup berkeluarga. Desa pun akhirnya sunyi, sepi, dan hanya berisi kuburan kelak bagi mereka yang pergi merantau.
Beberapa diskusi digelar untuk membahas krisis regenerasi tani. Salah satunya adalah diskusi bertema "Modernisasi dan Krisis Regenerasi Petani di Pedesaan" yang digelar oleh Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret (UNS) bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kependudukan LIPI (Headline Harian Umum Solopos Edisi 22 September 2016). Para narasumber mengungkapkan presepsi umum pemuda tentang profesi tani tidak menarik. Petani identik dengan bodoh, kotor, miskin, dan tidak modern.
Bagi pemuda, pertanian adalah pekerjaan yang membutuhkan tenaga berlebihan. Mereka lebih meminati sektor jasa dan industri bekerja nyaman di kantor. Bahkan sarjana pertanian pun lebih suka menjadi pegawai bank, ASN, maupun perusahaan swasta.
Presepsi negatif terhadap pertanian itu terus beranak pinak dan menyebar hingga menggerus jumlah petani kita. Kehancuran citra petani pun semakin tak tertolong dengan model pendidikan dan budaya industri yang membentuk citra manusia kota.Â
Lantas apakah kita hanya membiarkan hal ini bergulir? hingga investor menguasai semua lahan-lahan pertanian kita yang sepi dan memboyong semua penduduk Indonesia ke kota?
Petani Hilang Sejak dalam Fikiran
Tergerusnya generasi tani berkaitan erat dengan terhapusnya imaji manusia tani dalam fikiran dan jiwa pemuda. Hal ini adalah efek dari dominasi budaya dan pendidikan yang berwatak industri.Â
Jiwa anak layaknya selembar kertas putih itu hanya dicetak gambar manusia kota oleh buku pelajaran atau tayangan di televisi. Sebab itu, membangun imaji tentang tani pada jiwa pemuda menjadi langkah penting untuk membangun regenerasi tani.
Penyusutan generasi tani telah direspon oleh pemerintah. Kementrian pertanian (Kementan) telah menanggapi permasalahan nasional itu dengan mengadakan program regenerasi petani milenial.Â
Upaya itu seperti dalam acara Launching Santri Tani Milenial di Desa Kamulyaan, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya pada Jumat 26 Januari 2019 (www.pertanian.go.id).
Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, menyatakan bahwa menggerakan santri milenial adalah pilihan strategis untuk regenrasi dan meningkatkan produktivitas pertanian.Â
Pelibatan ini merupakan bagian program yang lebih besar yakni gerakan 1 juta petani milenial yang telah ditetapkan sebagai program prioritas membangun manusia Indonesia di 2019.
Bukan hanya santri tani milenial, Kementan juga menyiapkan langkah-langkah lain untuk penguatan regenerasi tani. Pada sektor pendidikan, Kementan melakukan transformasi pendidikan tinggi vokasi pertanian dari enam STPP (Sekolah Program Penyuluhan Pertanian).Â
Program studi STPP yang semula hanya penyuluhan pertanian, perkebunan, dan peternakan, kini harus berorientasi agribisnis hortikultura dan perkebunan, serta mekanisasi pertanian (kompas.com, 27/11/17).Â
Selain itu, Kementan juga bekerjasama dengan 16 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) untuk inisiasi program penumbuhan wirausahawan muda pertanian serta pelibatan mahasiswa, alumni, atau pemuda tani untuk pendampingan.
Di ranah lapangan pertanian, Kementan membentuk penumbuhan kelompok usaha bersama (KUB) petani muda, pelatihan dan magang petani muda, serta optimalisasi penyuluh untuk mendorong tumbuhnya petani muda. Kementan, melalui programnya, berharap dapat menumbuhkan generasi tani muda yang mampu menguasai sektor hulu sampai hilir pertanian.
Program-program diatas tentu sangat baik dan dapat menunjang regenerasi tani secara luas. Namun, di balik itu masih menyisakan tantangan besar yakni soal membangun mentalitas bertani.Â
Secara keseluruhan, program regenerasi tani masih berjalan di seputar penguatan skill pertanian, pemasaran, dan bantuan permodalan. Program tersebut belum menyusun strategi pembentukan kemauan bertani yang menjadi hal pokok dalam regenerasi tani.
Penguatan Budaya Agraris
Pemberian skill dan pemodalan tanpa membentuk watak agraris kepada pemuda membuat kita hanya mengulangi macetnya regenerasi tani di kampus-kampus pertanian.Â
Hal ini mengingatkan saya kepada sambutan Jokowi pada Dies Natalis ITB ke 54 di Bogor, Rabu 6 September 2017 (kompas.com) dimana presiden menyindir banyaknya mahasiswa pertanian yang lari ke direksi perbankan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), bukan menjadi petani.
Hal yang sama juga saya dengarkan dari kisah salah satu pegiat pertanian organik dimana teman-teman anaknya yang belajar di fakultas pertanian tidak ada yang menyatakan dirinya akan bertani selepas menjadi sarjana.Â
Kampus-kampus pertanian tentu sangat lengkap memberikan skill pertanian modern hingga praktik kepada mahasiswa. Namun mereka yang berani terjun di pertanian sangat sedikit sekali.
Strategi regenerasi tani perlu memasukan penguatan budaya agraris untuk membentuk citra manusia tani. Hal itu dilakukan dengan membentuk kebudayaan yang berpihak kepada tani serta pendidikan yang akomodatif terhadap dunia tani.
Kementan dapat bekerjasama dengan Kemendikbud dalam regenerasi tani. Kisah hidup dan keluhuran petani dapat dimuat dan dielaborasi dalam mata pelajaran sekolah. Murid dapat diajak untuk sesi outingclass di lokasi pertanian, berdialog dengan petani sehingga mereka mengenal tani sejak dini. Permasalahan ekologis juga perlu dikenalkan dalam sekolah agar murid mengerti pentingnya menjaga alam untuk ketahanan pangan.
 Begitu pula dalam ranah kebudayaan. Literatur, kesusastraan, film, kartun, acara televisi, maupun kesenian diarahkan untuk membangun empati kuat terhadap kehidupan tani. Produk budaya tersebut harus mampu mengangkat martabat tani sebagai sosok sentral dalam negara agraris serta golongan mayoritas penduduk yang sangat penting dalam mempertahankan bangsa.
Dengan membangun kebudayaan agraris tersebut, akan semakin banyak generasi yang suka bertani seperti yang terjadi pada generasi muda Amerika akhir-akhir ini. Minimal jika mereka tidak bertani, setidaknya rasa cinta pada pertanian akan membuat mereka memikirkan betul nasib tani saat menjadi pemerintah, politisi, akademisi, intelektual maupun pengusaha besar, bukan sebaliknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H