hingga dini hari
kertas kertas mesti membuka diri
untuk kutumpahkan segala yang kusebut api;
aku yang membara
cinta yang membara
rindu yang membara
murka yang membara
amarah yang membara
tawakkal yang membara
dzikir-syukur yang membara
berkobar, berkobar
jadi nyala yang paling bakar
hingga dini hari
pena mesti terus berbicara
membilang keadilan yang tersesat
di sela selokan
meramaikan paragraf paragraf yang sepi
dengan desir mimpi, guratan luka diri, lagu paderi
saatnya pipi ibu pertiwi kita usap
air matanya yang ratap
dengan bahasa perlawanan
yang paling sopan, atau bahkan
isyarat ketidakpuasan
yang brutal dan beringas
menuntaskan
di detik penghambaan pun, doa doa dilayarkan
raja' dilangitkan
di atas sajadah tawakkal
gema fatihah mengalirkan darah yang tumpah
menuju telaga istirah
juga menemani teriakan pembebasan
melawan tirani
sumpah suci pada Rabby, Yang Menjaga negri
hingga dini hari
tak ada waktu bagiku bagimu sekedar berhenti
menyalakan api, mengeringkan tangis ibu pertiwi
kertas kertas membuka diri
pena pena memercikkan magma
meluntahkan bara, segala yang membara
-bahkan kerinduanku padamu malam ini, kekasih
larut membara
di tanah kelahiran kita, ia membakar diri
memuntahkan api api
Jember, 12 Desember 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H